Aku bukan anak dari keluarga berada, bahkan bisa dibilang kekurangan. Orang tuaku bekerja sebagai petani di sawah milik orang lain. Hasil dari bertani dibagi dua, setengah milik kami dan setengahnya untuk pemilik sawah. Bayaran menggunakan sawahnya untuk bertani.
Bapak mengusap rambutku, wajahnya tampak muram. Kami menikmati malam di bawah pohon mangga depan rumah, menatap bintang-bintang karena televisi dua hari lalu terpaksa dijual untuk modal bertani. Sedangkan Ibu membuat kopi di dapur.
“Sepertinya kamu tidak bisa melanjutkan sekolah SMA, nak.”
Aku terdiam, menghembuskan napas pelan. Sudah pernah terpikir tidak bisa melanjutkan sekolah lagi. Namun saat Bapak sendiri yang mengucapkannya, aku merasa sedih. Sekolah termasuk mimpiku. Mungkin bagi mereka yang berkecukupan ke atas, sekolah adalah kewajiban. Tapi bagiku, sekolah termasuk salah satu mimpi yang susah di raih.
“Hasil panen kurang bagus, apalagi hasilnya dibagi dua. Jauh dari kata cukup.”
Aku masih terdiam, berusaha tidak menangis dan merengek pada Bapak.
“Kopinya, Pak.” Ibu duduk di sampingku, memelukku.
“Ditambah lagi hujan lebat akhir-akhir ini membuat banyak petani gagal panen. Termasuk Ibu dan Bapak. Maafin Ibu, Bapak ya. Kamu jadi gak bisa lanjut sekolah.”
Aku mengangguk, ini bukan kesalahan mereka, aku saja yang kurang beruntung. “Gak papa, Bu. Sari tahu kalau keuangan kita merosot. Lagian, Sari juga baru lulus SMP, jadi bisa bantu Ibu sama Bapak. Sari bisa belajar sendiri di rumah kok.” Aku tersenyum, berharap Bapak dan Ibu tak perlu khawatir.
Bapak menepuk bahuku. “Berdoa saja semoga tahun depan panen melimpah dan kamu bisa lanjut sekolah. Tinggal kelas setahun tidak masalah, kan?”
Aku mengangguk semangat. “Syukur-syukur masih bisa lanjut sekolah saja senang banget.” Ku peluk Bapak.