Mohon tunggu...
Shofira Pertiwi
Shofira Pertiwi Mohon Tunggu... Dosen - Akademisi Ilmu Komunikasi

Seorang akademisi di bidang Ilmu Komunikasi, dengan spesialisasi dalam Komunikasi Budaya, Komunikasi Pemasaran, dan Komunikasi Korporat. Melalui pengajaran dan penelitian yang mendalam, Saya telah menjadi penggerak bagi generasi muda untuk memahami pentingnya komunikasi dalam membangun hubungan yang bermakna dan strategi yang efektif. Dengan pendekatan yang kreatif dan penuh empati, saya mampu menghubungkan teori dengan praktik nyata, menjadikan proses belajar tidak hanya inspiratif tetapi juga relevan dengan tantangan dunia profesional.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Menggali Fenomena Modernisasi dalam Perspektif Sutan Takdir Alisjahbana

14 Desember 2024   08:46 Diperbarui: 14 Desember 2024   08:46 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Modernisasi adalah salah satu fenomena sosial dan budaya paling signifikan di Indonesia saat ini. Di tengah gempuran teknologi, globalisasi, dan perubahan nilai-nilai tradisional, masyarakat Indonesia berada di persimpangan antara mempertahankan identitas budaya lokal dan mengadopsi modernitas global. Perspektif Sutan Takdir Alisjahbana, seorang tokoh yang dikenal sebagai pendukung modernisasi dalam sejarah intelektual Indonesia, menawarkan sudut pandang menarik untuk memahami fenomena ini melalui pendekatan teori kritis.

Sebagai salah satu pemikir besar dalam sejarah Indonesia, Sutan Takdir Alisjahbana percaya bahwa modernisasi adalah kunci untuk membawa bangsa Indonesia menuju kemajuan. Dalam tulisannya, ia mendorong perubahan sosial yang berbasis pada ilmu pengetahuan, teknologi, dan rasionalitas. Takdir melihat modernisasi sebagai kebutuhan untuk menjawab tantangan zaman dan meninggalkan pola pikir tradisional yang dianggap menghambat perkembangan.

Namun, pandangannya tidak tanpa kritik. Banyak pihak menilai bahwa modernisasi yang diusulkan Takdir dapat mengikis identitas budaya lokal. Di sinilah teori kritis menjadi relevan: ia mengajak kita untuk tidak hanya menerima modernisasi secara pasif, tetapi juga mempertanyakan bentuk, arah, dan dampaknya terhadap masyarakat.

Modernisasi di Indonesia saat ini hadir dalam berbagai bentuk, mulai dari urbanisasi, digitalisasi, hingga transformasi gaya hidup. Namun, modernisasi juga membawa berbagai tantangan, termasuk ketimpangan sosial, homogenisasi budaya, dan kehilangan nilai-nilai lokal. Fenomena ini dapat dianalisis melalui kerangka teori kritis berbasis pemikiran Takdir:

Modernisasi seringkali memunculkan jurang ketimpangan antara kelompok masyarakat yang mampu mengakses teknologi dan mereka yang tertinggal. Dalam perspektif Takdir, ini bertentangan dengan esensi modernisasi sebagai alat untuk kemajuan bersama.

Teori kritis mengajak kita untuk mempertanyakan: Apakah modernisasi benar-benar inklusif? Atau justru menciptakan struktur baru yang memarginalkan kelompok tertentu?

Globalisasi dan modernisasi kerap dianggap sebagai ancaman bagi keberlanjutan budaya lokal. Nilai tradisional, seperti gotong royong dan kearifan lokal, perlahan digantikan oleh pola hidup individualistik.

Takdir percaya bahwa modernisasi tidak harus bertentangan dengan budaya lokal. Teori kritis menggarisbawahi pentingnya mengintegrasikan nilai-nilai tradisional ke dalam proses modernisasi, sehingga keduanya dapat berjalan beriringan.

Salah satu dampak globalisasi adalah munculnya budaya homogen yang mengesampingkan keberagaman lokal. Hal ini tampak dalam konsumsi budaya populer global, seperti musik, mode, dan hiburan.

Perspektif kritis Takdir mendorong kita untuk menciptakan modernisasi yang tetap mempertahankan pluralitas budaya sebagai kekayaan bangsa.

Untuk menjawab tantangan modernisasi, kita dapat merujuk pada gagasan Takdir yang mengusulkan perpaduan antara nilai tradisional dan modernitas:

Pendidikan harus menjadi alat untuk mempertemukan tradisi dan modernitas. Kurikulum yang menekankan nilai budaya lokal sekaligus keterampilan global dapat menjadi solusi.

Pemerintah perlu memastikan bahwa manfaat modernisasi dirasakan oleh semua kelompok masyarakat, termasuk mereka yang berada di daerah terpencil.

Teknologi dapat dimanfaatkan untuk mempromosikan budaya lokal ke tingkat global, seperti melalui platform digital untuk seni, kuliner, dan tradisi lokal.

Modernisasi adalah tantangan sekaligus peluang bagi masyarakat Indonesia. Dalam pemikiran Sutan Takdir Alisjahbana, modernisasi adalah jalan menuju kemajuan, tetapi harus dilakukan dengan mempertimbangkan nilai-nilai lokal dan dampak sosialnya. Dengan pendekatan teori kritis, kita dapat mengkritisi dan mengarahkan modernisasi agar tidak hanya menjadi alat perubahan, tetapi juga alat pembebasan yang inklusif dan berkelanjutan.

Sebagai bangsa, kita memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa modernisasi tidak menghapus identitas kita, tetapi justru memperkaya keunikan budaya Indonesia di tengah arus globalisasi. Seperti yang pernah diungkapkan Takdir, "Kemajuan tidak akan datang dengan sendirinya, tetapi harus dicapai melalui usaha yang sadar dan terencana."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun