Molly tiba-tiba merasa lelah. Sudah cukup kejutan yang ia dapatkan untuk hari ini. Ia tidak heran lagi kalau mendadak masih ada surat wasiat lain di luar sana.
"Jadi kita tidak bisa menjual rumah ini dan kau tidak akan pergi pula," kata Molly pada Ari. Ari mengangkat bahunya.
"Begitulah."
"Aku tidak akan angkat kaki," Molly menegaskan. "Selain masalah warisan itu, aku yakin aku harus mencari tahu apa yang ada di balik alasanmu tinggal di sini. Kau tidak ingin mengatakannya padaku sekarang, tidak mengapa. Aku bisa menemukannya sendiri." Molly mencoba tidak mengacuhkan pandangan cemas yang dilemparkan Ari pada Anton. Hal itu bahkan semakin meyakinkannya betapa serius masalah itu.
Ari menghela napas dalam-dalam. "Baiklah. Silakan saja. Dan aku akan memastikan kau tidak akan menemukan apa-apa."
Dengan wajah cemberut Molly menatap Ari.
"Kukira kau bisa tidur di kamar utama," lanjut Ari seperti Molly tidak baru saja mengatakan sesuatu. "Kau lihat sendiri betapa besar rumah ini. Kita tidak perlu berpapasan kalau kau tidak mau. Kamar mandi ada di dalam kamar dan kita bisa makan di saat yang berbeda kalau perlu. Apa kau bekerja, atau masih kuliah?"
"Molly kerja di Bank Nusantara sebagai teller," jelas Anton.
"O ya?" Ari memperhatikannya dengan seksama, membuat Molly merasa risih. "Kupikir kau masih kuliah, atau bahkan belum lulus SMA."
Molly tersipu-sipu mengetahui apa arti kata-kata Ari barusan. Ia sedang merayunya atau apa?
"Kau sendiri?" tanya Molly. "Apakah kau bekerja? Di mana?" Ari sendiri tidak begitu berbeda dengannya. Mungkin 25 atau lebih sedikit.