Mohon tunggu...
Cahaya
Cahaya Mohon Tunggu... Lainnya - Dualisme Gelombang-Partikel

Penyuka pohon johar, cahaya matahari, dan jalan setapak.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Sepenggal Ingatan

10 September 2017   15:44 Diperbarui: 10 September 2017   15:45 698
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di umurmu yang genap dua tujuh kamu mulai mencemaskan kesendirianmu. Permintaan bapak untuk mandi ke Puang Naba yang katanya telah banyak membuat perempuan berhasil dipinang, kembali kamu pikirkan. Juga saran sepupumu yang menganjurkanmu mandi, karena barangkali saja di masa lalu ada yang sakit hati lantas membuat semacam sekat di tubuhmu agar laki-laki tak mau mendekat. Kamu menceritakan itu pada teman sekamar, tapi mereka hanya tertawa. Kuno sekali cara seperti itu. Kamu ikut tertawa, seolah-olah membenarkan ucapan temanmu. Meski demikian hatimu masih saja cemas.

Di malam hari, saat temanmu sudah larut dalam mimipi indahnya kamu masih terjaga. Berusaha mengingat-ingat kembali lelaki yang pernah kamu tinggalkan, yang barangkali saja benar sakit hati lantas mengirim penghalang untukmu, dan membuatmu masih sendiri sampai detik ini.

Ingatan pertama jatuh pada Mas Arif, staff HRD yang duduk persis di belakangmu. Waktu itu kamu masih menjadi salah seorang staff purchasing di sebuah perusahaan retail skala nasional. Kamu  mengingat Mas Arif sebagai lelaki humoris bermata cokelat dengan pakaian yang selalu rapi. Kadang kamu mendapati lelaki itu sedang mencuri pandang ke arahmu, dan ketika tanpa sengaja penglihatanmu membingkai wajahnya, dia mengalihkan pandangan. Lincah sekali, tapi kamu masih bisa melihatnya dengan jelas.

Beberapa kali kalian berpapasan di tangga dan kata paling panjang yang dia utarakan padamu hanyalah nama panggilanmu saja. Tentu dengan menyematkan sapaan mbak di depannya. Kalian juga sering bertemu di mushallah saat waktu salat tiba, meski jarang sekali salat berjamaah karena tempat itu terlalu kecil untuk berjamaah lebih dari tiga makmum.

Mas Arif menyukaimu. Ini bukan perasaan keGRan semata. Kamu mengetahuinya karena hampir semua teman kantormu diberitahunya soal isi hatinya itu, sedang kamu barangkali adalah satu-satunya orang yang tidak berani dia beritahu. Diam-diam kamu menunggu, sambil merancang kata-kata apa yang mungkin kamu ucapkan ketika lelaki itu benar-benar mengutarakan perasaan sukanya.

Pernah suatu ketika kamu lembur. Mas Faisal, teman sesama GS departemenmu juga ikut lembur karena mesti melaporkan penerimaan barang. Tanpa sadar, kalian tinggal bertiga di sayap kiri lantai dua office. Kamu, Mas Faisal dan Mas Arif. Kamu masih sibuk mengisi aplikasi CPM di komputermu ketika Mas Faisal pamit mau pulang duluan. Setelah berpamitan denganmu, Mas Faisal lantas ke tempat Mas Arif yang entah sedang mengerjakan apa. kamu tidak tahu sebab terlalu sibuk dengan layar dan keyboard. Meski demikian, kamu tahu persis apa yang mereka bicarakan di sana. Bukan karena kamu sengaja nguping. Tapi pembicaraan kedua lelaki itu terlalu nyaring untuk dapat kamu hindari.

"Udah, Mas, tembak saja!" Kamu menebak-nebak itu sebagai suara Mas Faisal. Lalu tiba-tiba degupan jantungmu berdetak lebih cepat dari sebelumnya. Tapi kamu berusaha tenang sambil tetap menginput data ke aplikasi CPM di komputermu.

"Jangan dulu, lah, Mas, saya belum siap." Kali ini seperti suara Mas Arif.

"Halah, cemen!"

Setelah itu kamu tidak mendengar kata apa pun lagi. Kamu memilih berkonsentrasi dengan layar di hadapanmu, agar cepat selelsai. Kamu tidak boleh pulang terlalu larut jika tidak ingin nini khawatir lantas menasihatimu di depan seluruh penghuni rumah pada saat sarapan keesokan harinya.

Waktu berlalu. Kamu masih sering berpapasan dengan Mas Arif di tangga. Dan lagi-lagi, kata paling panjang yang dia ucapkan untukmu adalah nama paanggilanmu yang didahului sapaan mbak. Waktu terus berlalu, entah telah berapa hari sejak kamu mendengar percakapan dua lelaki teman kerjamu tentang tembak-menembak. Lantas, di suatu sore yang masih terlihat cukup terik untuk dikatakan sore,  kamu  lagi-lagi berpapasan dengan Mas Arif, di tangga. Kali ini kata yang dia ucapkan lebih panjang dari sebelumnya.

"I love you."

Kamu tercekat, tapi masih sempat menjawab sapaan lelaki yang berpapasan denganmu itu.

"I love me." Kalimat balasan yang seperti keluar begitu saja dari bibirmu.

Kamu berjalan cepat, secepat aliran darah yang memenuhi wajahmu. Tidak percaya dengan apa yang baru saja kamu katakan. Situasi waktu itu benar-benar terasa aneh bagimu. Apa yang terjadi benar-benar tidak pernah kamu bayangkan sebelumnya.

Ingatanmu berakhir di sini.

Dari situ kamu lantas menyimpulkan, sepertinya tidak ada yang terluka dengan kisah cinta yang bahkan belum dimulai itu. Kamu lantas mengorek-ngorek ingatan di waktu-waktu sebelumnya, dan ternyata juga bukan sesuatu yang berarti apalagi menjadi pemicu sakit hati lawan jenis kepadamu.  

Itu hanya sebuah cerita tentang teman facebook yang mengagumimu hanya dari foto. Namun setelah benar-benar melihatmu, dia malah menghapus pertemanan. Setelah kejadian itu, kamu pun memutuskan untuk tidak memasang foto wajahmu di facebook lagi. Namun setelah bergabung di salah satu grup kepenulisan, kamu mengubah keputusanmu. Sebab di sana kamu didoktrin bahwa seorang penulis harus bertanggung jawab. Dan salah satu bentuk tanggungjawabnya adalah dengan menampakkan wajah asli.

Dari sini cerita lain kemudian bermula. Teman dari temanmu sepertinya menyukaimu. Dan kamu khawatir, dia menyukaimu hanya karena kagum dengan foto yang kamu pasang di facebook, mengingat kamu merasa benar-benar belum pernah sekali pun bertemu dengannya secara langsung. Tapi tiba-tiba saja seorang teman masuk ke kamarmu dan menyampaikan salam darinya.

Setelah itu kamu kemudian membatasi segala sesuatu dengannya. Tapi lelaki itu benar-benar tidak tahu malu. Dia terus-terusan meminta nomor hpmu, mengomentari postinganmu, menyiratkan perasaan suka di kata-katanya. Diam-diam kamu seperti menikmati disukai dengan cara seperti itu. Jarang-jarang ada lelaki khilaf yang terang-terangan menyukaimu. Maka ketika ke sekian kali dimintai nomor hp, kamu pun menyerah. Menuliskannya di kolom komentar, meski beberapa saat kemudian kamu menghapusnya. Separuh hatimu berharap dia sempat menyimpan nomormu, separuh lagi berharap tidak. Kamu belum benar-benar siap untuk berhubungan dengan siapapun sebelum benar-benar sah oleh agama dan negara.

Beberapa waktu setelah menuliskan nomor ponselmu, kamu sedikit gelisah. Diam-diam kamu semakin berharap lelaki itu sempat menuliskan nomor ponselmu. Kamu kemudian bertanya-tanyaa, mengapa lelaki itu tak kunjung menghubungimu. Kamu pun menyimpulkan kalau dia tidak sempat mencatat nomor tersebut. Kesimpulanmu terbukti salah, mana kala di malam lebaran, seorang dengan nomor yang belum tersimpan di hpmu mengirim ucapan selamat lebaran di whatsapp milikmu. Antara malu, bingung dan sedikit senang kamu menerima pesan darinya.

Selanjutnya kamu mulai terbiasa dengan obrolan-obrolan darinya. Berharap kalian bisa bertemu suatu hari nanti, entah sengaja atau tidak. Namun sayang, dia merantau ke provinsi lain setelah diterima sebagai tenaga pengajar di salah satu universitas swaasta di sana. Setelah berada di sana, dia sama sekali tidak pernah mengirim kabar. Dan kamu terlalu malu untuk memulai duluan.

Ingatanmu berakhir di sana.

Kamu mengingatnya dengan baik, seperti ingatan barista akan aroma kopi terakhir yang dibuat sesaat sebelum jam kerja usai. Pada setiap takaran, pada setiap tetesan air yang dituangkan, ada kerinduan yang sering kali gagal kamu utarakan. Kamu menyukainya melalui diam, umpama segelas kopi yang tandas tanpa menyisakan ampas. Sebab lagi-lagi ingatan tentangnya masih selalu berbekas, seperti jejak lipstik di bibir cangkir; kopi terakhir sebelum jam kerja usai.

Malam itu kamu terjaga lama sekali.

Makassar, September 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun