Hari-hari berlalu cepat, sudah lebih dari tiga bulan aku membantu Bapak dan Ibu di sawah, mengantar makan siang, dan sesekali membantu menyemprot pestisida. Perjalanan ke sawah melewati satu-satunya sekolah SMA di desaku. Sesekali menatap semangat mereka yang berlarian, memakai seragam putih abu-abu, membawa buku-buku juga berlatih menari, sisanya menatap sendu. Aku suka menari, bahkan menari sudah menjadi rutinitas bagiku. Sejak tidak melanjutkan sekolah, aku memilih mengikuti tari di balai desa, sisanya belajar otodidak.
Tidak banyak yang bisa kupelajari sendiri di rumah, hanya ada dua buku pelajaran SMA yang ku punya. Itu saja mengambil di tong sampah belakang sekolah SMA, buku yang tidak layak pakai. Meskipun begitu, aku tetap semangat berlatih Tari. Tidak peduli banyak anak sekolahan mengejekku. ‘percuma belajar menari tapi tidak sekolah.’ Begitulah kata mereka. Hampir setiap saat berlatih menari.
Memangnya apa hubungannya belajar menari dengan tidak bersekolah? Aku juga ingin bersekolah, namun keuangan yang tidak mencukupi membuatku terpaksa menunda. Selepas membantu orang tua aku langsung buru-buru pergi ke balai desa. Setiap hari kamis diadakan latihan menari di desaku. Dan aku salah satu penari terbaik. Beruntungnya lagi, Bu Risa guru tari hari ini menawariku mengikuti lomba menari daerah. Aku berpikir akan menolak karena tidak bersekolah. Tapi kata Bu Risa, ini terbuka untuk umum.
“Tidak apa, meskipun kamu tidak bisa melanjutkan sekolah. Tapi kamu punya bakat tari yang perlu dikembangkan lagi lewat lomba. Lomba ini gratis, untuk memperingati kemerdekaan Indonesia. Kamu masih ragu?”
“Iya, aku mau, Bu.”
Dua bulan persiapan terasa singkat bagiku, ini lomba pertamaku. Mulai dari pelatihan tari yang ditambah jadi dua hari seminggu, dan pemilihan kostum tari.
“Bagaimana Bu? Cocok tidak?” tanyaku menatap Ibu dan Bapak sebelum mereka berangkat ke sawah.
“Anak Bapak pasti cantik dong,” mencium pipi kananku.
“Bapak bisa saja,” aku tersipu malu mendengar ucapan Bapak.
Suara ketukan pintu terdengar, mungkin saja itu Bu Risa. Ku buka pintu rumah.
“Kamu sudah siap?” Bu Risa tersenyum padaku dan Bapak Ibu di belakang tubuhku.