Beberapa ciri orang dewasa dengan HPPD antara lain kelemahan dalam kemampuan sosial dan komunikasi baik verbal maupun non-verbal (misalnya kontak mata), kelemahan perkembangan dalam hubungan pertemanan yang normal, adanya ketertarikan spesifik yang abnormal secara intensitas ataupun fokus misalnya pada aktivitas rutin tertentu dan atau perilaku motorik yang berulang, dan disfungsi dalam kehidupan sosial atau pekerjaan.
Perlu diketahui HPDD dapat digolongkan menjadi gangguan autistik atau gangguan Asperger. Kedua kategori ini dibedakan apakah perkembangan kemampuan berbahasa seseorang terganggu atau tidak. Secara skor IQ, HPDD dapat dibagi menjadi "high functioning"(IQ di atas atau sama dengan 70), dan “low functioning” (IQ di bawah 70).
Mereka yang melakukan hikikomori setelah kehilangan pekerjaan atau berhenti bekerja, bukan karena adanya gangguan mental, digolongkan sebagai hikikomori primer. Contoh lain adalah remaja yang melakukan hikikomori setelah mendapat perundungan dari lingkungannya.
Peneliti lain (Alan Teo dan rekan) melakukan evaluasi diagnostik yang detil pada 22 orang prilaku hikikomori dan menemukan kebanyakan memenuhi kriteria kondisi psikis yang beragam, 1 dari 5 kasus adalah hikikomori primer.
Hingga saat ini, hikikomori belum dimasukkan dalam panduan diagnosis untuk gangguan mental DSM-5. Berdasarkan hal ini juga kita memberi perhatian lebih tentunya untuk penanganan dan pencegahan hikikomori primer. Namun kita memang perlu mengetahui bahwa faktor-faktor gangguan kepribadian juga tentunya mempunyai peranan pada beberapa individu.
Menurut penulis buku 'Shutting Out the Sun: How Japan Created Its Own Lost Generation', Michael Zielenziger, sindrom hikikomori ini lebih berhubungan erat dengan gangguan stress pasca trauma (post traumatic stress disorder). Zielenziger mengatakan pelaku hikikomori yang ia wawancara untuk buku tersebut mengatakan telah menemukan cara berpikir 'mandiri' dan 'rasa diri' yang tidak dapat diakomodasi oleh lingkungan Jepang saat ini.
Sindrom hikikomori juga disebut erat dengan gangguan kepribadian 'avoidant' (penghindar), gangguan kepribadian skizoid, gangguan kepribadian skizotipikal, agorafobia atau gangguan kecemasan sosial.
Dugaan faktor sosial pendukung hikikomori
Sebagai salah satu permasalahan sosial, ada kemungkinan beberapa faktor sosial yang menyebabkan dan mendukung hikikomori. Salah satunya adalah kemakmuran pasca masyarakat industrial yang memungkinkan orang tua menopang anak-anaknya di rumah saja tanpa harus bekerja. Keluarga dengan ekonomi menengah ke bawah tidak memungkinkan melakukan hal ini karena anak-anak muda secara sosial biasanya akan dipaksa untuk bekerja di luar rumah.
Pola pengasuhan adalah faktor lain yang diduga mendukung fenomena ini. Ketidakmampuan orang tua untuk mengenali dan bertindak kepada anak yang menunjukkan perilaku mengisolasi diri, soft parenting, dan adanya pola kodependensi antara anak laki-laki dan ibunya (amae), menjadi faktor yang mendukung hikikomori.
Sistem pendidikan, perumahan, dan ekonomi suatu negara juga dapat berdampak pada perilaku hikikomori. Ekspektasi sosial yang menitikberatkan pada peran khususnya anak laki-laki yang telah dewasa, anak tertua, dengan kelas sosial menengah hingga atas, dapat membuat kecenderungan prilaku ini, khususnya bila mereka mengalami sebuah atau beberapa kejadian traumatis yang berkaitan dengan kegagalan akademis ataupun sosial.