Mohon tunggu...
Cahaya
Cahaya Mohon Tunggu... Lainnya - Dualisme Gelombang-Partikel

Penyuka pohon johar, cahaya matahari, dan jalan setapak.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Mencandai Kematian

16 Agustus 2017   07:03 Diperbarui: 16 Agustus 2017   08:33 664
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi ini waktu tiga bulanku berakhir. Sejak selepas subuh, gejala kematian yang kian dekat tidak berhenti memberi sinyal. Sakit luar biasa pada perut, membuatku memilih menahannya di kamar, tanpa memberi tahu ibu. Aku tidak ingin perempuan yang kuhormati itu mendadak melankolis setelah mendengar kondisiku. Bertambah lagi satu hal yang kusyukuri dari pernikahan kakak dengan atasanku, mereka bisa menampung ibu di rumahnya.

Aku merasa akan mati sebentar lagi. Mungkin sore ini atau paling lambat sebelum tengah malam nanti. Lalu, orang-orang akan terkejut dengan betapa cepatnya aku pergi. Barangkali, Mas Arif, anak marketing yang tidak berhenti mengirim sinyal suka, dan melaporkannya pada nyaris seisi kantor, akan menyesali mengapa dia tidak pernah berani mengatakan perasaannya itu kepadaku.

Satu hal yang baik dari mengetahui waktu kematianmu adalah kau bisa memilih akan melakukan apa. Menikmati semua yang belum pernah kaurasai, karena tahu sebentar lagi napasmu akan berhenti menyuplai okesigen ke jantung. Lalu jantungmu yang kehabisan oksigen akan berhenti memompa. Dan itulah yang dinamakan mati.

Di antara sekian banyak keinginanku sebelum mati, aku punya satu hal yang ingin kulakukan, yaitu menulis ceritaku sesaat sebelum kematian menjemput dan mengirimnya ke salah satu media di ibu kota.

Lantas bila tulisan itu dimuat, aku akan berwasiat agar honor tulisanku disumbangkan saja ke rumah baca untuk anak-anak papua yang kekurangan suplay buku berkualitas.

Kemudian, orang-orang akan mengingatku sebagai perempuan dermawan yang bahkan setelah kematiannya masih tetap berbuat baik. Kisah hidupku pun menjadi tranding topik di kalangan netizen.

Lalu, ketika mengingat kembali honor cerpen i media lokal tidak seberapa dan bahkan sering kali tidak passti kapan cairnya, segala angan-angan soal menyumbangkan buku itu menguar.

Sore ini, sakit di perutku perlahan menjadi samar. Mungkin karena sebentar lagi malaikat maut akan mencabut nyawaku. Aku masih setia menunggu kematian hingga tengah malam dan akhirnya tertidur.

Ketika kembali terbangun di pagi yang berbeda, aku menyadari umurku telah bertambah satu hari dari vonis dokter. Darah memang keluar. Tapi bukan dari hidung atau mulut yang selama ini kubayangkan, melainkan membercak di celana dalamku.

Lalu, sebelum matahari benar-benar tinggi, teleponku berdering. Bila melihat kode area, aku tahu itu nomor telepon Banjarmasin. Kupikir orang kantor yang menelepon, memberi kabar dana koperasi karyawan yang kusimpan sebanyak satu juta tiap bulan sudah cair dan bisa segera kutarik. Namun ternyata itu telepon dari dokter rumah sakit yang memberiku vonis liver dan radang usus. Beliau mengabarkan kalau vonis yang kuterima tiga bulan lalu itu keliru, dan kondisiku sebenarnya baik-baik saja.

 Pagi itu aku merasa takdir benar-benar sedang mencandaiku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun