Mohon tunggu...
Shesar
Shesar Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Pemuja Pramoedya

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Dunia Ini Milik Kelas Menengah Ngehe, yang Lain Ngontrak

10 Maret 2017   16:00 Diperbarui: 11 Maret 2017   02:00 2125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: resepkopihitam.blogspot.com

Seumur hidup, aku tak pernah menulis dengan kata ganti lu-gue. Dalam waktu tertentu malah mengharamkannya. Tapi kali ini saja (duh Gusti ampuni hamba) aku ingin melanggarnya karena sudah muntab. Gue sudah lama menahan ini bertahun-tahun, tapi tetap tidak bisa menghilangkan rasa jijik kepada kaum kelas menengah ngehe.

Di mata gue, haqqul yaqin bahwa mereka itu memandang dunia itu diciptakan Tuhan untuk kaum kelas menengah ngehe. Yang lain? Ngontrak. Keyakinan ini semakin gue imani setelah melihat kasus demo brutal angkot di Bandung, menyerang keberadaan taksi/angkutan daring (online, jika kalian belum tahu ada padanan bahasa Indonesianya) yang dirasa menyerobot rejeki mereka. Tentu saja yang demikian ditentang kaum kelas menengah ngehe yang menikmati khusyuk naik angkutan daring.

Sudah sejak lama, puncaknya tahun lalu waktu ada demo serupa di Jakarta, memihak suara supir angkot. Gimana enggak, mereka orang yang lebih terjepit daripada para pemilik angkutan daring itu kok. Tapi, yang jadi poin utama gue di sini, di mata gue ini adalah benturan kelas. Tepatnya antara kelas bawah versus kelas menengah ngehe (sebetulnya ingin sekali mengganti kata ngehe dengan asu, tapi kemudian ingat sebentar lagi Jumatan bung).

Baik demo di Jakarta maupun di Bandung kamarin, yang gue lihat sama: amuk kelas bawah yang merasa makin terjepit. Mereka itu (supir angkot Bandung maupun supir taksi di Jakarta), buat bawa pulang duit Rp100.000 aja susah. Bandingkan dengan kelas menengah ngehe yang duit segitu diceh-ceh buat ngopi di kafe, makan mahal di restoran (yang ujung-ujungnya juga jadi tai, sama kaya makan di warteg), atau bayar valet karena malas repot parkir.

Angka segitu gue gak asal njeplak, plis deh. Semasa dua tahun jadi jurnalis, gue beberapa kali nongkrong di terminal, ngobrol sama supir angkot, metromini, juga kopaja. Bus kota busuk itu juga jadi kendaraan pilihan nomor dua (karena saat itu bus Transjakarta belum sebanyak sekarang). Sering gue ngobrol iseng sama supir juga kenek buat tahu berapa sih penghasilan mereka tiap hari.

Tebak berapa? Kadang dapat Rp50.000 aja udah syukur mereka. Emang mereka bisa dapat Rp100.000, tapi dibagi dua antara supir dan kenek. Kalau lagi rame sih emang bisa aja bawa Rp100.000 per orang, tapi lihat aja tuh jalanan Jakarta macam apa. Gara-gara macet, mereka sering tekor karena frekuensi pulang pergi gak bisa banyak. Kalian yang pernah menikmati jalanan Rasuna Said pas jam pulang kerja pasti paham. Gak paham? Modaro ae mas.

Duit segitu cukup gak buat hidup? Kalau bujangan sih masih nutup, tapi bung, kebanyakan mereka itu berkeluarga. Ada istri, ada anak. Cukup kah? Ya menurut ngana? Buat kaum kelas menengah ngehe sih duit segitu abis langsung buat sekali nyeruput kopi.

Emang, kelakuan supir angkot sama bus kota itu bikin minta ditabok, tapi gak ada api tanpa korek. Mereka ngetem karena ada sistem setoran. Kalau asal jalan gak ngangkut banyak penumpang, ya nombok bensin atau solar bung. Gue beberapa kali ngobrol juga sama mereka. Bahwa mereka mau tuh jadi supir Transjakarta, yang nyupirnya nyantai, gak usah mikir setoran, gaji aman. Mereka mau, tapi gak semuanya bisa. Intinya, kelakuan kampret mereka di jalanan bukan tanpa sebab.

Terus dengan penghasilan yang cuma segelas kopi kelas menengah ngehe itu, mereka masih harus disikat sama munculnya angkutan daring. Perkara ini, gue ngobrol sama beberapa supir taksi bandara. Tahu gak apa keberatan mereka? Angkutan daring itu gak punya izin usaha angkutan umum. Yap, itu dia masalahnya. Angkutan daring gak punya izin penyelenggaraan angkutan orang tidak dalam trayek (silakan cek Permenhub no 32 tahun 2016 di bab III pasal 21 ayat 1).

Gini bung, misal kalian beli mahal tiket pesawat ke Bangkok buat nonton Coldplay. Lalu ada kesalahan sistem, ada pesanan ganda, nomor kursi bentrok sama bapak-bapak pejabat yang gak beli tiket, digratisin sama perusahaan. Lalu, kalian kena gusur, gak jadi terbang padahal udah bayar. Adil gak? Gue jamin kalian ngomel-ngomel di situ, atau malah diangkat di medsos.

Supir angkot dan taksi (di Jakarta tahun kemarin) juga sama. Mereka merasa ada ketidakadilan, lha wong mereka ada izin angkutan lalu si angkutan dari tidak, tapi bisa bebas ngangkut penumpang. Wajar dong mereka ngamuk. Dan perhatiin, apa mereka ngamuk ke taksi plat kuning (yang mana resmi)? Gak kan?

Soal istilah taksi daring itu emang salah, wajar lha wong tingkat pendidikan mereka gak setinggi kalian yang bisa kuliah. Kalau gue baca di berita, ada kesan mereka ngamuk ke taksi daring, yang mana taksi plat kuning yang manfaatin aplikasi buat dapet pelanggan. Padahal mah engga, sasaran amuk mereka kan mobil-mobil plat hitam yang ngangkut penumpang. Ilegal bung, I-L-E-G-A-L.

“Lha itu omprengan kok boleh?” siapa bilang boleh? Itu juga ilegal dan harusnya kena sanksi. Kalau ada teman maling duit SPP terus lolos dari hukuman, kalian mau ikut-ikutan gitu dengan dalih si teman boleh-boleh aja karena gak ada hukuman? Lha utek ki ning sirah po dengkul to kudune?

Sering tuh ada yang bilang, rejeki udah ada yang ngatur.

Iya benar, tapi gak serta merta abai sama aturan, atau malah gak bikin aturan sama sekali. Emang bisa seenaknya bilang gitu, kalau katakanlah ada serbuan pekerja asing ngambil jatah para kelas menengah ngehe, tanpa ada aturan yang membendung, yang memihak pekerja lokal, masih bisa enteng bilang rejeki ada yang ngatur. Yah kecuali pilih jadi PNS yang gak bakal diserobot orang asing. Tapi ya kali semua orang jadi PNS.

Ada juga yang bilang, kalau mereka kuat iman pasti gak bakal ada amuk.

Bung, orang Jepang atau Eropa kebanyakan itu kurang lemah iman apalagi coba? Banyak tuh yang ateis, tapi ada banyak tindak anarkis kah? Mereka (mari sepakati) itu lemah iman, tapi jarang sekali ada amuk. Tanya kenapa?

Yang lain bilang, adaptasi adalah kunci.

Adaptasi mbahmu kiper, bapakmu bek, mbokmu sayap kanan kuwi. Orang yang sekolah tinggi ya wajar bisa enteng ngomong soal adaptasi, lha mereka yang bisa lulus SMA aja udah syukur apa kabar? Jangankan mikir adaptasi (apalagi inovasi), besok bisa beliin anak mainan aja udah gumbira syekali. Mbok ya gak sakpenake gebyah uyah, emang mereka itu seberuntung kelas menengah ngehe bisa sekolah tinggi? Yang diajari buat adaptasi sama teknologi, berinovasi biar gak tenggelam, dan segala privilese lain para ngehe-ngehe di luar sana.

Mas, mbak, supir angkot yang kamari amuk itu, kebanyakan pastilah sekolahnya ndak setinggi kita. Lingkungan juga gak sebagus kita. Barangkali mereka juga mau seperti kita. Mungkin saja mereka ingin lahir dan besar di lingkungan yang mendukung, macam yang kita dapatkan.

Siapa sih yang milih lahir di kawasan kumuh, dengan ortu yang mentingin anaknya cari duit daripada dapat ilmu di sekolah, yang kanca sepermainannya hobi ngajak mbedugal,maling, dan macam-macam petingkah kurang manfaat lainnya?

Lagian gue gak habis paham, ngapain itu orang-orang yang punya mobil masih aja cari tambahan di jalan. Apa gak kasihan itu lho sama supir angkot yang jangankan beli mobil, nyicil motor saja engap dompetnya. Supir angkutan daring emang gak semuanya si pemilik mobil, kata lainnya bisa juga orang gak banyak duit. Tapi sekali lagi, si pemilik mobil kok ya tega dan enteng saja melanggar aturan sekaligus nyuil rejeki orang (walau secara tak langsung)?

Itu kan bukan ngobyekin mobilnya mas, cuma ride sharing.

Sejak kapan di Indonesia ini konsep berbagi dikomersilkan? Haloooo kapitalis.

Gue gak munafik, gue juga pernah pakai jasa angkutan daring. Tapi itu pun cuma sekali, pas subuh hari dan gak ada taksi resmi lewat. Sebisa mungkin gue gak menjadikan itu kebutuhan. Selama ada taksi resmi, gue bakal naik itu. Tapi angkutan pilihan utama gue tetep Transjakarta yang murah meriah (tapi sayang rasanya kok susah banget ditiru Bandung), dengan sesekali naik bus kota bobrok itu kalau gak dilewati Transjak.

Sekali lagi, yang terjadi kemarin di Bandung adalah benturan kelas. Antara kelas menengah ngehe yang entah kenapa kok macam gak mau memahami kesusahan kelas bawah, gak mau memahami kalau tingkah amuk itu salah satunya karena pendidikan dan lingkungan kelas bawah gak setinggi dan sebagus mereka. Yah dunia ini diciptakan memang hanya untuk kelas menengah ngehe, yang lain cuma ngontrak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun