Mohon tunggu...
Shendy Adam
Shendy Adam Mohon Tunggu... Dosen - ASN Pemprov DKI Jakarta

seorang pelayan publik di ibu kota yang akan selalu Berpikir, Bersikap, Bersuara MERDEKA

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Produk Inovatif Balitbang PUPR sebagai Solusi Penumpukan Sampah di Bantargebang

24 Desember 2015   07:40 Diperbarui: 24 Desember 2015   08:58 553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Rumah Tangga sebagai Sumber Timbulan Sampah Terbesar di Jakarta

Menurut Gelbert dkk (1996), sampah padat berdasarkan jenisnya dapat dibedakan menjadi sampah organik dan sampah anorganik. Sampah organik, terdiri dari bahan-bahan penyusun tumbuhan dan hewan yang diambil dari alam atau dihasilkan dari kegiatan pertanian,perikanan atau yang lain. Termasuk sampah organik, misalnya sampah dari dapur, sisa tepung, sayuran, kulit buah, dan daun. Sedangkan sampah anorganik berasal dari sumber daya alam tak terbarui seperti mineral dan minyak bumi, atau dari proses industri.

Data Dinas Kebersihan DKI Jakarta menunjukkan bahwa komposisi sampah organik lebih besar ketimbang sampah anorganik dari keseluruhan timbulan sampah di Jakarta. Fakta lainnya adalah bahwa rumah tangga merupakan penyumbang sampah terbesar (data lengkap bisa dilihat pada tabel di bawah). Dengan demikian, sesungguhnya ada peluang besar untuk bisa mengurangi jumlah sampah yang harus dibuang ke TPA. 

[caption caption="sumber: Info Kebersihan 2012 (Dinas Kebersihan DKI Jakarta), diolah"]

[/caption]Dengan proporsi sampah organik yang lebih besar serta sumbernya adalah dari rumah tangga, maka bisa dipastikan timbulan sampah yang akan diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantargebang akan berkurang drastis apabila partisipasi masyarakat didorong agar lebih aktif. Nezar (2007) mengajukan pendekatan 3R dalam menangani sampah secara terpadu dengan konsep zero waste, yang artinya sampah dikurangi hingga jumlah yang seminimal mungkin. Pengurangan sampah diawali dengan upaya cegah (reduce) dan upaya pakai ulang (reuse). Jika sampah sudah telanjur terbentuk, hierarki pengelolaan selanjutnya adalah upaya daur ulang (recycle). Salah satu best practices dalam penerapan pengelolaan sampah terpadu berbasis 3R skala kota adalah di Kota Banjar, seperti dimuat dalam buku Layanan & Produk Litbang PUPR (2014).

Menurut Environmental Services Program (2011), kunci keberhasilan program kebersihan dan pengolahan sampah terletak pada pemilahan. Tanpa pemilahan, pengolahan sampah menjadi sulit, mahal dan berisiko tinggi mencemari lingkungan dan membahayakan kesehatan. Pemilahan adalah memisahkan antara jenis sampah yang satu dengan jenis yang lainnya. Pengelolaan sampah seharusnya lebih bersifat bottom-up sehingga perlu ditanamkan nilai-nilai atau pemahaman yang berkenaan dengan pengelolaan sampah pada masyarakat baik berupa dampaknya terhadap kesehatan maupun terhadap lingkungan. Dari sini diharapkan muncul suatu gerakan di dalam dirinya untuk menyingkirkan atau memusnahkan sampah dengan cara-cara yang benar.

Salah satu kendala yang kerap ditemui adalah ketidakpraktisan yang dirasakan oleh masyarakat. Oleh karena itu diperlukan solusi cerdas sehingga masyarakat sadar dan mau melakukan pengelolaan sampah mulai dari rumah masing-masing. Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) hadir dengan inovasi yaitu produk Komposter, yaitu alat pengolahan sampah organik rumah tangga melalui pengomposan dengan memanfaatkan tong bekas yang dibenamkan ke dalam tanah. Sampah organik seharusnya bisa dikelola secara komunal oleh masyarakat dengan cara komposting. Andaikan sebagian besar sampah organik itu bisa ditangani di tingkat terendah, maka akan mengurangi secara signifikan beban sampah kota

[caption caption="sumber : puskim.pu.go.id"]

[/caption]Jika komposter hanya bisa mengolah sampah organik, berbeda dengan Tungku Sanira yang bisa mengolah keduanya. Tungku Sanira juga merupakan inovasi dari Balitbang Kementerian PUPR. Keunggulan produk ini antara lain :
  • Teknologi yang digunakan zero waste
  • Jenis sampah organik dan organik dengan ukuran 10-20 cm, kecuali logam dan kaca
  • Tidak menggunakan bahan bakar minyak
  • Luas lahan 5x10 m dengan jarak ke permukiman tidak kurang dari 10m
  • Biaya operasional Rp.15.000/m3
  • Hemat energi, daya listrik 6.000 watt
  • Mampu beroperasi 24 jam
  • Kecepatan bakar 2 m3/jam dengan akdar air sampah <40%
  • Bahan komponen tungku produk lokal

[caption caption="sumber: puskim.pu.go.id"]

[/caption]Balitbang Kementerian PUPR sesuai dengan tugas dan fungsinya telah berupaya maksimal menghadirkan solusi seiring inovasi yang terus dilakukan, termasuk di antaranya adalah dalam penanganan sampah kota. Selanjutnya tinggal bagaimana peran pemerintah daerah masing-masing -dalam kasus di tulisan ini tentunya Pemprov DKI Jakarta-- untuk memanfaatkan inovasi-inovasi yang ada. Dan yang terpenting tentunya adalah partisipasi masyarakat itu sendiri. 

 

Referensi :

Balitbang, PU, Departemen Pekerjaan Umum. (1993). SKSNI S-04-1993-03 Spesifikasi Timbulan Sampah Untuk Kota Sedang dan Kota Kecil di Indonesia. Bandung: Yayasan LPMB

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun