(1)Â
Ada kisah soal pujangga yang bersemayam di bukit
Bermalam-malam ia menunggu kataÂ
Berdarah-darah ia merangkai maknaÂ
Bergemelentam debarnya menuai hasil di atas lontarÂ
Sampai pujangga lengser dari bukitÂ
karena mayapada memungkirinya yang telah dapat mahkota dari mahligai Raja
"Seribu tahun aku kan kembali membawa Soneta, biar mulut mereka terpangah!"Â
Maka besok-besok pujangga bersemayam di lembahÂ
Menghitung bayu yang berpuput dari selatan, hingga daun-daun berguguranÂ
Mencari tahu tanah yang membuat pohon menjulangÂ
Menelaah ketimpangan antara sarang semut dan sarang harimauÂ
"Aku tetap mungkir karena kau telah dapat hikmah dari bayu yang berpuput, tanah lembah, sarang dan sarang harimau"Â
Namun kata pujangga tetaplah azaliÂ
(2)
 Begitulah, AnakkuÂ
Kisah ribuan tahun laluÂ
Kisah pujangga yang mahakaryanya tak pernah merdeka Â
Begitulah, AnakkuÂ
Dunia seringkali bakhil berbagi adilÂ
Maka pujangga bertutur lewat sonetanya yang belum usai,Â
"Jika pun aku tak mampu lagiÂ
Kata-kata yang bergerak rangkumlah lagiÂ
Lalu susunlah jadi sebuah seniÂ
Terbangkanlah ia hingga menelusup ke sanubari banyak insani ..."
*Kamus Sastra:
Gemelentam: Â berbunyi berdentam-dentam (seperti meriam)Â
Mayapada: bumi; duniaÂ
Mungkir: tidak mengaku(i); tidak mengiakanÂ
Mahligai: (ruang) tempat kediaman raja atau putri-putri raja (dalam lingkungan istana)Â
Soneta: sajak yang terdiri atas empat bait (2 bait pertama masing-masing terdiri atas 4 baris, 2 bait terakhir masing-masing terdiri atas 3 baris); sajak 14 baris yang merupakan satu pikiran atau perasaan yang bulatÂ
Bayu:angin
Berpuput: bertiup; berembusÂ
Terpangah: terngangaÂ
Azali: bersifat azal; bersifat kekalÂ
Bakhil: kikir; lokek; pelitÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H