Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif atau Buya Syafii lahir pada tanggal 31 Mei 1935 di Calau, Sumpur Kudus. Hari ini, Sumpur Kudus adalah sebuah nagari (desa) yang berada di wilayah administratif Kabupaten Sijunjung, Provinsi Sumatera Barat. Buya Syafii lahir dari seorang ayah yang bernama Ma'rifah Rauf Datuk Rajo Malayu dan ibu yang bernama Fathiyah. Ia hanya memperoleh kasih sayang ibu hingga berusia satu setengah tahun. Buya Syafii meninggal dunia 4 hari sebelum mencapai usia 87 tahun, yaitu pada hari Jumat tanggal 27 Mei 2022 di RSU PKU Muhammadiyah Gamping, Sleman, Yogyakarta, pada pukul 10.15 WIB.
Pertama kali memasuki sekolah formal saat berusia 7 tahun, yaitu pada tahun 1942 di sebuah Sekolah Rakyat di Sumpur Kudus. Pendidikan keagamaan dia dapati dari Madrasah Ibtidaiyyah Muhammadiyah yang diselenggarakan pada tiap sore hari. Di samping madrasah tersebut, sebagaimana lazimnya anak-anak laki-kali Minangkabau saat itu, malam hari Buya Syafii kecil belajar di sebuah surau di kampungya. Pendidikan di SR dia tamatkan pada tahun 1947, lebih cepat dari teman-temannya. Namun demikian, karena usaha gambir yang dijalankan ayahnya menurut akibat situasi perang kemerdekaan saat itu, ia tidak dapat langsung melanjutkan pendidikan. Baru pada tahun 1950, dia baru melanjutkan sekolah ke Madrasah Muallimin Muhammadiyah di Lintau, sebuah daerah yang waktu itu dicapai dengan sehari berjalan kaki.
Masa-masa awal kehidupan sangat membentuk kepribadian dasar Buya Syafii sebagai pribadi kita kenal sekarang. Kecintaan yang begitu dalam pada tanah air tampaknya dibentuk oleh situasi yang ia lalu saat kecil. Di dekat rumah Buya Syafii terdapat sebuah rumah yang pernah menjadi posko persembunyian Pemerintahan Darurat Republik Indonesia. Buya Syafii melihat betul bagaimana pejuang-pejuang itu berupaya keras mempertahankan eksistensi Indonesia. Bahkan beliau menyaksikan langsung Syaruddin Prawiranegara berdiskusi tentang langkah perjuangan.
Merantau ke Jawa pada usia 18 tahun, tepatnya pada tahun 1953, adalah momen-momen penempaan berikutnya Buya Syafii. Setelah sedikit lika-liku kehidupan, ia akhirnya dapat diterima di Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta. Selama di sana ia menjadi semakin intens dengan Muhammadiyah, seperti terlibat dalam Hizbul Wathan, kepanduan Muhamamdiyah. Karir jurnalistik awal juga tumbuh di sana. Ia pernah menjadi pemimpin redaksi majalan Sinar, majalah pelajar Muallimin.
Setelah menyelesaikan pendidikan pada 12 Juli 1956, dia tidak dapat melanjutkan langsung pendidikannya karena masalah biaya. Apalagi satu tahun sebelumnya, yaitu pada 5 Oktober 1955, ayah Buya Syafii meninggal dunia. Namun demikian, ia berangkat ke Lombok sebagai anak panah Muhammadiyah untuk mengabdi di sana atas permintaan Konsul Muhammadiyah Lombok. Salah satu alasan khusus ia terpilih adalah karena Konsul tersebut mencari anak muda Minangkabau sebagai pengajar. Buya Syafii mengabdi sebagai pengajar di sebuah sekolah Muhammadiyah di Pohgading, Lombok Timur selama satu tahun. Ia menyempatkan diri pulang kampung sebentar saat pengabdian itu selesai, tepatnya pada bulan Maret 1957. Saat itu Buya Syafii berusia 22 tahun.
Tidak lama, Buya Syafii muda kembali merantau ke Jawa. Ia menunju Surakarta untuk melanjutkan studinya ke perguruan tinggi. Ia memperoleh gelar sarjana muda di Universitas Cokroaminoto pada tahun 1964. Gelar doktorandus ia dapatkan dari IKIP Yogyakarta pada tahun 1968. Selama kuliah ia melanjutkan karir jurnalistiknya di Suara Muhammadiyah, bahkan sempat menjadi redaktur di sana. Selain itu, untuk membiaya hidup, ia melakukan beberapa pekerjaaan lainnya, seperti menjadi guru mengaji, buruh, lalu menjadi palayan toko kain pada tahun 1958. Ia mencoba berdagang kecil-kecilan setelah berhenti menjadi pelayan toko. Ia juga sempat menjadi guru honorer di Baturetno dan Solo.
Buya Syafii meneruskan pendidikan S2nya dalam ilmu sejarah di Departemen Sejarah Ohio University di Amerika Serikat. Gelar doktor ia peroleh dari program Studi Bahasa dan Perdaban Timur Dekat, Universitas Chicago. Di sana, bersama Amin Rais dan Nurcholis Madjid, ia meneliti di bawah bimbingan Fazlur Rahman. Ketiga sosok ini oleh Gus Dur dijuluki "Tiga Pendekar Chicago.
Karir akademis dan organisasi Buya Syafii setelah itu berjalan cemerlang. Dia memperoleh status guru besar di IKIP Yogyakarta. Selain itu menjadi ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah dari tahun 1998 hingga 2005. Setelah menuntaskan jabatan di Muhammadiyah, Buya Syafii kemudian aktif di berbagai organisasi dan media. Maarif Insititut didirikan untuk mengembangkan pemikirannya. Selain itu ia juga aktif menulis pemikiran-pemikirannya di kolom Resonansi Republika. Selama hidup ia adalah penulis yang sangat produktif, menulis puluhan buku dan ratusan artikel tentang Islam dan Kebangsaan. Ini membuatnya kerap diundang untuk berbicara tentang isu-isu keIndonesiaan.
Pada tahun 2008, ia diganjar sebagai penerima Ramon Magsaysay Award dari pemerintah Philipina karena dipandang berkontribusi aktif mewujudkan kesetaraan dan perdamaian. Terdapat empat catatan penting yang menjadi pertimbangan Buya diberikan award. Pertama, ia dipandang berhasil menjadikan Muhammadiyah sebagai pilar penting transisi damai ke alam demokrasi ketika kejatuhan Presiden Soeharto pada tahun 1998. Kedua, ia dipandang sebagai tokoh besar yang aktif menjembatani dialog antar agama di Indonesia, yang dianggap berhasil mereduksi konflik beragama. Ketiga, ia dicatat sebagai tokoh yang sangat lantang berbicara tentang terorisme, bahwa tindakan biadab itu bukan bagian dari ajaran Islam. Dan terakhir, ia dianggap sebagai tokoh penting yang menebarkan toleransi dan pluralisme di Indonesia, yang mana hal ini dianggap menciptakan kesetaraan dan keadilan di antara umat beragama di Indonesia.
Buku-buku yang ditulis Buya Syafii telah menginspirasi banyak tokoh di Indonesia untuk memperjuangkan isu-isu kemanusiaan dalam saluran-saluran kenegaraan dengan cara-cara yang beradab dan konstitusional. Sebagai tokoh Muslim, ia mengampanyekan agar umat Islam tiada henti berupaya menjalankan ajaran Islam yang dapat menjadi solusi bagi permasalahan semua pihak. Buku-buku tersebut adalah Mengapa Vietnam Jatuh Seluruhnya ke Tangan Komunis (1975), Dinamika Islam (1984), Islam, Mengapa Tidak? (1984), Percik-percik Pemikiran Iqbal (1984), Islam dan Masalah Kenegaraan (1985), Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia (1993), Islam, Kekuatan Doktrin, dan Kegamangan Umat (1997), Titik-titik Kisar di Perjalananku : Autobiografi Ahmad Syafii Maarif (2009), Islam Dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan : Sebuah, Refleksi Sejarah (2009), Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita (2010), Memoar Seorang Anak Kampung (2013), Fikih Kebhinekaan (2015), Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam (2018), Membumikan Islam (2019), dan Percaturan Islam dan Politik (2021)
BUYA SYAFII DAN ISU KEMANUSIAAN