Di tengah arus pertarungan kekurangan dan kelebihan di atas, penulis menawarkan hal-hal sebagai berikut.
Pertama, kaum politisi Muhammadiyah harus memilih aktivitas politik yang mendasar dan mulia. Misalnya pergumulan dalam kancah ideologi Parpol bersangkutan. Banyak sinyalemen sekarang ini mensinyalir bahwa hal yang satu ini, kurang diminati oleh para aktivis partai.
Hal yang mendasar pada setiap partai adalah jiwa dan ruh partai itu. Pada setiap partai selalu ada Plat-form yang mengandung asas, tujuan, visi dan misi serta faham pemikiran dan konsespsi kehidupan bangsa yang diharapkan yang tercermin dalam AD-ART Parpol. Di rumpun  ini perlu warga Muhammadiyah yang berada di Parpol bekerja  lebih sungguh-sungguh.
Â
Kedua, sektor pembinaan SDM Parpol atau rekrutment dan pembinaan kader parpol dapat menjadi lahan politisi warga Muhammadiyah.
Ketiga, jangan terjebak ke dalam kepentingan sesaat. Artinya, bila tidak mendapat posisi yang baik dan meyakinkan di satu Parpol, lalu hengkang ke Parpol lain. Hal itu akan membuat citra politisi warga Muhammadiyah luntur dan perilaku demikian dapat dianggap sebagai repleksi kelemahan dalam bertarung atau berkompetisi dengan pihak lain.
Keempat, jangan terjebak ke prilaku loyalitas ganda yang amat dalam. Anggaplah Muhammadiyah sebagai rumah "gadang" tempat kembali bila di Parpol sudah tidak mungkin lagi aktif sebagai warga Muhammadiyah;
Kelima, seyogyanya perbedaan posisi dan  status pada berbagai Parpol tidak mengurangi silaturrahim dan keakraban sebagai warga Muhammadiyah dan sesama warga-masyarakat dan ummat.
Keenam, perkokoh akidah dan tertibkan ibadah serta perluas wawasan intelektual, wawasan silaturrahim, Â komunikasi serta pergaulan sosial, sehingga bila tak aktif lagi di Partai, kehidupan sebagai warga Muhammadiyah yang Islami tetap loyal dan berdedikasi berkelanjutan kepada persyaikatan, umat dan bangsa sambil tetap berharap dan insya Allah berkah dari Allah swt. Â
Dengan demikian akan terhindar dari panorama sosok pemimpin yang tidak terjun bebas ke prilaku  post-power syndromic, penyintas elit  alias tidak merasa "jatuah tapai".
(Dr. Drs. H. Shofwan Karim Elhussein, B.A., M.A. Dosen PPs UM Sumbar, Ketua Umum Yayasan Pusat Kebudayaan Minangkabau/YPKM)