“Kebudayaan pastilah memiliki tujuan akhir dalam metafisika. Atau, metafisika itu yang akan berakhir menjadi sebuah kebudayaan“ (Johan Huisinga).
Begitulah kira-kira kalimat kunci sekaligus pintu awal dari pembahasan kali ini yang dikutip diawal bab pertama dalam buku “Sejarah Peradaban Barat Abad Pertengahan” karya Henri S Lucas (selanjutnya HSL).
Filsafat sejarah dan Momentum politik
Dalam pengantar buku karya HSL tersebut dijelaskan bahwa secara sederhana peradaban barat bisa dibilang terbagi kedalam 3 periode. Periode klasik dimulai dari zaman Yunani kuno sampai abad-5. Periode abad pertengahan dimulai dari abad ke-6 sampai abad ke-15. Dan Periode abad modern dimulai dari abad ke-15 hingga abad ke-19. (Periode selanjtnya abad ke-20 paling tidak sampai tulisan ini dibuat disebut abad Post-modern).
Sejauh yang saya fahami, setiap abad tentunya memiliki ciri umumnya dan titik mulai dan berakhirnya. Awal periode abad pertengahan ini ditandai dengan keruntuhan Romawi barat pada tahun 476M yang di introdusir oleh gejala krisis politik dengan merdekanya polis-polis pada saat itu. Dan abad ini berakhir pada keruntuhan Romawi timur pada tahun 1453. Sedang HSL menyebutkan bahwa ciri umum dari Abad pertengahan adalah “Metafisika Kristiani” yang dirumuskan oleh santo Agustin pada Abad ke-5 tentang “Kota Tuhan”.
Awal sejarah kristen dan Kehadiran sang Mesiah
Sejarah agama kristen sendiri dimulai dari kelahiran sang nabi yang bernama Yesus pada awal abad masehi ditengah-tengah sebuah kriris kepercayaan yang serius terhadap dewa-dewa Yunani dan Romawi yang menjangkiti kalangan terdidik. Hal demikian menurut HSL disebabkan oleh menjamurnya skeptisme dari para filsuf seperti Epicurus dan Lucretius.
Agama ini dibawa oleh Yesus dengan cara-cara yang bersahaja. Dan menimbulkan sebuah kesadaran yang mendalam bagi para pengikutnya. Bahkan, bagi sebagian kalangan yahudi Yesus didaku sebagai seorang mesias monotheis yang telah lama ditunggu-tunggu.
Tragedi penyaliban dan Babak pertama peradaban kristen pertengahan
Abad pertengahan dimulai dari sebuah fakta bahwa agama kristen mendapati tempatnya yang mengakar dalam kesadaran penduduk romawi saat itu. Dimana kepercayaan, agama atau filsafat memiliki kekutan-kekuatan dogmatik tertentu yang sehingga karena proposisi-proposisi yang terdapat padanya bisa mendorong, menciptakan sebuah bentuk peradaban khas zamannya.
HSL menyebutkan bahwa salah satu kelebihan dari agama kristen adalah bahwa Yesus sebagai orang nomor satu agama ini adalah tokoh sejarah yang hadir ditengah-tengah masyarakat dibandingkan dengan tokoh dewa-dewa pagan Yunani-Romawi yang mitologis. Namun, alangkah ironisnya ketika Yesus yang begitu dicintai karena kehadirannya alih-alih mendapatkan sebuah dakwa berupa penyaliban dari kekaisaran Romawi. Secara simplistis, jatuhan hukuman penyaliban tersebut justru mengakibatkan tingkat kecintaan menjadi lebih berlipat ganda kepada agama kristen atas para pengikutnya.
Pada saat itu Yesus dituduh melakukan sebuah gerakan pemberontakan. Hal tersebut dimulai dari perbedaan yang mendasar mengenai ajaran yang dibawa oleh Yesus dibandingkan ajaran agama yang umum pada saat itu. Agama yang dibawa oleh Yesus adalah agama moral yang tidak berkaitan sama sekali dengan urusan-urusan duniawi ataupun politik. Sedangkan Romawi pada saat itu memiliki sebuah agama yang memiliki unsur-unsur politis seperti pensakralan terhadap seorang kaisar yang tidak jarang disebut sebagai titisan dewa. Ditambah lagi prihal orientasi kehidupan kristiani yang menekankan kehidupan setelah mati daripada kehidupan saat ini yang memiliki implikasi kemangkiran terhadap ritus-ritus yang bersifat publik, hal itu semua dst memberikan konsekwensi pilihan dilematis untuk tetap mempertahankan iman atau membela kepatriotisan ala Romawi.
Kisah kebangkitan dan Zaman para rasul : Babak dua
Tidak harus menunggu selama bertahun-tahun. Setelah tiga hari paska wafatnya sang nabi, muncul sebuah kabar akan bangkitnya Yesus dari alam kubur. Kabar ini membuat murid-murid Yesus dan umatnya menjadi jauh lebih lagi beriman terhadap agama ini. Hal ini ditandai dengan munculnya peran para rasul sebagai penerus ajaran Yesus yang sangat militan untuk menyebarkan ajaran sang nabi keseluruh penjuru Romawi.
Para rasul adalah orang-orang yang berjumlah 12 yang semenjak mulanya adalah merupakan murid dari sang nabi. Pasca wafatnya sang nabi bagi mereka berakhirlah missi seorang Yesus dan itu menandai mulainya missi para rasul. Diantara yang paling terekam dalam kesadaran umat kristen dan begitu berpengaruh adalah diantaranya Matuis, Markus, Lukas, Johanes, Paulus, Petrus, dan Judas.
Empat diantara rasul yang berpengaruh yang disebutkan diatas merupakan para penulis penting dari empat kitab yang kemudian disebut dengan Injil. HSL mengatakan bahwa sebagian besar dari para rasul menganggap bahwa ajaran Yesus adalah untuk kalangan bangsa yahudi. Tetapi melalui Paulus lah kemudian agama ini menjadi agama milik publik non yahudi. Dan hal yang demikian ini mendapatkan dukungan dari Petrus. Paulus dikenal sebagai seorang penulis pertama Epistel (surat-surat) yang dikirimkan kepada orang-orang roma dalam tradisi kristen. Petrus memberikan andil yang besar sebagai rasul yang memiliki posisi istimewa dikomunitas kristen. Sebagaimana disebutkan dalam injil matius 16:18-19. Ayat tersebut menganalogikan bahwa Petrus adalah sebagai sosok batu yang kuat. Dan diatas batu tersebutlah gereja kristen yang tidak akan dikalahkan akan didirikan. Petrus dianggap sebagai bapak pendiri gereja Roma yang kemudian menjadi pusat spiritual kristen dan menjadi pusat kebudayaan yang memiliki peran besar dalam membentuk peradaban kristen-(katolitk) pertengahan. Gereja tersebut didirikan diatas makamnya setelah beliau meninggal sebagai martir. Petrus dianggap sebagai rasulnya para rasul yang memegang kunci kerajaan surga. Sedang Judas sendiri menjadi tokoh yang paling kontroversial diantara 12 Rasul lainnya.
Kependetaan gereja dan Gerakan asketisme kebiaraan : Babak tiga
HSL menuliskan bahwa salah satu munculnya gejala pengorganisasian gereja yang semakin rapih adalah konsekwensi logis dari menyebarnya agama kristen dan berkembangnya keanggotaan gereja. Bahkan hal ini tidak hanya menjadi sekedar konsekwensi, tetapi juga merupakan sebuah keharusan yang penting.
Pada awalnya gereja hanya cukup mempunyai episcopi atau “pengawas” dan presbyteri atau “pastoran”. Para pengawas dan anggota pastoran tersebut membentuk sebuah kolase yang mengatur urusan-urusan yang berkaitan dengan gereja. Seorang episkpi atau uskup yang berkedudukan sebagai kepala gereja bertugas mengurusi hal administratif. Uskup membawahi para anggota pastoran yang mengurusi kegiatan gereja. Mereka semua-pastoran masuk kedalam sebuah ordo besar yang didalamnya terdapat ordo-ordo kecil seperti ordo acolyte (ordo pembantu pendeta dalam misa), exorcise (ordo pembebas roh jahat), lector (ordo pembaca injil dalam upacara misa) dst. Organisasi kegerejaan yang dipimpin oleh seorang uskup pada akhirnya mengalami kepentingannya untuk mengorganisasikan diri kedalam skala yang lebih besar dari polis ke tingkat propinsi. Hal ini mengasumsikan para uskup polis berada di bawah pimpinan seorang uskup agung.
Titik kesempurnaan model keorganisasian ini terjadi ketika seluruh pengorganisasian gereja menyebar kesetiap penjuru Romawi pada awal abad 4 ketika kaisar Konstantin (305-337) yang merupakan salah satu seorang anak dari Helena yang ia adalah seorang biarawati, pada tahun 313 membuat sebuah dekrit yang menyatakan kebebasan kepada umat kristen untuk melakukan ibadah.
Agama ini pada akhirnya menjadi sebuah agama legal dan berkembang dengan amat cepat jauh daripada periode sebelumnya. Namun, hal ini tidak menunjukkan bahwa agama ini berhasil mendapatkan pengikut-pengikut yang benar-benar mengahyati ajaran sang nabi. Bahwa munculnya gerakan asketis sebagai reaksi adanya gejala motif politis orang masuk kedalam agama ini-seperti agar bisa mendapatkan pengaruh yang luas, adalah merupakan sebuah fakta yang juga berkembang mengiringi keberhasilan politis agama ini atas Romawi pada saat itu.
Gerakan asketis ini merupakan sebuah gerakan “pengunduran diri” dari dunia ramai kehutan-hutan atau padang pasir dan menjalani hidup sebagai seorang pertapa. Gerakan demikian kemudian lebih dikenal dengan gerakan kebiaraan. Mereka menyepi, menjauhi hubungan sesama manusia. Gerakan ini di gawangi oleh seorang santo bernama Anthonius dari mesir (356) yang dikenal sering membawa lonceng untuk mengusir roh-roh jahat dan santo Simeon Stylitus (459) yang menghabiskan waktunya selama tigapuluh tahun diatas sebuah pilar setinggi 60 kaki. Pilar-pilar tersebut menurut HSL banyak ditemukan di Persia. Cara/model keberagamaan yang demikian ini meskipun hidup dalam kondisi yang sulit mereka tetap mendapatkan pengikut yang cukup banyak dan berkembang. namun cara keberagamaan model ini pada akhirnya pula mengalami sebuah proses pergeseran “bentuk” karena dianggap telah menyimpang dari nalar alamiah kemanusiaan seperti adanya kebutuhan untuk tetap bersosial dengan manusia lainnya. Tahap kedua adalah bentuk yang dikembangkan oleh santo Pachomius (346) yang mengandaikan seorang pertapa tetap bisa bersosialisai meskipun secara terbatas dari balik bilik namun bisa membaca injil dan berdoa bersama bersama para pertapa yang lainnya. Cara ini terasa lebih bisa diterima meskipun pada tahap selanjutnya santo Basil (379) mengatakan bahwa cara yang ideal bagi seorang pertapa adalah mereka yang hidup selalu dilipiti oleh suasana keagamaan, hidup bersama dalam satu komunitas ibadat, kontemplasi, dan tetap kerja praktis dengan dibimbing oleh sebuah aturan. Dan tata cara inilah yang memunculkan biara-biara pertama yang mewarnai abad pertengahan.
Para bapa gereja dan Gereja sebagai pusat peradaban : Babak empat
Zaman apostolik atau zaman para rasul berakhir pada saat rasul Yohanes meninggal sekitar tahun 101. Dan zaman setelahnya disebut zaman bapa Apostolik yang berjalan sampai hingga kira-kira tahun 156. Selanjutnya kemudian adalah zaman yang disebut zaman patristik gereja atau biasa disebut sebagai zaman para bapa gereja. Zaman para bapa gereja ini merupakan zaman yang sebagaimana disebutkan di awal tulisan ini akan sangat mempengaruhi “ruh” zaman abad pertengahan. Dimana generasi para bapa ini memiliki masa kejayaan pada sosok st. Agustinus yang ditandai lewat karyanya “teh city of god (kota tuhan)” yang kemudian menjadi dasar metafisis peradaban abad pertengahan.
St Agustinus (430) adalah seorang pemikir dan penulis terbesar dikalangan gereja Kristen barat. Sebagaimana kaisar Konstantin, st Agustinus juga merupakan seorang anak dari pengikut agama kristen meskipun menurut sejarah beliau padamulanya kurang tertarik dengan agama ini dan lebih memilih tradisi-tradisi kafir yang berkembang. Dalam karyanya kota tuhan, beliau mengatakan bahwa dunia ini terbagi kedalam dua buah kota yang tidak mengasumsikan adanya kota netral. Kota pertama adalah kota surgawi yang penuh dengan keadilan sebagaimana ditunjukkan oleh kristen, dan yang kedua adalah kota kejahatan yang sebagaimana diperlihatkan oleh kebejatan moral manusia pada umumnya. St Agustin mengatakan bahwa jalannya sejarah terjadi secara linear dan memiliki sebuah tujuan akhir tertentu. Sejarah yang dimaksud adalah sejarah dua kota tersebut yang selalu berada dalam pertarungan dan pada akhirnya suatu saat Kristus akan menampakkan diri kembali untuk mengalahkan kekuatan-kekuatan jahat tersebut. Sejarah tersebut telah dirancang oleh Tuhan untuk menguji manusia yang telah dimulai semenjak zaman adam. St Agustin dalam tulisannya tersebut menjelaskan secara rinci bagaimana kemudian proses itu berawal hingga berakhir sehingga minimal bagi dirinya dan para penganutnya, karya filsafat sejarah ini dapat menjelaskan semua kejadian-kejadian sejarah yang pernah, sedang dan akan terjadi dimasa depan. Sebagai sebuah masa dimana Tuhan menang.
Dari sinilah kemudian menurut HSL gereja berperan sebagai wadah persekutuan bagi umat manusia yang meyakini Kristus. Tidak ada institusi yang memiliki pengaruh besar pada abad pertengahan selain gereja kristen yang menjadi pusat "kegembalaan". Gereja dipimpin oleh Petrus sebagai wakil dari kristus kemudian para paus. Gereja berperan sebagai pusat tempat dimana perintah-perintah keagamaan dikhutbahkan untuk mengimbangi kehidupan sekular duniawi. Di dalam gereja sendiri terdiri dari dua jenis pendeta. pendeta yang pertama adalah pendeta yang mengurusi hal-hal yang ebrsifat sekuler. atau hal-hal yang berkaitan dengan semua pengaturan penyelenggaraan gereja dan pendisiplinan umat. pendeta jenis kedua adalah pendeta yang hanya berkegiatan untuk hal-hal yang sifatnya bukan keduniaan. mereka adalah para pendeta yang menarik diri dari kehidupan ramai dan menjalani satu kehidpan damai untuk menghayati kehidupan sepenuhnya. pendeta jenis kedualah yang pada akhirnya yang memiliki suara paling lantang dan akan mengimbangi kehidupan diluar gereja tersebut yang dianggap "jahat".
Penutup
meskipun kepercayaan yang cukup kuat terhadap metafisikan abad pertengahan yang dirumuskan oleh st. Agustin ini tidak serta merta begitu saja bahwa kehidupan pada saat itu tidak berjalan melalui faktor-faktor sosial, politik dan ekonomi melainkan akan adanya sebuah kepercayaan teleologis yang bersifat ilahiah, tidak berarti menunjukkan bahwa sejarah yang terjadi di eropa abad pertengahan begitu bersih dengan hal-hal yang bersifat sekuler. Struktur sosial masyarakat, moment-moment politik dan faktor ekonomi pasti memiliki peranan yang besar dalam mendorong dan membentuk peradaban abad pertengahan pada saat itu, seperti struktur hierarkis feodalisme, kekaisaran Konstantin, dan meruntuhnya mekanisme ekonomi pasar dan kembali kepada struktur ekonomi pedesaan, merupakan aspek yang tidak mungkin begitu saja tidak dipertimbangkan.
*tulisan ini hasil dari membaca buku
Judul: Sejarah Peradaban Barat Abad Pertengahan
Penulis: Henri S. Lucas
Penerbit: Tiara Wacana Jogja
Tahun: Cetakan I 1993
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H