Mohon tunggu...
Shinta Okteriana
Shinta Okteriana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia

Perkenalkan saya Shinta Okteriana. Saat ini saya merupakan mahasiswa angkatan tahun 2023 jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra di Universitas Pendidikan Indonesia. Hobi saya, yaitu menggambar, melukis, dan desain. Selain itu, saya juga menggemari fotografi dan videografi. Saya sangat suka dengan kegiatan bersosialisasi dengan banyak orang baru.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Ketidakadilan yang Disuarakan pada Puisi Peringatan karya Widji Thukul

20 Desember 2023   20:40 Diperbarui: 22 Desember 2023   09:53 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Widji Thukul dikenal sebagai satu dari sekian banyak sastrawan ternama Indonesia. Melalui karya-karyanya, Widji Thukul secara terang-terangan mengkritisi sistem pemerintahan masa Orde Baru. Karya-karya Widji Thukul relevan dan memiliki dampak yang kuat di hati masyarakat Indonesia. Salah satunya puisi berjudul “Peringatan”. Widji Thukul menulis puisi berjudul "Peringatan" di Solo, pada tahun 1986. Meskipun dibuat pada masa Orde Baru, puisi tersebut masih tetap eksis sampai sekarang. 

Berikut adalah puisi "Peringatan" karya Widji Thukul.

PERINGATAN

karya Widji Thukul, 1986

Jika rakyat pergi

Ketika penguasa pidato

Kita harus hati-hati

Barangkali mereka putus asa

Kalau rakyat sembunyi

Dan berbisik-bisik

Ketika membicarakan masalahnya sendiri

Penguasa harus waspada dan belajar mendengar

Bila rakyat tidak berani mengeluh

Itu artinya sudah gawat

Dan bila omongan penguasa

Tidak boleh dibantah

Kebenaran pasti terancam

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang

Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan

Dituduh subversif dan mengganggu keamanan

Maka hanya ada satu kata: lawan!

Suatu tolak ukur untuk pengelompokkan teks sastra adalah situasi bahasa. Puisi termasuk teks monolog maka situasi bahasa puisi tetap monolog. Hakikat situasi bahasa monolog adalah berbicara searah, tidak perlu ada respons dari pendengar. Monolog aku lirik ditujukan kepada pendengar atau yang diajak bicara. Situasi bahasa teks monolog mencakup pembicara dan pendengar. 

Kehadiran pembicara dalam puisi tersebut bersifat eksplisit. Aku lirik terungkap dari penyebutan kita pada bait pertama larik ketiga, yaitu "Kita harus hati-hati" (Widji Thukul, 1986)

 

Pada puisi tersebut, orang kedua diajak bicara, tetapi tidak menjawab. Melalui pemahaman teks siapa orangnya dan apa hubungannya dengan subjek lirik, dapat disimpulkan bahwa hubungannya ialah antara rakyat dan penguasa. Jelaslah bahwa tidak ada jawaban dari pihak kedua. Keseluruhan sajak mengungkapkan kekecewaan rakyat terhadap perilaku penguasa yang merugikan rakyat. Oleh karena itu, kehadiran pendengar dalam puisi tersebut bersifat implisit, yakni masyarakat luas.

Dalam puisi "Peringatan" karya Widji Thukul, setiap baitnya memiliki makna yang mendalam. Berikut analisis makna setiap bait puisi tersebut.

Jika rakyat pergi

Ketika penguasa pidato

Kita harus hati-hati

Barangkali mereka putus asa

(Bait pertama, puisi “Peringatan” Widji Thukul)

Pada bait tersebut, pengembangan tema perlawanan rakyat terhadap penguasa disampaikan lewat pengamatan aku lirik membawa pembaca untuk melihat bagaimana situasi ketika penguasa menyampaikan pidato di depan masyarakat. Namun, masyarakat memutuskan untuk meninggalkan tempat tersebut. Tindakan ini mengekspresikan kekecewaan mereka terhadap pemerintah yang terus-menerus menawarkan janji-janji manis yang tidak pernah terealisasikan. Ironisnya, pemerintah yang seharusnya pro rakyat malah terlihat acuh tak acuh terhadap kebutuhan dan aspirasi rakyatnya.

Kalau rakyat sembunyi

Dan berbisik-bisik

Ketika membicarakan masalahnya sendiri

Penguasa harus waspada dan belajar mendengar

(Bait kedua, puisi “Peringatan” Widji Thukul)

Pada bait tersebut, pengembangan tema perlawanan rakyat terhadap penguasa disampaikan lewat pengamatan aku lirik yang menggambarkan perlawanan rakyat terhadap penguasa pada masa Orde Baru, di mana ketidakpuasan rakyat terhadap sistem pemerintahan tidak dapat diungkapkan secara terbuka. Ketidakberanian rakyat untuk berpendapat muncul karena ancaman penangkapan bagi siapapun yang menjelek-jelekkan pemerintah. Hal itulah yang membuat rakyat mengungkapkan pendapat, usul, dan gagasan secara sembunyi-sembunyi agar penguasa tidak mengetahuinya serta agar rakyat terhindar dari penangkapan.

 Aku lirik memberikan peringatan kepada pemerintah untuk waspada karena ketidakbebasan berpendapat mencerminkan sistem pemerintahan yang tidak sehat yang mana lambat laun akan melengserkan pemerintahan itu sendiri. Selain itu, aku lirik juga memberikan penekanan kepada pemerintah akan pentingnya mendengarkan dan memahami keluhan serta aspirasi rakyat.  

Bila rakyat tidak berani mengeluh

Itu artinya sudah gawat

Dan bila omongan penguasa

Tidak boleh dibantah

Kebenaran pasti terancam

(Bait ketiga, puisi “Peringatan” Widji Thukul)

Pada bait tersebut, pengembangan tema perlawanan rakyat terhadap penguasa disampaikan lewat pengamatan aku lirik membawa pembaca untuk melihat sistem pemerintahan Orde Baru yang tidak sehat. Hal tersebut ditandai dengan ketidakberanian rakyat untuk mengemukakan pendapatnya secara terbuka. Apapun yang penguasa sampaikan hanyalah kebohongan berkedok janji-janji manis, yang pada realitasnya justru bertentangan dengan kepentingan rakyat. Meskipun tahu hanya kebohongan semata tetapi rakyat harus mendengar tanpa membantah. Semua pendapat rakyat harus sejalan dengan pemerintah.

Aku lirik mengisyaratkan bahwa jika tindakan penguasa yang merugikan rakyat dianggap sebagai kebenaran yang tak boleh dibantah, maka kebenaran pasti terancam. Penggunaan kata "terancam" menciptakan peringatan  akan konsekuensi serius jika rakyat tidak dapat mengungkapkan kebenaran yang mungkin bertentangan dengan pemerintah.

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang

Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan

Dituduh subversif dan mengganggu keamanan

Maka hanya ada satu kata: lawan!

(Bait keempat, puisi “Peringatan” Widji Thukul)

Pada bait tersebut, pengembangan tema perlawanan rakyat terhadap penguasa disampaikan lewat pengamatan aku lirik membawa pembaca untuk melihat bahwa segala usul, pendapat, dan kritikan dari rakyat serta apapun yang dianggap mengancam penguasa akan dilawan oleh penguasa. Menyadari ketidakadilan tersebut, aku lirik menyerukan kepada rakyat untuk melawan pemerintah. Apabila pemerintah tak pernah mau mendengarkan rakyat maka jalan satu-satunya hanya dengan melakukan perlawanan guna melengserkan pemerintahan Orde Baru.

Pada puisi “Peringatan” ini pemilihan diksi banyak menggunakan kata-kata denotatif, yaitu kata yang memiliki makna sebenarnya bukan kiasan maupun perumpamaan. Bahasanya lugas dan tidak memerlukan interpretasi yang rumit sehingga memudahkan pembaca untuk memahami pesan yang disampaikan. Kata-kata seperti "rakyat," "pidato," "putus asa," "sembunyi," "kritik," dan "lawan" adalah contoh dari diksi denotatif yang digunakan penyair. 

Dalam bait "Dituduh subversif dan mengganggu keamanan" pada puisi "Peringatan" karya Widji Thukul, penyair menggunakan istilah ilmiah "subversif" yang sulit dipahami bagi pembaca awam. Kata "subversif" merujuk pada upaya pemberontakan atau rencana menjatuhkan kekuasaan. Penyair kemungkinan ingin menghindari kesan klise atau terlalu langsung sehingga memilih kata yang mungkin tidak begitu umum dijumpai dalam percakapan sehari-hari. Pemilihan kata ini juga dapat mendorong pembaca untuk lebih memperhatikan dan merenungkan makna yang terkandung di dalamnya.

Dalam puisi “Peringatan” ini tidak ditemukan banyak majas atau gaya bahasa. Hanya terdapat majas metafora yang menjadi salah satu elemen penting dalam penyampaian makna. Majas metafora digunakan untuk menyamakan atau memaknai suatu hal dengan hal lain. Hal tersebut terlihat pada bait keempat larik kedua yang berbunyi "Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan" (Widji Thukul, 1986). Dalam bait ini, diksi "suara" digunakan secara metaforis untuk merujuk pada opini, gagasan, pendapat, atau kritik yang ingin disampaikan oleh rakyat kepada para penguasa. Kata "suara" yang sebenarnya berkaitan dengan bunyi yang dihasilkan oleh manusia, dalam konteks puisi ini diartikan sebagai ungkapan dan pandangan yang ingin diungkapkan oleh rakyat.

Pada puisi tersebut terdapat beberapa penggunaan tanda baca, yaitu tanda titik dua (:) dan tanda seru (!). Tanda titik dua (:) dan tanda seru (!) digunakan pada bait keempat larik keempat, yaitu "Maka hanya ada satu kata: lawan!" (Widji Thukul, 1986). Pada larik tersebut, tanda titik dua (:) digunakan sebagai penjabaran. Kata setelah tanda titik dua (:), yaitu "lawan!" merupakan penjabaran dari kata sebelumnya. Tanda seru (!) digunakan digunakan sesudah pernyataan yang berupa seruan, perintah, atau rasa emosi yang kuat. Tanda seru (!) pada kata  "lawan!" memberikan kesan seruan yang tegas dan kasar. 

Sebagaimana karya-karya Widji Thukul lainnya yang menjadi bentuk ekspresi kepedihan, protes, dan keberanian untuk bersuara di tengah zaman yang penuh tantangan. Begitu pula puisi "Peringatan" yang menunjukkan peran puisi sebagai perantara menyuarakan aspirasi, mengekspos ketidakadilan, dan merangsang pemikiran kritis. Thukul menggunakan puisi ini sebagai sarana untuk membawa suara rakyat kecil yang terpinggirkan akibat ketidakadilan pemerintah. Selain itu, puisi ini juga dapat membangkitkan kesadaran akan keadaan sosial yang perlu diperbaiki. Puisi ini bukan hanya sekadar karya sastra, tetapi juga membuka pandangan terhadap tantangan, keluh kesah, dan kesulitan yang dihadapi oleh masyarakat di bawah pemerintahan yang tidak adil.

Puisi ini memiliki dampak yang besar bagi pembaca, baik rakyat maupun pemerintah. Bagi rakyat, puisi ini menjadi inspirasi dalam membangun solidaritas dan membangkitkan semangat perlawanan. Kata-kata lugas yang terlontar dari puisi tersebut dapat memotivasi masyarakat untuk lebih berpikir kritis dalam menghadapi ketidakadilan. Bukan hanya menjadi penonton saja,  melainkan juga berani bertindak secara nyata guna mendorong perubahan positif. Tindakan-tindakan nyata itu akan menciptakan dampak positif dan inspiratif dari puisi ini. Menghadapi ketidakadilan merupakan tanggung jawab setiap individu dalam masyarakat. Dampak puisi ini bagi penguasa, yaitu menggugah kesadaran akan pentingnya suara rakyat. Melalui kejelasan kata-kata dalam puisi tersebut, pemerintah dapat tersadar akan ketidakpuasan dan aspirasi rakyat yang mungkin terabaikan. Oleh karena itu, pemerintah harus mendengarkan suara rakyat dan meresponsnya secara proaktif.

Secara keseluruhan, pemilihan diksi dalam puisi "Peringatan" sangat mudah dicerna dan dipahami oleh pembaca karena penggunaan kata-kata denotatif yang lugas dan jelas. Meskipun menggunakan kata-kata yang sederhana, puisi ini mampu membangkitkan emosi yang dapat dirasakan secara langsung oleh pembaca. Pemilihan kata-kata ini memperkuat esensi pesan yang ingin disampaikan oleh Widji Thukul, yaitu perlawanan rakyat terhadap penguasa.  Dilihat dari segi pengembangan tema, puisi "Peringatan" ini secara keseluruhan menggunakan pengembangan tema perlawanan rakyat terhadap penguasa yang disampaikan lewat pengamatan aku lirik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun