Namun pengokohan hierarki atau suatu status sosial pada manusia berbeda. Pada manusia dengan kemampuan berbahasa (verbal) yang semakin baik, maka agresi fisik lebih jarang terjadi. Sebagian besar manusia menahan diri untuk agresi fisik karena dapat melakukan interaksi secara verbal.Â
Maka aksi menghina secara verbal dapat diartikan suatu usaha untuk mengurangi atau membuat rendah status sosial si penerima hinaan dan menaikkan 'status relatif' dari si penghina. Dengan logika ini, penghinaan adalah tindakan yang dilakukan untuk mempertahankan ataupun menaikkan 'ego' seseorang.
Status atau hierarki sosial ini pun tidak terhindarkan ketika seseorang berada di media sosial. Hinaan yang dilontarkan biasanya adalah bentuk reaksi karena seseorang diremehkan secara nyata ataupun hanya imajinasinya. Hal ini karena ia merasa 'tidak aman' akan statusnya atau kondisinya.Â
Media sosial berhasil membuat manusia semakin memperhatikan pandangan orang lain terhadap dirinya. Sebuah penelitian psikologi sosial (Twenge,J.M., et al.,2009, Egos inflating overtime: A cross-temporal meta-analysis of the narcisstic personality inventor, Journal of Personality) memetakan adanya peningkatan yang stabil dalam perilaku narsisisme dalam kelompok-kelompok mahasiswa yang menjadi objek sebuah penelitian.Â
Sedikit kesepakatan tentang penyebab hal ini, namun sejumlah peneliti meyakini semakin seorang anak diukur secara kuantitatif, misalnya dengan tes bakat, skor IQ, dan IPK, maka anak dapat menjadi semakin sensitif dengan hal-hal yang mengancam peringkat sosialnya.Â
Kecenderungan ini pun mudah terlihat dengan adanya media sosial. Banyak dari pengguna media sosial yang "tunduk" pada evaluasi yang tak henti-hentinya oleh anggota jaringan medsosnya dan hal ini mendorong perilaku untuk membesar-besarkan egonya yang seringkali dilakukan dengan tindakan yang mengorbankan orang atau pihak lain.Â
Mungkin Anda tidak setuju dan berkata tidak ada evaluasi di media sosial. Anda mungkin melupakan bahwa tombol like dan komen itu sebenarnya bisa dianggap sebagai mekanisme ataupun metode evaluasi bagi seseorang di media sosial bukan?
Kepedulian seseorang akan citranya atau persepsi orang lain akan dirinya dapat menciptakan ketidaknyamanan sosial baginya. Untuk mengurangi rasa tidak nyaman ini maka salah satu yang dapat dilakukan adalah dengan menyerang orang lain yang berada di areanya.Â
Tidaklah heran akhirnya media sosial pun dipenuhi dan didominasi oleh individu-individu yang doyan memberikan teguran pedas karena mereka memang senang melakukannya. Mereka yang melakukan kritikan dan hinaan juga sebagian besar bebas dari balasan atau konsekuensi atas komentarnya seandainya hal yang sama mereka lakukan di dunia nyata.
Tujuan dari merendahkan seseorang dengan tindakan menghina adalah untuk mengurangi status hirarki imajiner seseorang. Jadi tidaklah mengherankan bila hinaan biasanya akan menyinggung status sosial seseorang, seperti keturunan (suku, budaya, warna kulit), kurangnya prestise (kekayaan, pekerjaan, pendidikan), keanggotaan di luar suatu kelompok (kepercayaan minoritas).Â
Saya sendiri melihat bahwa alih-alih seseorang menjelaskan keberatannya akan suatu hal (mengkritik), sering kali mereka yang tidak dapat memberi jawaban dalam sebuah isu akan menyertakan hinaan. Hinaan ditujukan pada misalnya pendidikan seseorang, asal institusinya (yang dirasa tidak bonafid), bahkan ke bentuk tubuh seseorang yang secara umum dinilai tidak menarik (misalnya botak, gemuk, pendek, kulit berbintik, hingga penyakit tertentu), termasuk seksualitasnya.Â