Mohon tunggu...
Sherly
Sherly Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Program Lagi.. Lagi Program..

2 Maret 2019   08:23 Diperbarui: 2 Maret 2019   09:22 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lawan kata besar ialah kecil. Jauh berlawanan kata dengan dekat. Sedangkan kaya? Tentu saja kita akan menjawab miskin. Sejak dulu kita telah didoktrin jika ada orang kaya, tentu ada yang miskin. Jika begitu bisakah kemiskinan diberantas? 

Memberantas kemiskinan adalah pekerjaan berat. Sebaiknya dilakukan dengan cara bertahap dengan mulai mengurangi angka kemiskinan, kemudian proses menanggulanginya, hingga kita dapat mengentaskan masalah tersebut.

Langkah pemerintah Indonesia untuk mengatasi kemiskinan adalah dengan memberikan bantuan sosial. Salah satunya adalah Program Keluarga Harapan (PKH) yaitu program pemberian bantuan sosial bersyarat kepada keluarga miskin yang ditetapkan sebagai Keluarga Penerima Manfaat (KPM). Tujuan jangka panjang PKH adalah menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas. 

Bantuan sosial biasanya tersegmentasi yang artinya hanya individu atau kelompok tertentu yang berhak menerimanya. Begitu pula PKH. Penerima bantuan PKH harus memenuhi beberapa syarat yang ditentukan. Sasaran PKH merupakan keluarga miskin yang terdaftar dalam Data Terpadu Program Penanganan Fakir Miskin. 

Ada keluarga yang menerima PKH karena kriteria pendidikan yaitu memiliki anak usia sekolah (SD,SMP,SMA/SMK) dan kriteria kesehatan yaitu adanya ibu hamil dan balita. Selain itu, penyandang disabilitas berat dan para lanjut usia (lansia) mulai dari 60 tahun juga tak luput dari program ini agar dapat hidup sehat dan sejahtera.

Melalui PKH, KPM memiliki akses guna memanfaatkan pelayanan sosial dasar kesehatan, pendidikan, pangan dan gizi, perawatan, dan pendampingan.

Dipastikan KPM juga mendapatkan subsidi Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), jaminan sosial Kartu Indonesia Sehat (KIS),Kartu Indonesia Pintar (KIP,) Rumah Tidak Layak Huni (Rutilahu), dan berbagai program lainnya. 

Banyaknya program bantuan sosial itu menjadi bukti kepedulian pemerintah memberantas kemiskinan. Tapi besar dan banyaknya program tersebut dapat membuka celah untuk melakukan penyelewengan dan kecurangan. Walaupun dalam penyalurannya diawasi aparat hukum (kepolisian) dan dilakukan pendampingan. Akar masalahnya sama, programnya bercabang-cabang.

Pemerintah mengklaim angka kemiskinan tahun 2018 adalah yang terkecil sepanjang sejarah Indonesia (9,8%) berkat PKH. Penerima program PKH juga semakin bertambah setiap tahun. Di tahun 2019 pemerintah menargetkan 10 juta KPM dengan total anggaran bansos Rp 32,65T. Apakah kita lantas gembira dan berbangga diri? Bukankah artinya masih banyak orang miskin di Indonesia?

Indikator kesejahteraan adalah peningkatan penghasilan rumah tangga, gizi yang baik, dan kualitas pendidikan anak. Apakah dengan memberi iuran dapat meningkatkan penghasilan KPM untuk seterusnya? Apakah dengan BPNT gizi mereka dapat terpenuhi? Apakah pemberian Program Indonesia Pintar tepat diterapkan di kondisi pendidikan kita yang kacau balau?

PKH diperuntukkan bagi rakyat miskin. Pemberian iuran hanya mampu mengurangi pengeluaran belanja mereka. Rasa menggantungkan diri terhadap bantuan dapat menumbuhkan sifat malas. PKH sendiri bersifat sementara yaitu 6 tahun. Setelah itu apa? 

PKH sebaiknya meliputi program kewirausahaan agar bantuan tersebut bisa dimanfaatkan untuk membentuk UKM baru. Tidak sebatas teori dan sekedar "punya usaha" namun pemerintah harus memastikan iklim ekonomi yang kondusif bagi mereka untuk terus berwirausaha secara kontinu dan berkesinambungan.

Selain itu, membuka lapangan pekerja bagi KPM adalah cara terefektif membantu mereka dengan catatan, sistem dan pengupahan yang wajar dan layak. Namun kita juga tidak boleh memungkiri bahwa ada KPM yang memutuskan keluar dari PKH karena berhasil berdikari berkat program ini.

Bagi ibu hamil penerima PKH wajib memeriksakan kehamilan minimal 4 kali selama kehamilan, melahirkan di fasilitas pelayanan kesehatan, hingga masuk masa nifas 4 kali selama 42 hari. Tentu lebih baik jika ditambahi pemahaman bagi ibu untuk mengatur jarak kehamilan meskipun kita tahu ini merupakan program BKKBN tapi belum tentu ibu KPM mendapatkan sosialisasi Keluarga Berencana secara langsung.

Termasuk di dalam PKH adalah Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) kepada KPM berbentuk Kartu Indonesia Sejahtera yang dapat digunakan di e-warong (warung elektronik gotong royong).

Perbandingan BPNT 2017 dan 2018 terhadap barang yang bisa dibeli sangat jauh. Di tahun 2017 KPM dapat membeli beras, telur, gula, minyak goreng, dan tepung. Namun di 2018 hanya beras dan/atau telur. Mengapa demikian? Tentu saja karena harga bahan pokok yang semakin tinggi.

Namun, digitalisasi memberikan manfaat lain. Sistem bantuan sosial PKH yang semula berbentuk tunai kini berbentuk non tunai melalui Kartu Indonesia Sejahtera yang berbentuk uang elektronik (e-wallet) dan tabungan. KPM dapat mencairkan dana bantuan dan dapat menyisihkannya untuk ditabung.

Prakteknya, masih ada keluhan bagi beberapa KPM yang merasa iuran yang diterima telah dipotong. Entah oleh siapa dan alasan apa. Kemana mereka harus bertanya, apakah pendamping sosial PKH atau ke pihak Bank? Ketika bertanya kepada pendamping mereka menyuruh bertanya ke pihak Bank. Namun ketika ditanya ke pihak bank, mereka menjawab untuk mengkonfirmasi ini pada pendamping PKH. Sungguh ironis.

Kartu Indonesia Pintar pada program PKH memberikan bantuan uang dari pemerintah kepada peserta didik SD,SMP,SMA/SMK sederajat baik formal atau non formal dari keluarga miskin. Cukupkah memberikan uang di masa kapitalisme pendidikan yang mengakibatkan biaya pendidikan kita yang semakin mahal? Terlebih lagi penerima KIP belum tentu termasuk KPM. Sebaiknya KIP diimbangi pula dengan perbaikan sistem pendidikan kita. 

Fasilitas subsidi KIS pada KPM diterima pula oleh pegawai/karyawan peserta BPJS -Kesehatan yang membayar iuran/premi setiap bulan. Dana KIS tersebut berasal dari iuran peserta BPJS-Kesehatan sehingga secara tidak langsung masyarakat melakukan tolong menolong. Yang mampu membayar premi menolong mereka yang miskin agar mendapatkan faskes yang sama. 

Selain kekurangan di atas, kekurangan PKH yang paling terpenting dan sering terjadi sebenarnya adalah subjek KPM. Banyak pertanyaan dari masyarakat, "kenapa kami tidak memperoleh bantuan PKH dan kenapa mereka yang tergolong mampu yang mendapatkan bansos PKH?" 

Sumber data PKH adalah Basis Data Terpadu (BDT) yang diambil oleh sensus Badan Pusat Statistik (BPS) dan dibawah naungan Kemensos. Orang miskin yang tidak termasuk dalam BDT PKH dipastikan tidak akan menerima bantuan PKH. Karena itu, Pendamping PKH berkoordinasi dengan Pemerintah Desa/Kel melakukan validasi calon KPM dan mencoret KPM yang tidak memiliki komponen penerima manfaat/mampu/pindah/meninggal dunia. 

Pencoretan nama tersebut tidak dapat digantikan atau ditukar walaupun mereka memang layak karena datanya ditentukan oleh Kemensos bukan oleh Pemerintah Desa/Kel. Di sinilah yang harus segera diperbaiki oleh pemerintah. 

Jangan sampai program pengentasan kemiskinan yang mahal ini menjadi sia-sia karena salah sasaran. Yang mampu menerima PKH yang benar miskin tidak. Jika begitu bisakah kemiskinan diberantas?? Mari kita ikut serta berupaya baik dan bersungguh-sungguh untuk menghapuskan kemiskinan pada kehidupan saudara-saudara kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun