Tiga jam acara perlombaan akhirnya selesai, aku tidak begitu yakin akan menang. Selain karena pendidikan, banyak tarian yang lebih baik dari tarianku. Walaupun Bu Risa selalu berucap bahwa aku akan menang, tapi aku tidak seyakin itu.
“Baiklah, setelah diskusi panjang lebar dengan ketiga dewan juri. Kami sudah menentukan pemenang dari lomba ini.” Suara pembawa acara.
Saat juara tiga di panggil dan itu bukan namaku rasanya sudah menyerah saja. Bu Risa berusaha menyemangati. Juara kedua tetap bukan diriku, ingin rasanya aku pulang dan memeluk Ibu. Menangis dipelukannya, berkata jika aku kalah.
“Tidak apa, masih ada juara pertama.” Bisik Bu Risa.
“Juara pertama lomba tari tradisional untuk memperingati hari kemerdekaan negara diraih oleh... Dewi Darna!”
Aku terdiam, itu namaku. Dewi Darna. Aku juara? Juara satu? Tidak percaya sekali, aku. Aku menangis pelan, menutup mulutku tak percaya. Rasa bahagia dan terkejut membaur bersama. Ternyata bagiku yang tidak bersekolah bukan penghalang untuk juara.
Bu Risa memelukku erat, “Selamat Dewi, selamat, kamu menang.”
“Silakan untuk peserta bernama Dewi Darna menuju panggung untuk menerima hadiah.”
Aku mengucapkan terima kasih pada dewan juri, dan mereka membalasku ucapanku dengan kata penyemangat. Kami juga melakukan sesi foto sebelum acara berakhir. Setelah piala dan uang juara ku terima, dan acara perlombaan sepenuhnya ditutup aku bergegas pulang.
“Ibu sudah bilang kamu itu berbakat,”
“Terima kasih untuk pengajarannya, Bu.” Menuruni motor, berpamitan