Mohon tunggu...
Cahaya
Cahaya Mohon Tunggu... Lainnya - Dualisme Gelombang-Partikel

Penyuka pohon johar, cahaya matahari, dan jalan setapak.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Mencandai Kematian

16 Agustus 2017   07:03 Diperbarui: 16 Agustus 2017   08:33 664
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku merasa akan mati sebentar lagi. Mungkin sore ini atau paling lambat sebelum tengah malam nanti. Lalu, orang-orang bakal sangat terkejut dengan betapa cepatnya aku pergi. Satu per satu dari mereka akan mengomentari soal kematianku yang mendadak.

Misalnya: Padahal dia masih muda, cantik, dan cerdas pula.

Atau: Kok bisa? kemarin masih ketemu di pasar, dan anak itu kelihatan sehat sekali.

Kemudian: Kasihan ya, belum menikah sudah mati duluan.

Juga, yang paling pahit dari semua komentar: Perempuan sekolah tinggi-tinggi, ujung-ujungnya mati muda. Rugi sekali.Dan lain-lain dan seterusnya.

Ibuku yang lima jam lalu memarahiku karena enggan keluar kamar juga mungkin akan menyesal. Andai tahu aku akan mati secepat itu, tentu ibu akan lebih menyayangiku, dan memahamiku. Setidaknya mendekatiku dari hati ke hati, menanyakan baik-baik alasan aku lebih sering di kamar.

Atau barangkali, ibu akan senang, sebab tidak ada lagi anak perempuan yang sering menyulutkan emosinya. Beliau tidak perlu menghabiskan energi untuk memarahiku, mengarahkan itu dan anu, mengeluhkan sikapku yang meski sudah seperempat abad, tapi kelakuanku masih saja lebih bocah dari anak berumur lima tahun.

Lalu akun sosial mediaku juga akan penuh dengan ucapan bela sungkawa panjang-panjang, entah tulus atau cuma ikut ramai, biar ada yang mengomentari kirimannya, minimal memberi respons suka.

Satu demi satu orang akan menyebutku di status media sosialnya. Mendoakan agar amal ibadahku diterima, dan keluarga yang kutinggalkan bisa tabah dan ikhlas melepasku.

Selanjutnya akan ada teman yang hanya mengenalku sepintas, tidak akrab sekali, hanya teman sekolah yang pernah beda kelas, dan beberapa kali berpapasan ketika hendak ke kantin atau koperasi, tanpa saling sapa, meski hanya sebatas senyum, berlagak terkejut dan menanyakan penyebab kematianku, hanya karena orang yang mengirim ucapan belasungkawa adalah lelaki yang dia sukai diam-diam. Padahal wajahku seperti apa juga dia tidak bisa ingat dengan jelas dan harus lebih dulu memastikan dengan cara membuka album foto yang kuunggah di sosial media.

Tidak masalah, setidaknya kematianku cukup berguna bagi orang lain. Barangkali setelah mati pun aku masih tetap ditakdirkan untuk menjadi makcomblang bagi orang di sekitarku. Seperti ketika aku hidup dulu, sudah tiga pasangan berujung di pelaminan melalui perantaraku.

Pertama adalah teman SMA yang jatuh cinta dengan teman kuliahku, setelah melihat foto kami di akun sosial medianya. Teman SMA itu lantas meminta kontak teman yang bersamaku di foto tersebut. Tentu saja kuberikan, meski jelas sebelum memberinya aku perlu meminta izin dengan teman kuliahku itu.

Saat meminta ijin, teman kuliah ini menanyakan kepribadian teman SMA tersebut. Dia tidak mau asal-asalan menerima seseorang. Sudah cukup dirinya gagal dalam berhubungan, hanya karena perasaan suka yang menggebu di awal saja lantas menjadi hambar di akhir.

Aku tentu saja memberi gambaran yang baik-baik tentang temanku itu. Selain karena pada kenyataannya temanku itu memang anak yang baik, aku tentu melakukan itu dengan harapan agar kelak, bila ada yang menanyakan, mereka juga hanya akan menceritakan hal-hal yang baik saja tentang diriku. Manusia memang seringkali berbuat baik hanya karena ada imbalan kebaikan di baliknya.

Orang kedua yang menjadikanku makcomblang adalah sepupuku sendiri. Dia yang tinggal di kampung ternyata diam-diam menyukai tetanggaku di indekos yang kutempati pada akhir masa kuliah. Sepupu yang juga sedang mengurus tugas akhir itu memang pernah datang mengunjungi. Menemani ibu yang ingin menghadiri wisuda anaknya namun tidak begitu mengerti rute yang harus ditempuh jika menggunakan jasa transportasi udara.

Proses  check-in dan segala pemeriksaan di bandara tentu saja membingungkan perempuan yang telah memberiku dua saudara itu. Maka ibu pasti membutuhkan seseorang yang bisa menemani. Dan orang yang paling masuk akal menemani ibu adalah sepupuku itu. Sedang bapak, pengetahuannya soal dunia luar juga tidak beda jauh dengan ibu, bahkan lebih parah karena beliau juga harus mengatasi luka-luka di tangan dan kakinya akibat penyakit gula yang sudah dua tahun memoroti tubuh bapak.

Kakak perempuanku yang saat ini bekerja di kelurahan juga tidak bisa diharapkan karena dia lah yang dapat membantu mengurus bapak, menggantikan ibu.  Lalu, adikku juga saat ini sedang berada di kelas persiapan ujian akhir. Tidak mungkin dia bepergian di tengah padatnya jadwal tryout dan les sore.

Mungkin karena garis tangan sepupu yang diatur oleh pemilik takdir akan bertemu dengan tetanggaku, menjadi penyebab utama dia satu-satunya yang bisa menemani ibu. Seumpama sepupuku adalah kutub utara, dan tetanggaku kutub selatan dalam sistem magnet batang, tentu saja semesta akan mendekatkan mereka karena efek tarik-menarik di antara keduanya.

Orang ketiga yang kucomblangi adalah kakak. Waktu itu aku sudah bekerja di salah satu perusahaan retail berskala nasional di selatan pulau Kalimantan, dua kali naik pesawat agar aku bisa sampai ke sana.

Atasan yang kata teman lain paling killer di kantor, entah mengapa menjadi cukup dekat denganku. Sampai-sampai banyak teman se-departemen mengataiku pawangnya. Mungkin karena setiap beliau menegurku, aku selalu menganggapnya sebagai ajaran kebaikan. Seperti ibu yang memarahi anaknya bermain dispenser karena khawatir air panas akan membuat tangan anak melepuh. Dan barangkali saja alasan lain aku kebal dengan omelannya sebab, itu hanya satu persen dari omelan ibu yang biasa kudapati bila berada di rumah.

Tidak ada satu orang pun yang tahu kalau atasanku itu rupaya sudah cerai dengan istri yang di jawa, karena enggan mengikuti beliau pindah ke kalimantan. Aku mengetahuinya ketika menanyakan itu di saat menumpang di mobilnya karena ban motorku bocor.

"Ngapain ngurusin orang yang nggak mau mengurusimu!" seru beliau ketika kutanya kenapa menceraikan istrinya,  padahal mereka masih bisa saling bertemu. Terlebih di jaman sekarang apa-apa serba mudah. Serba instan. Tiket pesawat, peroses chek-in bisa dilakukan dalam jaringan. Melakukan panggilan video juga bisa, banyak aplikasi yang mendukung fasilitas itu, asal kuota berlimpah. Dan alasan apa pula yang membuat seorang manajer HRD miskin pulsa data.

"Entar tak nikah sama kamu saja, piye?"

Pertanyaan seperti itu bisa jadi bercanda bisa pula menjadi serius, tergantung bagaimana aku menanggapinya. Dan kali ini aku memilih menanggapinya dengan serius.

"Sama kakakku saja, Pak, dia juga belum nikah." Kataku penuh semangat sambil mengacungkan jempol dan mengurai puji-pujian soal kepribadian kakak.

"Mau diajak ke sini, enggak orangnya?"

"Saya tanya dulu ya, Pak. Tapi Bapak beneran kan ini? Enggak bercanda, kan?"

"Loh, dari tadi kamu ngajakin bercanda, ya?"

"Enggak, Pak, Mila serius."

Tiga bulan setelah percakapan dengan atasanku itu, mereka akhirnya menikah. Kakak bersedia meninggalkan pekerjaannya di kantor kelurahan. Toh, dia juga masih pegawai kontrak yang honornya cair empat bulan sekali. Itu juga kadang sudah habis duluan karena dipotong koperasi.

Kurasa setiap takdir memiliki ceritanya masing-masing. Alasan mengapa aku bekerja di sini, dan atasanku dipindahkan, salah satunya untuk memberi  kakak jalan menuju jodoh yang dia tunggu selama ini.

Cerita lain di balik itu semua adalah, ibu yang kesepian setelah kematian bapak, ditambah adik yang kuliah di luar kota, akhirnya memintaku berhenti kerja dan kembali ke kampung untuk menemani. Masih ada sawah bapak yang digarap orang untuk menghidupi kami.

Andai aku tidak sakit selama seminggu, dan tidak menyadari berat badanku turun sembilan kilogram, lalu vonis dokter soal liverku, tentu aku memilih tetap bekerja di sini. Terlebih jika melihat posisi kakak iparku, aku bisa sangat mudah mendapat promosi naik jabatan. Apa lagi aku termasuk karyawan rajin, supel, cepat tanggap dan loyal. Namun, vonis umur yang tinggal tiga bulan, membuatku merasa perlu untuk menikmati hidup bersama ibu di saat-saat terakhirku menghirup udara di dunia.

Pagi ini waktu tiga bulanku berakhir. Sejak selepas subuh, gejala kematian yang kian dekat tidak berhenti memberi sinyal. Sakit luar biasa pada perut, membuatku memilih menahannya di kamar, tanpa memberi tahu ibu. Aku tidak ingin perempuan yang kuhormati itu mendadak melankolis setelah mendengar kondisiku. Bertambah lagi satu hal yang kusyukuri dari pernikahan kakak dengan atasanku, mereka bisa menampung ibu di rumahnya.

Aku merasa akan mati sebentar lagi. Mungkin sore ini atau paling lambat sebelum tengah malam nanti. Lalu, orang-orang akan terkejut dengan betapa cepatnya aku pergi. Barangkali, Mas Arif, anak marketing yang tidak berhenti mengirim sinyal suka, dan melaporkannya pada nyaris seisi kantor, akan menyesali mengapa dia tidak pernah berani mengatakan perasaannya itu kepadaku.

Satu hal yang baik dari mengetahui waktu kematianmu adalah kau bisa memilih akan melakukan apa. Menikmati semua yang belum pernah kaurasai, karena tahu sebentar lagi napasmu akan berhenti menyuplai okesigen ke jantung. Lalu jantungmu yang kehabisan oksigen akan berhenti memompa. Dan itulah yang dinamakan mati.

Di antara sekian banyak keinginanku sebelum mati, aku punya satu hal yang ingin kulakukan, yaitu menulis ceritaku sesaat sebelum kematian menjemput dan mengirimnya ke salah satu media di ibu kota.

Lantas bila tulisan itu dimuat, aku akan berwasiat agar honor tulisanku disumbangkan saja ke rumah baca untuk anak-anak papua yang kekurangan suplay buku berkualitas.

Kemudian, orang-orang akan mengingatku sebagai perempuan dermawan yang bahkan setelah kematiannya masih tetap berbuat baik. Kisah hidupku pun menjadi tranding topik di kalangan netizen.

Lalu, ketika mengingat kembali honor cerpen i media lokal tidak seberapa dan bahkan sering kali tidak passti kapan cairnya, segala angan-angan soal menyumbangkan buku itu menguar.

Sore ini, sakit di perutku perlahan menjadi samar. Mungkin karena sebentar lagi malaikat maut akan mencabut nyawaku. Aku masih setia menunggu kematian hingga tengah malam dan akhirnya tertidur.

Ketika kembali terbangun di pagi yang berbeda, aku menyadari umurku telah bertambah satu hari dari vonis dokter. Darah memang keluar. Tapi bukan dari hidung atau mulut yang selama ini kubayangkan, melainkan membercak di celana dalamku.

Lalu, sebelum matahari benar-benar tinggi, teleponku berdering. Bila melihat kode area, aku tahu itu nomor telepon Banjarmasin. Kupikir orang kantor yang menelepon, memberi kabar dana koperasi karyawan yang kusimpan sebanyak satu juta tiap bulan sudah cair dan bisa segera kutarik. Namun ternyata itu telepon dari dokter rumah sakit yang memberiku vonis liver dan radang usus. Beliau mengabarkan kalau vonis yang kuterima tiga bulan lalu itu keliru, dan kondisiku sebenarnya baik-baik saja.

 Pagi itu aku merasa takdir benar-benar sedang mencandaiku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun