Mohon tunggu...
Shita Hapsari
Shita Hapsari Mohon Tunggu... -

Daydreamer. True believer.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Etika Bertukar Sapa

22 Agustus 2011   22:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:33 2593
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik



Excuse me.

Seorang pria bule bertubuh tinggi besar muncul dari balik pintu lift yang terbuka, bersiap melangkah keluar. Langkahnya tersendat karena melihat saya, yang masih overwhelmed by the situation (baca: imigran udik), hendak menyerbu masuk lift.

Saya mengurungkan langkah saat itu juga, menyadari ketidaksopanan saya. Sementara pria bule itu ber-permisi ria, saya hanya tersenyum canggung.

Sorry. Excuse me. Please.

Banyak yang bisa saya katakan untuk menyahut ucapan si bule. But cat got my tounge.

Itu hari ke-2 saya menginjakkan kaki di tanah Paman Sam. Dua hari bertemu orang-orang Amerika di Homewood Suites, sebuah hotel di Plano, Texas.

Dan itu pertama kalinya saya menyadari bahwa orang-orang di sini ramah. Si pria bule tadi memang tidak mengumbar senyum saat meminta maaf. Tapi, itu tidak mengurangi rasa tulus dalam ucapannya. Dan mereka selalu bilang ‘excuse me’ kapan saja. Saat berpapasan di selasar supermarket dan seorang bule hendak lewat di depan saya yang sedang bengong memandangi barang-barang di rak, dia bilang ‘excuse me’. Padahal dia tidak mengganggu jalan saya, koridor di depan saya masih lebar. Kalau dia peranakan Jawa, mungkin dia akan berjalan setengah menunduk dengan tangan kanan melambai di depan badannya. Hehe.

Saya tidak pernah bilang ‘permisi’ saat melewati orang di selasar supermarket. Kecuali kondisi saat itu memaksa saya. Ketika troli seorang ibu menutupi jalan sehingga saya kesulitan lewat, misalnya.

Orang bilang, bangsa kita ramah dan bersahabat. Hm, murah senyum memang iya, saya setuju. Para bule ini tidak seroyal bangsa kita dalam membagikan senyum.

Tapi saya juga terkesan dengan ungkapan2 verbal keramahan orang-orang bule di sini.

Tiap sarapan pagi di ruang makan hotel, saya selalu disapa oleh seseorang. Entah oleh receptionist, the breakfast server, atau sesama tamu hotel.

Morning!”

Selalu saya balas dengan bonus seulas senyum khas bangsa Asia.

Dari pengalaman saya menginap di hotel di beberapa kota di Indonesia, belum ada tuh pengalaman disapa ‘selamat pagi’ oleh sesama tamu saat sama-sama mengambil roti dari meja sarapan. Saya pun tak punya keinginan untuk menyapa duluan. Jadi begitulah, tindakan saya (mungkin) mencerminkan kebiasaan umum bangsa saya sendiri.

Lain waktu saat berbelanja di Walmart, saya belajar bentuk keramahan lain. Ketika saya mulai sibuk mengeluarkan barang dari troli, sang kasir menyempatkan diri untuk menyapa. “Hi. How are you?

Awkward grin in my face for fellow American.

Sesudah transaksi selesai, karung belanjaan terangkut kembali ke troli, kami pun melangkah pergi. “Have a nice day.“ Kembali sang kasir merapal sapa.

More awkward grin from me.

Have a nice day. Have a great one. Have a good day. Selalu terdengar di akhir transaksi dengan mana pun.

Sekali lagi, etika verbal yang tidak biasa saya temui di puluhan konter kasir di Indonesia. Sekarang, saya mulai membiasakan diri tidak langsung kalap meraup belanjaan ke atas konter kasir. Saya sapa juga petugas di belakang meja kasir. Meskipun kalah cepat, karena memang tugas mereka to greet first, saya coba untuk mengeluarkan sesuatu dari pita suara saya. Walau sebatas ‘Hi’.

Di neighbourhood kami, yang merupakan satu kompleks housing dua tingkat yang disebut apartemen, memang tidak ada keguyuban seperti lazim dijumpai di perumahan Indonesia. Tidak ada arisan RT/RW, acara 17-an, senam aerobik ibu-ibu di taman komplek. Tidak ada juga sarapan bersama atau karaoke bareng seperti yang biasa saya alami di perumahan kami di Bintaro.

Orang Amerika memang tidak terlalu tertarik berinteraksi untuk sekedar basa-basi. Tidak ada kewajiban rukun tetangga seperti di Jawa karena kepercayaan ‘tangga kuwi sedulur sing paling cedhak‘. Mereka saling menghormati dan saling percaya, dan saya yakin tidak ragu untuk menolong saat kita membutuhkan mereka. Tapi minus basa-basi pergaulan.

Saya rasa salah satu sebabnya juga karena tidak adanya aktivitas pagi maupun sore hari di luar apartemen. Di kompleks saya di Bintaro, dan di perumahan mana pun di Indonesia dimana iklim masih tropis, tiap pagi maupun sore hari, pasukan ibu dan bayi, babysitter dan bayi, maupun anak-anak biasanya keluar rumah untuk jalan-jalan sambil bersuap-suapan, bermain, atau bersepeda.

Not in here. It’s so hot, people reluctant to come outsideTexas boils during summer(Hopefully spring brings another story).

Tak ada aktivitas di luar rumah, tak ada sosialisasi.

Kembali ke masalah etika bertukar sapa. Saya jadi memikirkan padanan kata ‘how are you’ dan ‘have a good day’ dalam bahasa Indonesia.

‘How are you’ memang mempunyai arti ‘apa kabar’, ‘bagaimana kabarmu’ secara harfiah. Namun bila ia dikatakan saat pertama kali bertemu, terutama oleh orang yang tidak kita kenal, sebenarnya ia hanya bentuk basa-basi saja. Orang yang mengatakannya tidak benar-benar ingin tahu keadaan kita. Apalagi kalau ia kasir Walmart. Sama halnya dengan ungkapan ‘how do you do’. Ungkapan yang terakhir ini mungkin-saya rasa-lebih umum dipakai dalam British English.

Saya pernah belajar bahwa balasan ujaran ‘how do you do’ adalah (juga) ‘how do you do’. Karena itu tadi, that doesn’t necessarily mean a thing. Saya rasa hal yang sama berlaku untuk ‘how are you’. Namun, seringkali orang masih menyelipkan jawaban ‘fine’ atau ‘great’ sebelum mereka membalas ‘how are you’ kembali.

Nah, Indonesia memang tidak mengenal kalimat sapaan abal-abal seperti ini. Jika orang bertanya ‘apa kabar’, biasanya mereka memang serius menanyakannya dan mengharapkan jawaban, sesimpel apapun. Karena itulah, tidak pernah kita jumpai seorang kasir supermarket menyapa kita sebelum menghitung belanjaan: ‘Halo, apa kabar, Bu?’

That would be creepy for some people, I imagine. Saya pasti akan bengong dan mengingat-ingat apakah saya kenal dengan mbak kasir ini sampai dia bertanya sedemikian rupa pada saya.

Paling banter kita akan disapa ‘Selamat pagi, Bu’. Itu pun tidak semua. Biasanya hanya customer service atau resepsionis yang bela-belain menyapa kita seperti itu. Karena itu bagian dari wujud pelayanan prima yang coba mereka berikan pada konsumen.

Dan untuk kalimat ‘have a good day’ – ‘miliki hari yang indah’, ‘semoga jadi hari yang baik’? Jelas mereka bukan ujaran lazim sehari-hari untuk bangsa kita. Kecuali bila dikatakan oleh seseorang yang memang serius mengharapkan demikian bagi lawan bicaranya, kemungkinan setelah lawan bicaranya itu curhat atau menceritakan persoalan pribadinya.

Jadi, memang kita punya common courtesy yang berbeda dalam hal beramah-tamah. Bukan berarti bangsa kita kurang ramah secara verbal. Dan bukan pula berarti bahasa kita lebih tidak kaya daripada bahasa Inggris.

Pada intinya, saya hanya ingin mengungkapkan keterkejutan dan penghargaan saya atas keramahan orang Amerika yang di luar bayangan saya sebelumnya. Nampaknya, keramahan tidak hanya dimonopoli oleh orang Asia saja. Lebih jauh lagi, senyum yang tulus dan menyejukkan hati, makin memperindah dunia bila disertai sapaan ramah dan sikap yang bersahabat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun