Pada saat itu Yesus dituduh melakukan sebuah gerakan pemberontakan. Hal tersebut dimulai dari perbedaan yang mendasar mengenai ajaran yang dibawa oleh Yesus dibandingkan ajaran agama yang umum pada saat itu. Agama yang dibawa oleh Yesus adalah agama moral yang tidak berkaitan sama sekali dengan urusan-urusan duniawi ataupun politik. Sedangkan Romawi pada saat itu memiliki sebuah agama yang memiliki unsur-unsur politis seperti pensakralan terhadap seorang kaisar yang tidak jarang disebut sebagai titisan dewa. Ditambah lagi prihal orientasi kehidupan kristiani yang menekankan kehidupan setelah mati daripada kehidupan saat ini yang memiliki implikasi kemangkiran terhadap ritus-ritus yang bersifat publik, hal itu semua dst memberikan konsekwensi pilihan dilematis untuk tetap mempertahankan iman atau membela kepatriotisan ala Romawi.
Kisah kebangkitan dan Zaman para rasul : Babak dua
Tidak harus menunggu selama bertahun-tahun. Setelah tiga hari paska wafatnya sang nabi, muncul sebuah kabar akan bangkitnya Yesus dari alam kubur. Kabar ini membuat murid-murid Yesus dan umatnya menjadi jauh lebih lagi beriman terhadap agama ini. Hal ini ditandai dengan munculnya peran para rasul sebagai penerus ajaran Yesus yang sangat militan untuk menyebarkan ajaran sang nabi keseluruh penjuru Romawi.
Para rasul adalah orang-orang yang berjumlah 12 yang semenjak mulanya adalah merupakan murid dari sang nabi. Pasca wafatnya sang nabi bagi mereka berakhirlah missi seorang Yesus dan itu menandai mulainya missi para rasul. Diantara yang paling terekam dalam kesadaran umat kristen dan begitu berpengaruh adalah diantaranya Matuis, Markus, Lukas, Johanes, Paulus, Petrus, dan Judas.
Empat diantara rasul yang berpengaruh yang disebutkan diatas merupakan para penulis penting dari empat kitab yang kemudian disebut dengan Injil. HSL mengatakan bahwa sebagian besar dari para rasul menganggap bahwa ajaran Yesus adalah untuk kalangan bangsa yahudi. Tetapi melalui Paulus lah kemudian agama ini menjadi agama milik publik non yahudi. Dan hal yang demikian ini mendapatkan dukungan dari Petrus. Paulus dikenal sebagai seorang penulis pertama Epistel (surat-surat) yang dikirimkan kepada orang-orang roma dalam tradisi kristen. Petrus memberikan andil yang besar sebagai rasul yang memiliki posisi istimewa dikomunitas kristen. Sebagaimana disebutkan dalam injil matius 16:18-19. Ayat tersebut menganalogikan bahwa Petrus adalah sebagai sosok batu yang kuat. Dan diatas batu tersebutlah gereja kristen yang tidak akan dikalahkan akan didirikan. Petrus dianggap sebagai bapak pendiri gereja Roma yang kemudian menjadi pusat spiritual kristen dan menjadi pusat kebudayaan yang memiliki peran besar dalam membentuk peradaban kristen-(katolitk) pertengahan. Gereja tersebut didirikan diatas makamnya setelah beliau meninggal sebagai martir. Petrus dianggap sebagai rasulnya para rasul yang memegang kunci kerajaan surga. Sedang Judas sendiri menjadi tokoh yang paling kontroversial diantara 12 Rasul lainnya.
Kependetaan gereja dan Gerakan asketisme kebiaraan : Babak tiga
HSL menuliskan bahwa salah satu munculnya gejala pengorganisasian gereja yang semakin rapih adalah konsekwensi logis dari menyebarnya agama kristen dan berkembangnya keanggotaan gereja. Bahkan hal ini tidak hanya menjadi sekedar konsekwensi, tetapi juga merupakan sebuah keharusan yang penting.
Pada awalnya gereja hanya cukup mempunyai episcopi atau “pengawas” dan presbyteri atau “pastoran”. Para pengawas dan anggota pastoran tersebut membentuk sebuah kolase yang mengatur urusan-urusan yang berkaitan dengan gereja. Seorang episkpi atau uskup yang berkedudukan sebagai kepala gereja bertugas mengurusi hal administratif. Uskup membawahi para anggota pastoran yang mengurusi kegiatan gereja. Mereka semua-pastoran masuk kedalam sebuah ordo besar yang didalamnya terdapat ordo-ordo kecil seperti ordo acolyte (ordo pembantu pendeta dalam misa), exorcise (ordo pembebas roh jahat), lector (ordo pembaca injil dalam upacara misa) dst. Organisasi kegerejaan yang dipimpin oleh seorang uskup pada akhirnya mengalami kepentingannya untuk mengorganisasikan diri kedalam skala yang lebih besar dari polis ke tingkat propinsi. Hal ini mengasumsikan para uskup polis berada di bawah pimpinan seorang uskup agung.
Titik kesempurnaan model keorganisasian ini terjadi ketika seluruh pengorganisasian gereja menyebar kesetiap penjuru Romawi pada awal abad 4 ketika kaisar Konstantin (305-337) yang merupakan salah satu seorang anak dari Helena yang ia adalah seorang biarawati, pada tahun 313 membuat sebuah dekrit yang menyatakan kebebasan kepada umat kristen untuk melakukan ibadah.
Agama ini pada akhirnya menjadi sebuah agama legal dan berkembang dengan amat cepat jauh daripada periode sebelumnya. Namun, hal ini tidak menunjukkan bahwa agama ini berhasil mendapatkan pengikut-pengikut yang benar-benar mengahyati ajaran sang nabi. Bahwa munculnya gerakan asketis sebagai reaksi adanya gejala motif politis orang masuk kedalam agama ini-seperti agar bisa mendapatkan pengaruh yang luas, adalah merupakan sebuah fakta yang juga berkembang mengiringi keberhasilan politis agama ini atas Romawi pada saat itu.
Gerakan asketis ini merupakan sebuah gerakan “pengunduran diri” dari dunia ramai kehutan-hutan atau padang pasir dan menjalani hidup sebagai seorang pertapa. Gerakan demikian kemudian lebih dikenal dengan gerakan kebiaraan. Mereka menyepi, menjauhi hubungan sesama manusia. Gerakan ini di gawangi oleh seorang santo bernama Anthonius dari mesir (356) yang dikenal sering membawa lonceng untuk mengusir roh-roh jahat dan santo Simeon Stylitus (459) yang menghabiskan waktunya selama tigapuluh tahun diatas sebuah pilar setinggi 60 kaki. Pilar-pilar tersebut menurut HSL banyak ditemukan di Persia. Cara/model keberagamaan yang demikian ini meskipun hidup dalam kondisi yang sulit mereka tetap mendapatkan pengikut yang cukup banyak dan berkembang. namun cara keberagamaan model ini pada akhirnya pula mengalami sebuah proses pergeseran “bentuk” karena dianggap telah menyimpang dari nalar alamiah kemanusiaan seperti adanya kebutuhan untuk tetap bersosial dengan manusia lainnya. Tahap kedua adalah bentuk yang dikembangkan oleh santo Pachomius (346) yang mengandaikan seorang pertapa tetap bisa bersosialisai meskipun secara terbatas dari balik bilik namun bisa membaca injil dan berdoa bersama bersama para pertapa yang lainnya. Cara ini terasa lebih bisa diterima meskipun pada tahap selanjutnya santo Basil (379) mengatakan bahwa cara yang ideal bagi seorang pertapa adalah mereka yang hidup selalu dilipiti oleh suasana keagamaan, hidup bersama dalam satu komunitas ibadat, kontemplasi, dan tetap kerja praktis dengan dibimbing oleh sebuah aturan. Dan tata cara inilah yang memunculkan biara-biara pertama yang mewarnai abad pertengahan.