Modernisasi adalah salah satu fenomena sosial dan budaya paling signifikan di Indonesia saat ini. Di tengah gempuran teknologi, globalisasi, dan perubahan nilai-nilai tradisional, masyarakat Indonesia berada di persimpangan antara mempertahankan identitas budaya lokal dan mengadopsi modernitas global. Perspektif Sutan Takdir Alisjahbana, seorang tokoh yang dikenal sebagai pendukung modernisasi dalam sejarah intelektual Indonesia, menawarkan sudut pandang menarik untuk memahami fenomena ini melalui pendekatan teori kritis.
Sebagai salah satu pemikir besar dalam sejarah Indonesia, Sutan Takdir Alisjahbana percaya bahwa modernisasi adalah kunci untuk membawa bangsa Indonesia menuju kemajuan. Dalam tulisannya, ia mendorong perubahan sosial yang berbasis pada ilmu pengetahuan, teknologi, dan rasionalitas. Takdir melihat modernisasi sebagai kebutuhan untuk menjawab tantangan zaman dan meninggalkan pola pikir tradisional yang dianggap menghambat perkembangan.
Namun, pandangannya tidak tanpa kritik. Banyak pihak menilai bahwa modernisasi yang diusulkan Takdir dapat mengikis identitas budaya lokal. Di sinilah teori kritis menjadi relevan: ia mengajak kita untuk tidak hanya menerima modernisasi secara pasif, tetapi juga mempertanyakan bentuk, arah, dan dampaknya terhadap masyarakat.
Modernisasi di Indonesia saat ini hadir dalam berbagai bentuk, mulai dari urbanisasi, digitalisasi, hingga transformasi gaya hidup. Namun, modernisasi juga membawa berbagai tantangan, termasuk ketimpangan sosial, homogenisasi budaya, dan kehilangan nilai-nilai lokal. Fenomena ini dapat dianalisis melalui kerangka teori kritis berbasis pemikiran Takdir:
Modernisasi seringkali memunculkan jurang ketimpangan antara kelompok masyarakat yang mampu mengakses teknologi dan mereka yang tertinggal. Dalam perspektif Takdir, ini bertentangan dengan esensi modernisasi sebagai alat untuk kemajuan bersama.
Teori kritis mengajak kita untuk mempertanyakan: Apakah modernisasi benar-benar inklusif? Atau justru menciptakan struktur baru yang memarginalkan kelompok tertentu?
Globalisasi dan modernisasi kerap dianggap sebagai ancaman bagi keberlanjutan budaya lokal. Nilai tradisional, seperti gotong royong dan kearifan lokal, perlahan digantikan oleh pola hidup individualistik.
Takdir percaya bahwa modernisasi tidak harus bertentangan dengan budaya lokal. Teori kritis menggarisbawahi pentingnya mengintegrasikan nilai-nilai tradisional ke dalam proses modernisasi, sehingga keduanya dapat berjalan beriringan.
Salah satu dampak globalisasi adalah munculnya budaya homogen yang mengesampingkan keberagaman lokal. Hal ini tampak dalam konsumsi budaya populer global, seperti musik, mode, dan hiburan.
Perspektif kritis Takdir mendorong kita untuk menciptakan modernisasi yang tetap mempertahankan pluralitas budaya sebagai kekayaan bangsa.
Untuk menjawab tantangan modernisasi, kita dapat merujuk pada gagasan Takdir yang mengusulkan perpaduan antara nilai tradisional dan modernitas: