Capital punishment yang juga dikenal sebagai hukuman mati menjadi sanksi terberat yang masih dipraktikkan oleh negara-negara di belahan dunia. Berdasarkan laporan dalam Amnesty International, hingga tahun 2018, terdapat 2.531 hukuman mati yang tercatat di 54 negara ("Death Penalty in 2018 : Facts and Figures", 2019).
Hukuman mati menjadi opsi terakhir atas gagalnya hukuman "mainstream" yang dalam usahanya dinilai kurang memberi efek jera dan tidak lagi relevan pada tindak pidana yang tergolong dalam kategori extraordinary crime bagi masing-masing negara---diantaranya adalah korupsi, terorisme, dan pengedaran narkotika. Indonesia adalah salah satu negara yang menerapkan hukuman mati dalam hukum positifnya khususnya dalam kasus pengedaran narkoba dan terorisme. Berdasar UU Nomor 35 Tahun 2009 Pasal 118 ayat 2 tentang Narkotika, menyebutkan :
"Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1l3 (sepertiga)."
Dalam pasal tersebut secara eksplisit menjelaskan bahwa pengedar narkoba dapat dijatuhi hukuman pidana mati. Implikasinya yakni hukuman tembak mati pada tahun 2015 kepada warga Australia Myuran Sukumaran dan Andrew Chan bersama empat warga Nigeria, dua warga Brazil, dan satu warga Indonesia ("Memori atas Kasus Bali Nine, Sindikat Penyelundup Narkoba", 2018). Namun, hingga saat ini isu hukuman mati tidak bisa lepas dari adanya pro kontra dalam dunia internasional. Hal ini lah yang dapat menjadi pemicu terancamnya hubungan bilateral dengan negara yang mengoposisikan diri dalam melihat isu ini. Â Â Â Â Â Â
Indonesia masih tegas dalam memberlakukan hukuman mati dimana hal ini ditentang oleh beberapa negara di dunia. Hal ini dianggap problematik dalam praktiknya, sehingga tidak jarang ada respon negatif berupa penarikan duta besar oleh beberapa negara diantaranya Australia dan Brazil yang berdampak dalam hubungan bilateral antara Indonesia dan kedua negara---Australia dan Brazil.
Artikel ini akan membahas mengenai bagaimana pengaruh konsistensi pertunjukan kedaulatan Indonesia terhadap hubungan bilateral dengan negara lain terutama dalam praktik penarikan duta besar dan mengapa Indonesia terjustifikasi untuk dapat tetap mempertahankan kedaulatannya             Argumen utama yang diangkat dalam artikel ini adalah konsistensi Indonesia dalam menangani proses hukuman mati ini berimbas pada hubungan bilateral karena:
(1) Narasi kontra hukuman mati di level global yang mengangkat aspek HAM sebagai basis normatif.
(2) Adanya sanksi diplomatik yang bersifat temporal sebagai wujud kekecewaan pihak asing pada Indonesia
(3) Status quo dan alasan kuat Indonesia dalam menerapkan hukuman mati.
Hukuman mati menjadi mekanisme upaya bagi Indonesia untuk memproteksi masyarakat sipil dari kejahatan-kejahatan transnasional yang sulit untuk diatasi di tiga ruang yakni pada kasus pembunuhan berantai, narkoba dan terorisme (Dave, M., 2012) dengan menciptakan efek jera dalam sistem masyarakat.
Secara praktik, Indonesia mempertahankan hukuman mati dilatar belakangi oleh arus peredaran narkoba yang dengan mudah dapat melintas batas ke teritorinya hingga PBB menyebut Indonesia masuk kedalam segitiga emas perdagangan narkoba terbesar di dunia. Menjatuhi hukuman mati Indonesia tidak berarti menciderai negara manapun, akan tetapi menjatuhkan hukuman terhadap kejahatan yang dilakukan oleh pelaku.