Akan tetapi pelaksanaan dari program-program diatas masih belum maksimal dan banyak sekali pelanggaran yang didapati. Mungkin di daerah perkotaan untuk mengakses pendidikan dari PAUD, SD, SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi sangat mudah sedangkan di daerah desa bahkan pelosok Indonesia harus menempuh pejalanan yang jauh dan lama. Dan sering dijumpai juga bahwa pembangunan infrastruktur ini jugaterlalu Jawa-sentris. Sedangkan dipulau lain masih banyak daerah yang sulit dijangkauinfrastruktur dan sarana untuk pendidikan. Harusnya sembari membangun infrastruktur di Jawa, pemerintah memaksimalkan membangun sekolah di daerah pedalaman luar Jawa.Dikatakan bahwa pendidikan itu tidak mahal nyatanya masih banyak angka putus sekolah akibat tidak mampu membayar biaya atau iuran sekolah. Terutama ketika dunia dilanda covid-19 sejak 2019 yang mana membuat perekonomian hamper seluruh dunia lumpuh. Menurut data dari BPS angka putus sekolah dari tahun 2020 hingga 2022 mengalami kenaikan mulai dari jenjang SD, SMP, dan SMA imbas dari covid-19.
Pelaksanaan program KIP dan KIP Kuliah masih banyak ditemui pelanggaran. Pelanggaran tersebut yaitu sasaran penerima yang tidak tepat. Banyak sekali kecurangan kecurangan yang ditemukan. Seperti penerima yang ternyata penerima berasal dari keluarga sangat mampu akan tetapi karena tergiur dengan besaran dana yang didapat dan diloloskan oleh petugas yang mensurvey. Kemudian sulitnya bagi anak keluarga menengah pas-pasan atau dari anak ASN dengan gaji kecil yang hanya cukup untuk kebutuhan sehari hari untuk diloloskan KIP-nya karena dianggap semua ASN sejahtera. Selain itu kuota penerimaan KIP Kuliah yang semakin berkurang dari tahun ke tahun.
Selanjutnya yaitu penempatan guru yang tidak merata. Banyak guru yang menolak ataupun tidak mau ditempatkan diluar Jawa ataupun di daerah terpencil. Karena selain akses transportasi yang sulit juga infrastruktur daerahnya belum memadai. Banyak guru lulusan sarjana yang menolak untuk ditempatkan di daerah terpencil sehingga daerah terpencil tersebut yang membutuhkan tenaga pendidik harus mengangkat guru lulusan SMA. Dapat dipahami karena selama ini guru dianggap pekerjaan luhur sehingga masyarakat Indonesia kurang memprhatikan kesejahteraan mereka. Padahal yang paling banyak berperan pada pendidikan di Indonesia adalah guru.
Yang kedua faktor permasalahan pendidikan di Indonesia yaitu mutu pendidikan. Mutu pendidikan yang baik yaitu mencakup banyak faktor mulai dari peserta didik, guru, kurikulum, dan lingkungan belajar. Adanya sistem sertifikasi dapat digunakan sebagai upaya peningkatan kualitas tenaga pendidik (Goldhaber and Anthony, 2007). Untuk peningkatan kualitas peserta didik dapat melalui seleksi penerimaan yang ketat, pengembangan keterampilan guru pendidik, dan perbaikan kurikulum untuk disempurnakan. Karena selama ini kurikulum pendidikan di Indonesia terus menerus mengalami pergantian yang mana membuat bingung guru untuk mengajar dan siswa yang dituntut untuk mempelajari semuanya.
Ketiga yaitu permasalahan efisiensi dalam sistem pendidikan Indonesia. Sebagai contohnya yaitu adanya angka putus sekolah dimana seharusnya peserta didik mengenyam bangku sekolah akan tetapi mereka memutuskan bekerja karena kondisi ekonomi keluarga. Adanya ketimpangan pendidikan dan jumlah lapangan pekerjaan, penyerapan anggaran pendidikan yang belum sesuai target, dan sistem birokrasi administrasi pendidikan yang terlalu rumit. Solusi yang dapat ditawarkan yang pertama pemerintah perlu menambah anggaran pendidikan untuk pengembangan sumber daya yang memadai seperti fasilitas fisik, teknologi pendidikan, dan kualitas tenaga pendidik. Kedua yaitu adanya pemberian pelatihan dan sertifikasi untuk tenaga pendidik, serta pemerataan akses pendidikan.
Faktor permasalahan pendidikan yang terakhir yaitu relevansi. Dalam hal ini berkaitan dengan sejauh mana pendidikan mampu mempersiapkan siswa untuk kebutuhan dunia nyata dan pasar kerja. Permasalahan mengenai kurikulum sebagai acuan pendidikan di Indonesia nampaknya sangat kompleks pengaruhnya. Pada permasalahan relevansi yaitu berupa kesenjangan antara kurikulum sekolah dengan kebutuhan industri. Ketidakselarasan kurikulum dengan perkembangan teknologi dan permintaan pasar kerja menghasilkan lulusan yang kurang siap untuk menghadapi tuntutan kerja. Contohnya di Indonesia, kurikulum 2013 sudah mengalami perubahan sebanyak 10 kali. Hal ini dapat dipahami karena setiap pembuat kebijakan memiliki ragam pandangan yang berbeda. Selain itu perubahan kurikulum harus dilakukan secara berkelanjutan demi menghadapi tantangan zaman yang mudah berubah ini.
Akan tetapi perubahan yang terjadi terus menerus akan membingungkan tenaga pendidik dan peserta didik. Selain itu perubahan kurikulum memerlukan adaptasi dan pembaruan yang cepat sehingga menghambat implementasi materi dan sumber daya yang efektif. Kurikulum 2013 saat ini sudah menerapkan keterampilan yang sesuai dengan abad ini. Seperti pemecahan masalah, komunikasi, kreativitas, dan kolaborasi.Hanya saja masih berorientasi pada pendidikan umum dan kurangnya pelatihan praktis ynag dibutuhkan siswa untuk menghadapi dunia kerja. Solusi yang dapat ditawarkan untuk mengatasi hal hal diatas yaitu pada proses perencanaan kurikulum hendaknya melibatkan pihak industri dan dunia kerja, menekankan keterampilan yang efektif digunakan pada industri saat ini, dan memperkuat pelatihan praktis yang seimbang dengan teoritis.
Faktor Sosial
Selain faktor politik diatas yang dipengaruhi anggaran, kebijakan, dan tata Kelola pendidikan, faktor sosial juga mempengaruhi. Yang pertama adalah kemiskinan yang menghambat kualitas pendidikan di Indonesia. Berdasarkan salah satu teori teori kemisnkinan (Sukirno 2006), terdapat teori struktural berdasarkan pemikiran Andre Gunder Frank menyatakan bahwa kemiskinan adalah permasalahan yang berasal dari politik ekonomi dunia, bukan hanya isu budaya atau pembangunan ekonomi. Menurut teori kapital manusia (Human Capital Theory) menyatakan bahwa tingkat pendidikan dan keterampilan individu memiliki pengaruh yang besar terhadap kemungkinan individu tersebut keluar dari kemiskinan. Modal yang digunakan individu untuk meningkatan potensi pendapatan dan kesempatan kerja individu adalah dengan melalui pendidikan dan pelatihan (Becker, 1964). Lalu bagaimana masyarakat miskin tersebut mengakses pendidikan sedangkan untuk kebutuhan sehari hari saja masih kesulitan.
Pasca pandemi yang melanda sebelumnya persentase kemiskinan di Indonesia menurun pada September 2021 sebesar 9,71 persen. Dan Maret 2022 yaitu sebesar 9,54 persen yang mana pada September 2022 mengalami kenaikan kembali sebesar 9,57 persen. Pemerintah memiliki tanggungjawab untuk mengurangi kesenjangan tersebut dan memberikan kesempatan bagi seluruh individu agar mampu mengakses pendidikan secara layak. Dapat melalui perbaikan kebijakan pendidikan yang dapat menggratiskan masyarakat kurang mampu. Karena realitanya saat ini yang digembor gemborkan adalah biaya sekolah gratis. Tetapi masih saja banyak pembayaran iuran-iuran lain diluar itu seperti membeli seragam, buku, dan lainnya.
Faktor sosial selanjutnya yang mempengaruhi kualitas pendidikan di Indonesia yaitu tingkat pendidikan orangtua. Penelitian menunjukkan bahwa orangtua yang mengenyam pendidikan tinggi berpotensi memiliki pengetahuan dan keterampilan yang mendukung pendidikan anak-anak mereka (OECD, 2012). Dan terakhir aksebilitas terhadap pendidikan yang memadai adalah faktor penting. Tantangan daerah terpencil terutama daerah pedalaman dan daerah 3T yaitu fasilitas yang tidak memadai baik sekolah maupun infrastruktur pendukungnya. Maka dari itu yang menjadi PR bagi pemerintah yaitu memastikan bahwa fasilitas pendidikan haruslah segera di bangun dan kita sebagai masyarakat harus mendukung upaya tersebut.