Mohon tunggu...
Shinta Harini
Shinta Harini Mohon Tunggu... Penulis - From outside looking in

Pengajar dan penulis materi pengajaran Bahasa Inggris di LIA. A published author under a pseudonym.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cerber: Anugerah, Bukan Kutukan - Part 4

5 September 2021   14:36 Diperbarui: 5 September 2021   14:42 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anugerah, Bukan Kutukan - Part 4 (Sumber: Pixabay)

Bagian sebelumnya 

"Jadi, siapa yang harus keluar dari rumah ini, aku atau dia?"

Kedua laki-laki itu terperanjat dan berpaling ke arah Molly yang tiba-tiba telah berdiri di belakang Anton.

"Nona Puspita." Anton berdiri dari kursinya. "Tidak ada yang harus pergi dari rumah ini."

"Selamat siang, Pak Anton. Saya pikir anda lupa siapa saya."

Anton tampak malu. "Maaf tadi ada hal penting yang harus saya dan Ari bicarakan terlebih dahulu."

"Bapak dan Ari bicarakan? Bukannya saya yang menelepon Pak Anton untuk datang ke sini?"

Anton tambah tampak salah tingkah. Molly tidak peduli. Ia sudah tidak sabar lagi. Ia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Perbincangan Anton dan Ari tadi terlihat sangat intens, Anton menggebrak meja dan mencengkeram leher kaus Ari, apa artinya itu semua?

"Maafkan saya sekali lagi, Nona."

"Ah, sudahlah. Sekarang yang lebih penting, apa maksud Bapak tadi tidak ada yang harus pergi dari sini?" Molly mengangguk ke arah Ari. "Tidakkah ia harus pergi? Apa haknya berada di sini? Siapa dia sebenarnya?" Dengan kesal Molly melihat Ari hanya meminum kopinya lagi, bahkan tidak berusaha menjawab.

"Bukan tempat saya untuk menjelaskan siapa dia, Nona Molly. Tapi dengan jujur saya katakan ia mempunyai hak yang sama besar dengan anda atas tempat ini."

"Apa?" Molly tidak percaya apa yang ia dengar. Ia tidak mungkin tinggal di rumah bersama dengan seorang laki-laki yang bukan apa-apanya. Apa kata orang nanti? Tapi ia tidak mungkin meninggalkan rumah ini pula. Ia sudah keluar dari rumah kos-nya, lagi pula ini rumahnya. Hak-nya, yang diwariskan seseorang padanya. Ia tidak perlu menyewa kamar untuk tempat tinggalnya lagi. Ia tidak perlu mengeluarkan uang untuk itu melainkan untuk perawatan rumah yang merupakan miliknya, makan, pakaian, dan kebutuhan lainnya. Kalau dipikir-pikir mungkin ia bahkan bisa membuka usaha rumah kos-nya sendiri.

Tapi satu hal sudah pasti. Ari harus keluar dari rumah ini.

"Tidak akan."

Molly mengangkat wajahnya dengan terkejut. Tanpa sadar ia telah mengucapkan pikirannya keras-keras. Dilihatnya Ari menatapnya, matanya memancarkan ketetapan hatinya.

"Kalau begitu jelaskan padaku mengapa."

"Ceritanya panjang."

Molly mengangguk. "Baik. Kalau begitu kita bisa putuskan untuk menjual saja rumah ini dan membagi dua hasilnya."

"Tidak." Ari melangkah dari balik meja bar dan berjalan ke meja oval, duduk di salah satu kursi di sana. "Bukan itu masalahnya, uang atau pembagian warisan. Kau berhak atas rumah ini sepenuhnya. Bukan aku. Tapi rumah ini yang penting dan karena itu kau tidak bisa mengusirku dari sini. Aku punya ijin khusus untuk tinggal di sini."

"Aku tidak baca itu di surat wasiat Pak Yudi."

"Karena hal tersebut ada di surat satunya," kata Anton.

Molly tiba-tiba merasa lelah. Sudah cukup kejutan yang ia dapatkan untuk hari ini. Ia tidak heran lagi kalau mendadak masih ada surat wasiat lain di luar sana.

"Jadi kita tidak bisa menjual rumah ini dan kau tidak akan pergi pula," kata Molly pada Ari. Ari mengangkat bahunya.

"Begitulah."

"Aku tidak akan angkat kaki," Molly menegaskan. "Selain masalah warisan itu, aku yakin aku harus mencari tahu apa yang ada di balik alasanmu tinggal di sini. Kau tidak ingin mengatakannya padaku sekarang, tidak mengapa. Aku bisa menemukannya sendiri." Molly mencoba tidak mengacuhkan pandangan cemas yang dilemparkan Ari pada Anton. Hal itu bahkan semakin meyakinkannya betapa serius masalah itu.

Ari menghela napas dalam-dalam. "Baiklah. Silakan saja. Dan aku akan memastikan kau tidak akan menemukan apa-apa."

Dengan wajah cemberut Molly menatap Ari.

"Kukira kau bisa tidur di kamar utama," lanjut Ari seperti Molly tidak baru saja mengatakan sesuatu. "Kau lihat sendiri betapa besar rumah ini. Kita tidak perlu berpapasan kalau kau tidak mau. Kamar mandi ada di dalam kamar dan kita bisa makan di saat yang berbeda kalau perlu. Apa kau bekerja, atau masih kuliah?"

"Molly kerja di Bank Nusantara sebagai teller," jelas Anton.

"O ya?" Ari memperhatikannya dengan seksama, membuat Molly merasa risih. "Kupikir kau masih kuliah, atau bahkan belum lulus SMA."

Molly tersipu-sipu mengetahui apa arti kata-kata Ari barusan. Ia sedang merayunya atau apa?

"Kau sendiri?" tanya Molly. "Apakah kau bekerja? Di mana?" Ari sendiri tidak begitu berbeda dengannya. Mungkin 25 atau lebih sedikit.

"Ya, aku bekerja," katanya perlahan sambil bangkit dari kursinya dan mulai merapikan cangkir-cangkir kopi yang digunakan dirinya dan Anton. "Tapi aku lebih fleksibel. Kalau kau bekerja pagi sampai sore, aku bisa atur supaya jam kerjaku menjadi malam hari."

Shift malam? pikir Molly. Seperti di pertokoan atau rumah sakit? Mungkin Ari seorang dokter atau...

"Jangan terlalu dipikirkan," kata Anton. "Semua ini demi keselamatan kalian berdua. Kau akan tahu pada saatnya, Molly."

Molly akhirnya berpikir semua ini memang bukan urusannya juga. Ia orang baru di sini dan seandainya mereka memutuskan tidak akan pernah bercerita padanya, tidak ada sesuatu pun yang dapat ia lakukan.

"Baiklah, jadi segalanya sudah diputuskan untuk saat ini," kata Anton sambil berdiri dari kursi bar-nya. Ia menjabat tangan Ari. "Kita bertemu -- kapan-kapan?"

Tepat saat itu perut Molly berbunyi lagi. Molly memandang keduanya dengan muka menghangat. Ari tertawa. "Rupanya ada yang protes di sana." Ia berpaling ke Anton. "Tinggallah, Anton. Kita makan siang bersama dulu."

"Aku..." Molly berkata dengan ragu-ragu sambil menengok ke arah pintu. "Di mana aku bisa cari, umm, warung atau restoran kecil begitu?"

Ari terdiam dan Anton memandang bergantian antara ia dan Molly. Suara Ari kemudian memecah keheningan. "Kau tidak berpikir aku serius waktu mengatakan kau harus cari makan siang sendiri kan?" Ia tersenyum dan Molly merasa seperti anak hilang yang tidak tahu harus bagaimana. Ia tersentak ketika Ari meraih bahunya. "Ayolah. Kau akan tinggal di sini jadi kita akan menjadi seperti -- kakak dan adik? Mungkin nantinya kita tidak akan sering bertemu tetapi untuk sekarang mari kita makan bersama." Ari terus merangkul bahunya dan membawanya ke dapur. Anton mengikuti dari belakang.

Molly tidak dapat menahan dirinya untuk tidak sedikit gemetar di pelukan Ari. Kakak dan adik? Sama sekali bukan itu yang ada di pikirannya.

~ ~ ~

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun