Secara umum, kemanusiaan dapat dimaknai sebagai hal-hal yang berhubungan dengan hak-hak dasar manusia yang mesti dipenuhi, agar manusia dapat hidup secara terhormat dan bermartabat. Dalam perspektif Buya Syafii, kemanusiaan dipandang dalam bingkai Pancasila yaitu jenis pemahaman kemanusiaan yang beranjak dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia sebagai bangsa yang berTuhan, beragama, dan berbudaya.
Perhatian Buya Syafii terhadap isu kemanusiaan di Indonesia secara umum mencakup dua aspek, yaitu keadilan sosial dan pendidikan. Keduanya dipandang sebagai prasyarat utama untuk menyelesaikan berbagai masalah bangsa, termasuk masalah radikalisme dan kekerasan.
Keadilan Sosial
Kehidupan manusia yang terhormat dan bermartabat adalah kehidupan manusia yang bebas dari berbagai ketidakadilan sosial, seperti lepas dari eksploitasi kelompok yang lebih superior atau dihormati tanpa memandang latar belakang suku, agama, ras dan kelompok. Keadilan sosial juga tentang bagaimana setiap warga negara mendapat perlakukan yang sama dan bebas dari diskriminasi dalam bentuk apapun. Dalah hal hubungannya dengan isu kemanusiaan, perwujudan keadilan sosial adalah cara konkrit untuk menghormati seorang dan sekelompok manusia.
Dalam memperjuangkan kemanusiaan, isu keadilan sosial adalah salah satu isu fundamental yang senantiasa menjadi perhatian Buya Syafii. Keadilan sosial adalah prasyarat yang diyakini Buya Syafii dapat menjamin kemanusiaan. Dengan kata lain, tanpa terwujudnya keadilan sosial manusia tidak dapat hidup dalam suasana dimana hak-hak mereka sebagai manusia terpenuhi dengan sebaik-baiknya.
Ada banyak tulisan dimana Buya Syafii mengartikulasikan pemikirannya tentang ini. Buya Syafii kerap menunjukkan kegelisahannya akan tidak kunjung terwujudnya sila kelima Pancasila, yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Dalam kolom Resonansi di Republika yang berjudul Praksisme Pancasila, ia menulis: ""Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" sebagai tujuan kemerdekaan bangsa sudah menjadi kenyataan? Jawabannya: sama sekali belum! Masalah keteledoran fundamental inilah yang mengganggu perjalanan sejarah modern Indonesia untuk maju lebih cepat dan percaya diri."
Dalam tulisan yang sama Buya Syafii mencemaskan bahwa akan terjadi kerusuhan yang sangat merusak ketika perwujudan keadilan sosial berjalan tersendat-sendat. Dalam sebuah diskusi dalam acara yang dinamai Asian Youth Day, sebagaimana yang dikutip banyak media nasional, seperti Merdeka, Kompas, Tempo, dll, Buya Syafii menyampaikan bahwa kesenjangan sosial adalah salah satu faktor dasar yang menyebabkan tumbuh suburnya paham radikalisme dan intoleransi. Sebelum itu, Buya secara konsisten menyatakan pesan senada di berbagai kesempatan.
Dalam perspektif Buya, mewujudkan keadilan sosial di Indonesia adalah tugas semua pihak yang berdaya di Indonesia, tanpa terkecuali. Akan tetapi Buya melihat bahwa tanggung jawab yang lebih besar berada di pundak para politisi. Namun, ia menyayangkan bahwa para politisi yang punya tanggung jawab, wewenang dan kekuatan untuk menciptakan keadilan sosial "sukar untuk diajak bekerja sama." Pernyataan ini mengindikasikan pemikiran Buya Syafii, bahwa kekuatan politik semestinya menghabiskan energinya untuk mewujudkan keadilan sosial.
Dalam berbagai tulisan, Buya Syafii menekankan bahwa pembangunan nasional semestinya diarahkan agar terwujudnya keadilan sosial lewat pemerataan pembangunan. Kemerdekaan berarti juga memerdekakan orang dari kemiskinan yang muncul dari sistem ekonomi yang hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu saja. Salah satu yang menjadi perhatian Buya Syafii dalam konteks ini adalah desa-desa. Indonesia, menurutnya Indonesia adalah "kumpulan dari ribuan desa yang hampir separuh adalah desa tertinggal." Dalam Resonansi-nya di Republika, Buya Syafii menyebut bahwa nasionalisme politik telah berhasil memerdekakan manusia dari penjajahan fisik bangsa asing. Nasionalisme ekonomi yang sekarang diperlukan untuk memastikan terwujudnya keadilan sosial.
Keresahan Buya Syafii tentang keadilan sosial bertabur di hampir semua tulisannya, baik tulisan di media maupun di buku-buku. Sebagai seorang sarjanawan Muslim dan seorang Muslim yang taat, Buya melihat bahwa keadilan sosial salah satu tujuan mulia ajaran Islam. Sebuah tujuan yang dapat dinikmati siapa saja, apapun agama yang mereka anut. Umat Islam mesti mencurahkan tenaga dan perhatian agar semua pihak mendapat solusi dari masalah-masalah yang mereka hadapi, salah satunya ketimpangan sosial (Syafii Maarif, 2015).
Dalam diskusi online yang diadakan UM Sumatera Barat pada 05 Desember 2022, Sudhamek AWS menceritakan kesaksian betapa Buya sangat memperhatikan isu pemerataan ekonomi. Ia sering resah tentang gaji buruh yang tidak memadai untuk hidup layak. Sudhamek mengaku bahwa ia dan Buya telah lama berdiskusi tentang sistem ekonomi Pancasila dan sedang dalam upaya agar itu diterapkan dalam kehidupan bernegara lewat posisi mereka di BPIP. Akan tetapi upaya tersebut belum selesai seiring dengan wafatnya Buya Syafii. Sudhamek mengakatan "Salah satu perhatian beliau adalah mewujudkan cita-cita pendiri bangsa untuk membumikan pasal 33 UUD 1945 dan sila ke lima Pancasila. Beliau memesan supaya disusun suatu sistem ekonomi Pancasila."