Wacana-wacana Buya Syafii tentang penerapan ajaran Islam di Indonesia dimana sikap toleransi, inklusif dan ramah menjadi karakter utama adalah wacana yang tidak terpisahkan dari konsep keadilan sosial Buya Syafii. Ia menyatakan bahwa:
"Keislaman dan keindonesiaan harus dianyam dalam satu hamparan luas yang menyediakan ruang gerak bagi semua warga secara adil. Tentu Islam yang ditawarkan adalah Islam yang toleran, inklusif, dan ramah terhadap siapa saja yang punya kemuan baik untuk membangun Indonesia sebagai sebuah perumahan yang asri bagi seluruh penghuni, warga negara maupun warga asing. Islam harus menjadi tenda besar bangsa. Sebagai tenda besar; pemimpin-pemimpin agama ini haruslah selalu menampakkan kearifan dengan kualitas tinggi" (Syafii Maarif, 2015, hal 39).
Buya Syafii menekankan bahwa kemajemukan adalah fakta sosial yang nyata di Indonesia, dan itu dianggap sudah menjadi ketentuan Tuhan. Berangkat dari ini dan berdasarkan pemahamannya terhadap ayat-ayat Alquran, Buya Syafii menulis:
"Dalam hal pluralisme (paham kemajemukan agama), Al-Quran tampaknya berangkat lebih jauh. Tidak saja orang harus mengakui keberagaman agama yang dipeluk oleh umat manusia, mereka yang tidak beragama pun harus punya tempat untuk melangsungkan hidupnya di bumi. Dalam masalah ini Alquran ternyata lebih toleran dibandingkan dengan kebanyakan umat Islam: memusuhi kaum ateis. Bahwa Alquran selalu mengajak manusia untuk beriman karena beriman itu teramat penting bagi perjalanan hidupnya sampai di akhirat, tapi jika mereka tetap memilih untuk tidak beriman, apakah harus dihukum berdasarkan agama? Memang iman memberikan keamanan ontologis kepada manusia dalam pengembaraan hidupnya yang sarat keguncangan dan tantangan, tetapi pertanyaannya, jika seseorang merasa tidak memerlukan keamanan ontologis itu, mau diapakan? Tugas para nabi dan pengikutnya hanyalah mengajak manusia untuk beriman kepada Allah dan hari akhir dengan cara-cara beradab, penuh kearifan, dan jauh dari paksaan" (Syafii Maarif, 2015, hal 167).
Tentang sikap ini Romo Frans Magnis-Suseno dalam risalahnya yang berjudul "Buya Ahmad Syafi'i Ma'arif: Pahlawan Nasional" memberikan kesaksian yang menggetarkan hati tentang sikap ramah Buya Syafii kepada orang yang berbeda agama. Ia menulis:
"Sekaligus Buya berhasil dalam hal yang sangat penting agar kita, bangsa yang majemuk, betul-betul bersatu: Buya adalah orang dengannya mereka yang berbeda agama merasa aman dan didukung. Buya memperkenalkan apa itu Islam. Ia memancarkan agamanya, Islam, sebagai agama yang simpatik, yang memberi semangat, yang positif, padanya semua, saya sebagasi orang Katolik, teman-teman beragama Buddha atau Hindu, dapat merasa aman. Buya bisa kritis terhadap pemerintah dan terhadap segala macam kemunfikan, tetapi ia selalu positif. Islam yang diperlihatkan Buya muncul sebagai kekuatan inklusif. Sebagai tokoh Islam Buya sekaligus terbuka bagi semua, dan bisa terasa oleh semua sebagai sahabat. Buya menolak segala kepicikan, ia tidak dapat mengerti mengapa atas nama agama orang lain dimusuhi. Sebagai orang Katolik saya merasa dekat dengan Buya, justru Beliau sebagai orang Islam."
Buya Syafii sendiri hidup sebagai pribaid yang egaliter, demokratis, santun dan tidak pendemdam. Ia tampil secara tulus sebagai wujud hidup dari ide dan pemikirannya. Prof Haedar Nashir -tokoh yang sangat dekat dengan Buya Syafii- menyebut Buya Syafii sebagai rumah terbuka yang siapapun boleh datang dan berinteraksi dengan dirinya . Ia menulis: "Kelebihan Buya Syafii dalam mengusung interaksi dan pemikiran antariman dan atargolongan disertai ketulusan atau bersikap apa adanya, tanpa banyak retorika dan bumbu-bumbu simbolisme. Apalagi ada unsur politisasi, jauh panggang dari api. Sikap inkulisf yang alamiah seperti inilah yang membuat Buya memperoleh trust atau kepercayaan tinggi di masyarakat luas, termasuk di kalangan pemuka agama-agama dan tokoh bangsa lainnya"
Jadi, konsep keadilan sosial yang diperjuangkan Buya Syafii lewat tulisan-tulisan dan lakunya adalah jenis keadilan yang menyeluruh. Pada saat-saat tertentu, dia melihat keadilan sosial dari perspektif ekonomi. Sistem ekonomi harus dibangun dengan niat untuk memperhatikan kepentingan ekonomi semua orang, tidak hanya sekelompok orang serakah yang dikenal luas sebagai oligarki.
Pada saat lainnya, ia melihat keadilan sosial sebagai prinsip yang menjiwai interaksi antara orang-orang dari latar belakang yang berbeda. Semua orang, sepanjang memiliki niat baik terhadap kemajuan bangsa harus dihargai dan dihormati. Sesama umat beragama (theist) harus hidup berdampingan satu sama lainnya, saling menghargai dan menghormati tanpa perlu mengorbankan keyakinan pribadi. Bahkan seorang tidak percaya Tuhan pun (atheist) juga mesti dihormati hak hidupnya, sepanjang sama-sama sepakat untuk memajukan masyarakat. Inilah semangat dasar narasi Buya Syafii tentang toleransi dan pluralisme.
Pendidikan
Ketika berbicara tentang pendidikan, Buya Syafii berpijak dari latar belakangnya sebagai seorang cendikiawan Muslim yang berkepentingan agar ajaran Islam menjadi solusi bagi masalah kemanusiaan di Indonesia, utamanya adalah masalah kesenjangan sosial. Pemikiran Buya Syafii tentang pendidikan adalah konsekuensi logis dari keprihatinan beliau terhadap isu kemanusiaan sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Baginya, isu kompleks tersebut hanya dapat diselesaikan oleh-oleh mereka yang tercerahkan lewat proses pendidikan.