Selain itu, pandemi mendorong percepatan digitalisasi di berbagai sektor, termasuk e-commerce, pendidikan daring, dan layanan keuangan digital. Contoh nyatanya adalah pertumbuhan pesat platform e-commerce seperti Tokopedia dan Shopee, yang mendukung aktivitas ekonomi di tengah pembatasan sosial. Dalam Endogenous Growth Theory, pengembangan teknologi ini menjadi kunci dalam mendorong pertumbuhan produktivitas di masa depan. Meskipun demikian, pandemi juga memperlihatkan kelemahan struktural ekonomi Indonesia, seperti rendahnya akses masyarakat terhadap layanan kesehatan berkualitas dan kesenjangan digital di wilayah-wilayah terpencil.
Pada tahun 2021, pemulihan ekonomi mulai terlihat, didukung oleh peningkatan aktivitas ekonomi domestik dan investasi dalam infrastruktur serta teknologi digital. Pemulihan ini mencerminkan kemampuan Indonesia untuk beradaptasi dan memanfaatkan momentum pasca-pandemi. Contohnya adalah percepatan pembangunan proyek strategis nasional, seperti Kereta Cepat Jakarta-Bandung, yang bertujuan untuk meningkatkan konektivitas dan efisiensi transportasi. Dalam konteks Endogenous Growth Theory, langkah-langkah ini menunjukkan pentingnya kebijakan yang mendukung produktivitas, inovasi, dan investasi berkelanjutan.
•Perbandingan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia pada Tahun 1998 dan 2020 Berdasarkan Endogenous Growth Theory
Pada tahun 1998, Indonesia mengalami kontraksi ekonomi yang sangat tajam akibat Krisis Moneter Asia. Krisis ini dimulai dari devaluasi mata uang di Thailand yang kemudian menyebar ke negara-negara Asia lainnya, termasuk Indonesia. Pelemahan nilai tukar rupiah yang ekstrem menyebabkan inflasi melambung hingga mencapai lebih dari 70 persen pada puncaknya. Dalam Endogenous Growth Theory, krisis ini menunjukkan lemahnya fundamental ekonomi Indonesia yang terlalu bergantung pada utang luar negeri dan investasi asing. Ketiadaan investasi jangka panjang dalam pengembangan modal manusia, seperti pendidikan dan pelatihan kerja, memperburuk situasi karena tenaga kerja domestik tidak memiliki kemampuan adaptasi terhadap perubahan struktural yang diperlukan. Selain itu, ketergantungan ekonomi pada sektor primer seperti pertanian dan ekspor komoditas mentah membuat Indonesia rentan terhadap volatilitas pasar global. Sebagai contoh, ekspor minyak dan gas bumi yang menjadi salah satu andalan ekonomi Indonesia mengalami penurunan harga, sehingga memperburuk pendapatan negara. Lemahnya institusi ekonomi juga menjadi kelemahan yang signifikan pada periode ini. Sektor perbankan Indonesia, yang belum memiliki regulasi dan tata kelola yang kuat, mengalami keruntuhan besar-besaran. Banyak bank yang kolaps karena gagal mengelola risiko valuta asing dan kredit macet, mencerminkan ketidaksiapan ekonomi domestik dalam menghadapi krisis global.
Sebaliknya, pada tahun 2020, pandemi Covid-19 membawa tantangan yang sangat berbeda, di mana kontraksi ekonomi dipicu oleh gangguan pada rantai pasok global, penurunan konsumsi domestik, serta pembatasan sosial yang membatasi aktivitas ekonomi. Berdasarkan teori endogen, investasi yang telah dilakukan selama dua dekade sebelumnya, khususnya dalam teknologi dan infrastruktur digital, membantu Indonesia bertahan dari dampak pandemi yang lebih parah. Transformasi digital menjadi salah satu pendorong utama adaptasi ekonomi, seperti munculnya layanan e-commerce, pendidikan daring, dan telemedicine. Namun, kelemahan struktural ekonomi Indonesia tetap terlihat, terutama dalam hal pemerataan akses teknologi dan modal manusia. Meskipun investasi dalam teknologi telah meningkat, disparitas antara daerah perkotaan dan pedesaan menjadi kendala besar. Banyak wilayah pedesaan yang masih minim akses terhadap internet dan teknologi, sehingga tidak dapat memanfaatkan peluang yang muncul selama pandemi.
Dari sisi tenaga kerja, meskipun Indonesia telah mengalami peningkatan kualitas pendidikan, banyak pekerja yang tidak memiliki keterampilan digital yang relevan dengan kebutuhan pasar kerja selama pandemi. Program pemerintah seperti Kartu Prakerja menjadi salah satu solusi untuk meningkatkan keterampilan tenaga kerja, tetapi program ini masih menghadapi tantangan dalam pelaksanaannya, seperti ketimpangan distribusi dan efektivitas pelatihan. Selain itu, pandemi juga mengungkap kelemahan dalam sektor kesehatan, yang berdampak langsung pada kapasitas tenaga kerja. Ketiadaan investasi yang cukup dalam infrastruktur kesehatan menyebabkan sistem kesehatan Indonesia kewalahan menangani lonjakan pasien selama pandemi, yang secara tidak langsung memengaruhi produktivitas ekonomi.
Jika dibandingkan, kelemahan utama pada tahun 1998 lebih banyak disebabkan oleh lemahnya institusi ekonomi dan ketergantungan yang tinggi pada modal asing, sementara pada tahun 2020 kelemahan utama terletak pada ketimpangan akses terhadap teknologi dan modal manusia. Dalam Endogenous Growth Theory, kedua periode ini menunjukkan pentingnya investasi jangka panjang dalam pengembangan modal manusia dan teknologi untuk menciptakan ekonomi yang tangguh dan mandiri. Tahun 1998 memberikan pelajaran bahwa ketergantungan pada faktor eksternal tanpa memperkuat kapasitas internal, seperti inovasi dan efisiensi, dapat menyebabkan kerentanan besar. Sementara itu, tahun 2020 menunjukkan bahwa meskipun investasi dalam teknologi dan modal manusia telah dilakukan, tantangan baru seperti pandemi memerlukan pendekatan yang lebih inklusif dan pemerataan akses di seluruh wilayah Indonesia.
Sebagai contoh konkret, pada tahun 1998, sektor manufaktur mengalami penurunan tajam karena pelemahan nilai tukar dan kurangnya dukungan teknologi untuk meningkatkan efisiensi produksi. Sebaliknya, pada tahun 2020, sektor teknologi informasi dan komunikasi justru tumbuh pesat karena adanya lonjakan permintaan untuk layanan digital. Hal ini mencerminkan bahwa investasi jangka panjang dalam sektor teknologi memberikan manfaat yang nyata dalam menghadapi krisis. Namun, sektor informal, yang menjadi penyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia, tetap menjadi titik lemah karena minimnya perlindungan sosial dan akses terhadap teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas mereka.
V.Penutup
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1998 dan 2020 merupakan dua momen bersejarah yang memberikan pelajaran penting bagi keberlanjutan pembangunan ekonomi di masa depan. Berdasarkan analisis menggunakan Endogenous Growth Theory, terlihat dengan jelas bahwa faktor internal seperti pengembangan modal manusia, investasi dalam inovasi teknologi, serta penguatan institusi memainkan peran kunci dalam menentukan kemampuan suatu negara untuk bertahan dan bangkit dari krisis. Krisis tahun 1998 menunjukkan bahwa kelemahan institusi ekonomi dan ketergantungan pada modal asing tanpa adanya investasi yang memadai dalam penguatan kapasitas domestik dapat membuat ekonomi menjadi sangat rentan terhadap guncangan eksternal. Sebaliknya, krisis tahun 2020 mengungkapkan bahwa meskipun investasi dalam teknologi dan infrastruktur telah meningkat secara signifikan, ketimpangan dalam distribusi akses terhadap teknologi dan kemampuan tenaga kerja masih menjadi tantangan besar yang harus diatasi.
Dua periode krisis ini juga menunjukkan bahwa ketahanan ekonomi tidak hanya ditentukan oleh tingkat pertumbuhan ekonomi secara kuantitatif, tetapi juga oleh kualitas dan inklusivitas pertumbuhan tersebut. Pada tahun 1998, kelemahan utama terletak pada kurangnya investasi jangka panjang dalam sektor pendidikan dan pelatihan tenaga kerja, sehingga masyarakat tidak mampu beradaptasi dengan perubahan drastis yang terjadi. Di sisi lain, tahun 2020 menyoroti pentingnya pemerataan akses terhadap teknologi dan kesehatan untuk memastikan bahwa setiap individu dapat berkontribusi dalam pemulihan ekonomi. Dalam konteks ini, Endogenous Growth Theory menggarisbawahi perlunya investasi strategis yang berfokus pada pengembangan modal manusia, teknologi, dan inovasi sebagai motor utama pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.Selain itu, pengalaman kedua krisis ini juga memberikan pelajaran penting bagi pemerintah Indonesia untuk terus memperkuat kebijakan ekonomi yang berorientasi pada pembangunan jangka panjang. Reformasi institusi ekonomi yang lebih inklusif, investasi dalam infrastruktur teknologi, serta kebijakan sosial yang melindungi kelompok rentan menjadi kunci utama untuk meningkatkan daya tahan ekonomi di masa depan. Tahun 1998 menjadi pengingat bahwa ketergantungan pada sektor eksternal tanpa fondasi ekonomi yang kokoh dapat membawa dampak yang sangat merugikan, sedangkan tahun 2020 menunjukkan bahwa bahkan dengan kemajuan teknologi, ketimpangan sosial dan ekonomi masih menjadi tantangan besar yang harus diselesaikan.
Untuk itu, langkah-langkah konkret perlu diambil untuk membangun ekonomi yang lebih tangguh. Pemerintah harus terus berkomitmen untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan pelatihan kerja, memastikan bahwa inovasi teknologi dapat diakses oleh semua kalangan, serta memperkuat sistem kesehatan yang menjadi pilar penting bagi produktivitas tenaga kerja. Selain itu, Indonesia perlu memanfaatkan momentum transformasi digital yang dipercepat oleh pandemi Covid-19 untuk memperluas peluang ekonomi, menciptakan lapangan kerja baru, dan memperkuat daya saing global.