Meski telah berlaku Undang-undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, --di mana Desa/Kampung mempunyai sebagian otoritas dalam pembangunannya--, dan dengan adanya Dana Istimewa (Undang-undang No. 13 Tahun 2012), namun pemerataan pembangunan ekonomi masih terkesan kurang. Mengapa?
Karena tingkat ketimpangan ekonomi (indeks rasio gini) di DIY termasuk tinggi jika dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia (KRJogja.com) . Inilah mengapa saya ingin menekankan pola pembangunan ekonomi berangkat dari kampung/desa lebih digiatkan.
Paradigma pembangunan sebelum munculnya Undang-undang Desa lebih bersifat Top-Down, di mana kebijakan pembangunan suatu wilayah lebih didominasi dari pusat dibanding daerah. Pola seperti ini peran penentu kebijakan (government) seakan-akan menguasai segala hal dan potensi yang ada di daerah. Sehingga terkesan program pembangunan yang dibangun berasal dari "orang pintar" (baca: orang kota) untuk "orang yang kurang pintar" Â (baca : orang desa/kampung).
Padahal sangat mungkin estimasi dan asumsi penentu kebijakan tersebut meleset. Hal ini karena Indonesia terdiri dari ribuan suku bangsa, ras, potensi Sumber Daya Alam (SDA) dan SDM (Sumber Daya Manusia) yang sangat beragam.
Di samping itu setiap daerah/kampung mempunyai adat istiadat dan kearifan lokal (local wisdom) yang berbeda. Bahkan potensi desa/kampung bisa menjadi elemen yang sangat penting untuk pembangunan kota. Maka upaya revitalisasi pola pembangunan ekonomi daerah, termasuk di DIY dengan pola Bottom-Up yang baru berjalan ini menjadi sangat krusial.
Sebuah catatan sejarah; masih segar dalam ingatan kita, bahwa UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah) merupakan sektor usaha yang tahan banting. Ketika terjadi krisis moneter Tahun 1997, UMKM menjadi tulang punggung perekonomian bangsa Indonesia, karena telah membuktikan bahwa sektor ini mampu bertahan diterpa badai krisis moneter yang begitu dahsyat.
Bahkan usaha-usaha besar yang tergolong dalam great corporate dan padat modal menjadi kelimpungan. Inilah mengapa perhatian khusus terhadap UMKM menjadi sangat penting. Pun di Daerah Istimewa Yogyakarta. Bagaimanapun pertumbuhan ekonomi Daerah Istimewa Yogyakarta ditopang oleh pergerakan Usaha Mikro Kecil & Menengah (UMKM).
Tercatat pada tahun 2017 jumlah Usaha Mikro, Kecil dan Menengah adalah 235.313 unit usaha (94,8%), sedangkan usaha besar hanya 12.904 unit usaha (5,2%), (http://bappeda.jogjaprov.go.id) Ini menunjukkan tingginya kontribusi UMKM terhadap pertumbuhan perekonomian di DIY. Maka tak bisa disangkal lagi bahwa gerakan kewirausahaan dan pemberdayaan Usaha Mikro Kecil Menengah merupakan hal yang sangat krusial di Daerah Istimewa Yogyakarta ini.
Di sisi lain, pergerakan urbanisasi penduduk dari desa ke kota telah melahirkan berjibun masalah yang pelik dalam manajemen kota metropolitan. Mulai dari pengangguran, perumahan kumuh, penggusuran, dan lain sebagainya. Ini menjadi persoalan yang sangat mengganggu dalam pembangunan Indonesia secara keseluruhan. Di samping itu akumulasi permasalahan ibu kota akan menciptakan ketimpangan sosial di kalangan warga kota.
Dari semua itulah efek yang buruk dan tidak perlu terjadi menjadi merebak, yakni kejahatan!. Â Maka sekali lagi perlu adanya rekonstruksi dan perubahan mindset pola pembangunan dari kota ke desa/kampung, menjadi bottom-up; dari kampung ke kota. Jika mindset ini diaplikasikan ke dalam program yang tepat sasaran, maka kota tidak lagi menjadi ladang yang seksi untuk diserbu tenaga kerja dari desa, karena di desa/kampungnya sendiri telah terbangun sistem ekonomi yang menjamin hidup mereka.
Di antara efek positif dari pergeseran paradigma orientasi pembangunan ekonomi dari kampung/desa ke kota adalah: Pertama, akan menjamin pemerataan pembangunan, karena sebagian besar wilayah DIY terdiri dari perkampungan dan desa-desa. Â Sehingga dengan pola ini pusat pembangunan akan tersebar di seluruh wilayah daerah/desa/kampung di seluruh DIY.
Kedua, mengurangi arus urbanisasi dari desa ke kota. Ini mempunyai efek positif yang besar terhadap penataan dan pengelolaan perkotaan. Karena secara otomatis akan mengurangi jumlah pengangguran warga kota (terutama para pendatang yang tidak mempunyai skill cukup untuk bersaing dengan warga kota lain).
Hal ini juga akan mempermudah penataan perumahan di kota-kota besar, sehingga tidak muncul perkampungan kumuh di kota-kota tersebut. Di samping itu akan mengurangi efek-efek negatif dari arus urbanisasi yang meledak. Termasuk berkurangnya kejahatan!
Ketiga, dengan orientasi pola arah pembangunan dari kampung/desa ke kota, hasil dan target dari pembangunan menjadi lebih efektif dan tepat sasaran, karena semua referensi pembangunan berasal dari potensi, kearifan lokal (local wisdom) dan kemauan dari warga kampung itu sendiri. Sehingga pembangunan dilaksanakan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Meski tetap ada pendampingan dan koordinasi dengan pemerintah pusat.
Keempat, dengan pola pembangunan dari kampung, secara otomatis akan mengurangi resistensi dari warga/rakyat dalam pelaksanaan program pembangunan tersebut. Karena pola ini harus berdasarkan pertimbangan dari warga, dan pola studi kelayakan yang tidak mengesampingkan kearifan lokal.
Di samping efek positif di atas, kiranya perlu juga menanamkan gerakan nasional "Beli Produk Indonesia!" dan bukan  hanya "Cintai Produk Indonesia!" Karena Slogan "Beli Produk Indonesia!" akan menanamkan secara tegas untuk menggunakan produk Indonesia, tidak sekedar mencintai!
Efek dari gerakan moral ini sangat berimbas positif terhadap kebergantungan bangsa Indonesia akan produk-produk asing. Maka jika dilakukan dengan serentak, kemandirian dan pemerataan ekonomi Daerah Istimewa Yogyakarta akan lebih baik.
Itulah beberapa efek positif dari pergeseran pola arah pembangunan dari kampung ke kota. Maka dengan adanya pola ini kiranya pemerintah sebagai pelayan masyarakat hendaknya memfasilitasi dan mendorong serta mendukung baik secara moral maupun subsidi material.
Jika diprogramkan secara sistematis, dan tertata dengan baik, serta melibatkan warga kampung itu sendiri, tentu para investor pun tak segan-segan untuk berinvestasi di wilayah-wilayah perkampungan di seluruh pelosok tanah air. Sehingga pola ini akan membawa dampak yang positif lagi jika di wilayah suatu kampung maju, akan memberikan stimulus pada kampung yang lain untuk maju pula.
Dengan kondisi perbedaan atmosfir dunia usaha antara wilayah kota dan desa tersebut, dan dengan pertimbangan efek-efek positif dari pola pembangunan ekonomi dari kampung di atas, maka kemampuan SDM (Sumber Daya Manusia) menjadi kebutuhan mutlak dalam memberdayakan pelaku UMKM. Karena dunia wirausaha adalah dunia kreatif, yang membutuhkan pola pikir 'nakal' untuk menerobos  segala tantangan usaha.
Dengan demikian SDM merupakan faktor yang sangat penting dalam pemberdayaan UMKM. Oleh karena itu menjadi kewajiban pemangku kebijakan dan pelayan masyarakat (baca: pemerintah) untuk memfasilitasi up-grading terhadap peningkatan kapasitas SDM dari kampung tersebut. Secara aplikatif, bisa difasilitasi dengan adanya pelatihan-pelatihan manajemen, produksi, pemasaran dan segala sesuatu yang terkait dengan manajemen usaha profesional.
Jika pola ini terprogram dan dilaksanakan secara sistematis dan tertib, Â maka tidak hanya pemerintah, semua elemen masyarakat pun mempunyai kewajiban yang sama untuk mendukung gerakan pembangunan dari kampung tersebut. Dan jika program ini dilaksanakan secara massif, Pertumbuhan dan pemerataan Ekonomi Daerah Istimewa Yogyakarta, jelas akan lebih tangguh menghadapi persaingan global!
 Semoga bermanfaat. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H