Mohon tunggu...
Shinta Harini
Shinta Harini Mohon Tunggu... Penulis - From outside looking in

Pengajar dan penulis materi pengajaran Bahasa Inggris di LIA. A published author under a pseudonym.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cerber: Anugerah, Bukan Kutukan - Part 4

5 September 2021   14:36 Diperbarui: 5 September 2021   14:42 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ya, aku bekerja," katanya perlahan sambil bangkit dari kursinya dan mulai merapikan cangkir-cangkir kopi yang digunakan dirinya dan Anton. "Tapi aku lebih fleksibel. Kalau kau bekerja pagi sampai sore, aku bisa atur supaya jam kerjaku menjadi malam hari."

Shift malam? pikir Molly. Seperti di pertokoan atau rumah sakit? Mungkin Ari seorang dokter atau...

"Jangan terlalu dipikirkan," kata Anton. "Semua ini demi keselamatan kalian berdua. Kau akan tahu pada saatnya, Molly."

Molly akhirnya berpikir semua ini memang bukan urusannya juga. Ia orang baru di sini dan seandainya mereka memutuskan tidak akan pernah bercerita padanya, tidak ada sesuatu pun yang dapat ia lakukan.

"Baiklah, jadi segalanya sudah diputuskan untuk saat ini," kata Anton sambil berdiri dari kursi bar-nya. Ia menjabat tangan Ari. "Kita bertemu -- kapan-kapan?"

Tepat saat itu perut Molly berbunyi lagi. Molly memandang keduanya dengan muka menghangat. Ari tertawa. "Rupanya ada yang protes di sana." Ia berpaling ke Anton. "Tinggallah, Anton. Kita makan siang bersama dulu."

"Aku..." Molly berkata dengan ragu-ragu sambil menengok ke arah pintu. "Di mana aku bisa cari, umm, warung atau restoran kecil begitu?"

Ari terdiam dan Anton memandang bergantian antara ia dan Molly. Suara Ari kemudian memecah keheningan. "Kau tidak berpikir aku serius waktu mengatakan kau harus cari makan siang sendiri kan?" Ia tersenyum dan Molly merasa seperti anak hilang yang tidak tahu harus bagaimana. Ia tersentak ketika Ari meraih bahunya. "Ayolah. Kau akan tinggal di sini jadi kita akan menjadi seperti -- kakak dan adik? Mungkin nantinya kita tidak akan sering bertemu tetapi untuk sekarang mari kita makan bersama." Ari terus merangkul bahunya dan membawanya ke dapur. Anton mengikuti dari belakang.

Molly tidak dapat menahan dirinya untuk tidak sedikit gemetar di pelukan Ari. Kakak dan adik? Sama sekali bukan itu yang ada di pikirannya.

~ ~ ~

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun