Mohon tunggu...
Shinta Meilani
Shinta Meilani Mohon Tunggu... Jurnalis - Mahasiswa Hubungan Internasional

Mahasiswa Hubungan Internasional UGM 2019

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Dilematik Hukuman Mati di Indonesia, Mempertahankan Kedaulatan di Tengah Ancaman Hubungan Bilateral

20 Desember 2019   11:04 Diperbarui: 20 Desember 2019   11:16 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hal yang perlu digaris bawahi adalah kenyataan bahwa Indonesia sebenarnya belum mampu menjawab retorika atas apakah deterrence effect dalam tatanan masyarakat merupakan hal yang nyata atau utopis semata. Hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya data penurunan jumlah pengedar yang signifikan  dan justru berdasar data BNN mengalami peningkatan khususnya pada remaja yang awalnya 20% menjadi 24% ("Penggunaan Narkoba di Kalangan Remaja Meningkat", 2019).

Tentu hukuman mati juga tidak terlepas dari narasi kontra negara-negara dunia yang bergerak menjauhi pengimplementasian atau cenderung abstain perihal penjatuhan hukuman mati. Pasalnya di ujung spektrum yang lain, konsep hukuman mati dianggap sebagai perampasan nyawa seseorang dengan mengangkat hak asasi manusia sebagai basis dari sayap kontra dalam menentang isu ini (Hutomo, A. R. P. 2016).

Implikasinya adalah hukum diartikulasikan berbeda di setiap negara, sehingga konflik perdebatan menjadi hal yang lumrah sebagai reaksi atas perbedaan pandangan hukum tersebut seperti pada kasus penjatuhan hukuman mati pada warga India, Ayodya Pasad, yang membawa 12,9 kg heroin (Melissa, 2019). Menimbulkan konflik dan menjadikan kondisi hubungan bilateral yang sempat tidak sehat diantara keduanya.                  

Selain itu, alasan yang mendukung respon negatif negara lain khususnya Australia didasarkan pada sikap Indonesia yang dinilai tidak kooperatif dan bertolak belakang, terdapat fakta bahwa Indonesia selalu berusaha meminta pengampunan kepada negara lain, khususnya Arab agar WNI-nya dibebaskan dari jeratan hukuman mati seperti pada tahun 2007 hingga 2009, hasilnya, sembilan WNI dianulir hukuman matinya oleh Pengadilan Riyadh, Arab Saudi ("Kisah pembebasan WNI dari hukuman mati di Saudi: Bertemu malam-malam di gurun hingga cerita syair klasik", 2019).

Namun di sisi lain, pada saat Australia memberi surat permintaan pribadi kepada Presiden Jokowi agar warga-warga negaranya dibebaskan dengan tambahan "biaya" berupa peningkatkan posisi tawar menawarnya dengan Indonesia serta melakukan penukaran tahanan antara Bali-nine duo dengan tiga tahanan Indonesia. Hal ini justru direspon dengan tindakan Presiden Jokowi yang mempercepat waktu eksekusi, setelah moratorium selama 5 tahun, sejak menjabat Juli 2014.

Tamparan keras dari Australia pun mencuat berupa penarikan duta besarnya dari Jakarta sebagai representasi kekecewaan dan indikasi instabilitas suasana hubungan bilateral antara kedua negara tersebut sementara waktu.

Tidak berhenti di level pemerintahan, konsistensi Indonesia dalam mempertahankan praktik hukuman mati tersebut juga berimbas pada dunia pendidikan di Australia terhadap Indonesia. Salah satu dosen psikologi di Swinburne University Melbourne, Dr. Julia Oldmeadow melarang mahasiswa Indonesia untuk mengikuti kuliahnya (Lee, 2015). Hal didasarkan atas alasan kekecawaan politik dan bukan rasialisme.

Meskipun begitu, rangkaian peristiwa ini tidak memiliki imbas signifikan terhadap hubungan ekonomi perdagangan, dan hanya sebatas penarikan duta besar sebagai sikap protes. Pasalnya, Indonesia merupakan salah satu pangsa pasar terbesar yang dimiliki oleh Australia. Pakar ekonomi Australia pun tidak merekomendasikan peruncingan sanksi ke ranah perdagangan, berkaca pengalaman pahit tahun 2011 dengan melakukan trade bans menjadi backfire bagi Australia dengan kerugian mencapai $600 juta pada sektor industri ternak (Dole, 2017).

Hal ini menunjukkan bahwa sikap Indonesia yang mempertahankan kedaulatannya dengan tetap berpegang pada prinsip pemberian sanksi hukuman mati pada extraordinary crime  menjadi dapat terjustifikasi dapat tetap diaplikasikan karena pemberian sanksi diplomatik hanya bersifat temporal dan tidak ada tendensi peruncingan hukuman hingga pemutusan hubungan bilateral.

Sementara itu, keyakinan yang dipegang Indonesia dalam menerapkan hukuman mati terbingkai kuat sebagai upaya proteksionisme terhadap masyarakat, hal ini disebabkan Indonesia dijadikan sebagai target internasional peredaran narkoba karena target pasar yang banyak dan harga jual yang mahal (Puspitosari, H. 2017).

Bila narkoba masuk dnegan leluasa berlenggang di tengah masyarakat maka akan mengancam keberlangsungan kehidupan yang aman dan meciptakan lingkungan yang penuh dengan kekhawatiran. Oleh karenanya, untuk benar-benar menegakkan hukum pemerintah memerlukan mekanisme hukuman dengan efek jera seperti hukuman mati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun