Mohon tunggu...
Shilvia Yulianti S
Shilvia Yulianti S Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Jurnalistik Universitas Padjadjaran

Mahasiswa Jurnalistik yang memiliki ketertarikan untuk menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Meugang, Tradisi Istimewa Perayaan Kemenangan di Tanah Serambi Mekah

30 Juni 2024   10:33 Diperbarui: 30 Juni 2024   14:00 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Eubk sapi, eubk sapi murah, hana 200 ribu seukilo!" (daging sapi, daging sapi murah ayo 200 ribu satu kilo!). Seru Sidiq menawarkan dagangannya dengan bersemangat.

Pagi ini, udara terasa sejuk. Jejak gerimis sisa hujan semalam masih terpatri jelas di atas lapak pedagang daging Pasar Keutapang, Aceh Besar pada Senin (8/4). Embun masih menyelimuti rerumputan di pinggiran pasar. 

Sang fajar baru menyapa sekitar pukul 6, membelai wajah-wajah yang kaku oleh dinginnya pagi. Diantara derap langkah para pembeli yang mulai berdatangan, terdengarlah riuh rendah pedagang yang sibuk menjajakan dagangan mereka.

Di dua hari menjelang Idul Fitri ini, kemeriahan meugang mulai terasa. Sebagai salah satu wilayah dengan mayoritas penduduk beragama Islam, Aceh mempertahankan banyak tradisi hingga saat ini. Salah satunya adalah tradisi meugang atau yang juga dikenal dengan makmeugang. 

Menurut penjelasan Tengku Hamzah, seorang budayawan Aceh, kata gang dalam bahasa Aceh merujuk pada pasar. Saat hari-hari biasa, pasar jarang didatangi oleh masyarakat. Namun, menjelang bulan Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha, pasar menjadi ramai dikunjungi oleh masyarakat, sehingga muncul istilah makmu that gang nyan (makmur sangat pasar itu) atau makmeugang.

Masyarakat Aceh nampak berbondong-bondong ke pasar untuk membeli daging sapi dan kerbau terbaik. Terlihat juga anak-anak yang berlarian kesana kemari menemani orang tua mereka berbelanja. Mata kecilnya berbinar, menunjukkan rasa ingin tahu yang besar. 

Di setiap penjuru pasar, bau amis khas daging yang menggantung pada besi letter S hook berpadu dengan aroma rempah dan bumbu basah khas Aceh yang menyeruak di hampir seluruh kawasan Pasar Keutapang.

Tradisi meugang menawarkan berbagai olahan daging yang lezat, seperti kari, gulai, rendang, daging asam keueng, sie reuboh, hingga sop daging. Setiap hidangan tersebut tentunya memiliki rasa rempah yang kaya dan khas. 

Selain daging sapi atau kerbau yang menjadi bahan utama hidangan meugang, digunakan juga berbagai bumbu rempah khas Aceh seperti bawang, jahe, lengkuas, kunyit, cabai, santan, cuka Aceh (nira yang sudah difermentasi), dan sebagainya.

Zuhrah, penjual bumbu basah di Pasar Keutapang, Aceh Besar mengatakan, masyarakat Aceh yang tidak mau repot membuat bumbu biasanya memilih untuk membeli bumbu basah instan yang banyak dijual oleh para pedagang di pasar. Bumbu yang sangat diminati oleh para pembeli saat meugang ialah bumbu daging asam keueng dan bumbu sie reuboh.

"Tapi kadang jika pembelinya dari Bireun atau Aceh Utara, mereka lebih suka membeli bumbu kari atau sop daging," kata Zuhrah sembari sibuk melayani pembeli.

Setelah bergulat dengan hiruk pikuk untuk mendapatkan daging dan bumbu, biasanya masyarakat Aceh akan kembali ke rumah masing-masing agar dapat memasak daging tersebut bersama keluarga dan kerabat.

Sore hari selepas shalat Ashar, aroma rempah-rempah khas Aceh menguar semerbak di udara Gampong Keutapang. Daging Sapi dan kerbau beradu panas diatas tungku raksasa.

Riuh rendah tawa dan canda dari sanak saudara mewarnai suasana memasak rendang dan sie reuboh di depan halaman rumah. Mereka begitu sabar mengaduk kuali besar untuk merebus daging hingga empuk dan meresap dengan bumbu. 

Tidak terlihat raut kelelahan di wajah mereka, yang ada hanya suka cita untuk menghasilkan hidangan yang kaya rasa dengan aroma yang menggoda. 

Dengan melihat hal tersebut, kita bisa merasakan bahwa inilah suasana eksklusif meugang Idul Fitri, tradisi kuliner istimewa yang menjadi denyut nadi perayaan kemenangan di tanah Serambi Mekkah.

Bagi masyarakat Aceh, tradisi meugang bukan sekedar membeli dan memasak serta menikmati berbagai kuliner maupun hidangan daging yang lezat. Meugang menjelang Idul Fitri sarat akan makna dan nilai budaya. 

"Meugang itu bukan sekedar tradisi makan daging bersama keluarga, tapi tentang kebersamaan, gotong royong dan rasa syukur," tutur Lhem Madi, masyarakat adat Gampong Keutapang, Aceh Besar.

Tradisi ini telah terpatri dalam sejarah panjang Aceh. "Sejak zaman dulu, zaman nenek moyang kita, meugang selalu menjadi momen spesial untuk berkumpul dan mempererat tali silaturahmi," terang Tengku Hamzah, budayawan Aceh.

Tidak hanya dinikmati oleh keluarga dan kerabat, hidangan meugang juga dibagikan kepada tetangga, yatim piatu, hingga dhuafa. 

Di halaman Masjid Baitussalam, Aceh Besar, tawa dan canda anak-anak yatim piatu serta dhuafa bergema, menyambut berbagai hidangan istimewa hasil masakan dari tradisi meugang yang dibagikan kepada mereka. 

Suasana penuh kehangatan dan kebersamaan yang mewarnai momen spesial ini dapat kita rasakan bahkan ketika kita berdiri di sudut halaman masjid. Puluhan masyarakat Gampong Keutapang dan sekitarnya berkumpul, membawa hasil masakan meugang mereka, seperti gulai, sie reuboh, daging asam keueng dan kari, untuk dibagikan kepada yatim piatu dan dhuafa.

"Meugang merupakan momen bagi kita untuk dapat berbagi kebahagiaan dan saling membantu saudara kita," ujar Muhammad Ramli, pemuka agama Islam Masjid Baitussalam.

Bagi anak yatim piatu dan dhuafa, tradisi meugang ini menjadi momentum yang sangat dinanti tiap tahunnya. Hilya, salah satu anak yatim piatu yang ikut mengantri di halaman masjid mengungkapkan bahwa hidangan istimewa yang ia terima tidak hanya memanjakan perutnya, tapi juga menghangatkan hati dan membawa kebahagian untuknya.

"Terimakasih sama semua warga Aceh yang sudah memberikan hidangan hasil meugang ini kepada kami, hidangan ini sangat menggugah selera dan tentunya membuat kami bahagia," kata Hilya sembari tersenyum lebar, menampakkan deretan gigi putih miliknya.

Pada tradisi meugang ini, masyarakat Aceh telah menunjukkan kedermawanan dan kepedulian mereka terhadap sesama. Tidak hanya yatim piatu dan dhuafa saja, hidangan meugang juga dibagikan kepada para pekerja jalanan dan masyarakat sekitar.

Bagi generasi muda Aceh, terutama yang ada diperantauan, tradisi meugang menjadi pengingat akan identitas dan budaya mereka. 

"Meugang merupakan warisan leluhur yang harus kita lestarikan," kata Salman, mahasiswa yang berkuliah di Pulau Jawa.

Namun, di era modernisasi ini, tradisi meugang tentunya tidak luput dari berbagai tantangan. Generasi muda cenderung memilih hidangan praktis daripada meluangkan waktu untuk membuat hidangan meugang secara tradisional. 

Tengku Hamzah mengatakan, "Perkembangan zaman dan juga kesibukan kita dapat menyebabkan tradisi meugang menjadi semakin terburu-buru," Hamzah menekankan perlunya untuk menanamkan nilai-nilai meugang kepada generasi muda agar tradisi ini tetap terjaga.

Semangat untuk berbagi dalam tradisi meugang tidak hanya memberi kehangatan di hati, tapi juga menjadi pengingat terhadap nilai-nilai luhur budaya Aceh. Meugang bukan hanya soal makanan lezat, melainkan juga tentang rasa syukur, kebersamaan, dan kepedulian terhadap sesama. 

Tradisi ini mengingatkan kita bahwa kebahagiaan sesungguhnya datang dari berbagi dan membantu sesama. Meugang perlu dilestarikan untuk membangun Aceh yang lebih sejahtera dan berbudaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun