Mohon tunggu...
S. Hariyadin
S. Hariyadin Mohon Tunggu... Auditor - Pengamat

Buruh yang hobi jalan-jalan sekaligus belajar moto dan menikmati diskusi apa saja yang mencerahkan pikiran dan hati.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kontradiksi Dugaan Korupsi Johnny G. Plate

25 Mei 2023   08:17 Diperbarui: 25 Mei 2023   22:45 670
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Foto Tempo yang dimodifikasi

"Tidak semua yang masuk penjara orang jahat, dan tidak semua yang di luar penjara orang baik" (Tulisan seorang napi anonim di penjara Italia).

Minggu-minggu ini merupakan waktu yang berat bagi Johnny Gerard Plate dan keluarga besarnya. Stigma negatif bahkan hujatan dari sebagian besar publik harus diterima mereka. Asas praduga tidak bersalah (presumption of innonce) bagi seorang tersangka seperti Johnny Plate (selanjutnya disingkat JP) seolah terhempas oleh berita tentang korupsi "ugal-ugalan" di proyek pembangunan BTS Kominfo. Bayangkan, nilai proyek sebesar Rp10 triliun, 80%-nya dikorup oleh Johnny Plate dan kawan-kawan.

Korupsi pengadaan barang dan jasa masih mendominasi modus operandi korupsi di Indonesia, selain suap-menyuap. Rata-rata nilai korupsi sebesar 30% dari nilai proyek bisa jadi akan terpecahkan jika kasus ini sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht). Bahkan bisa menjadi rekor dunia untuk korupsi proyek strategis yang bernilai triliunan rupiah. Sudah sedemikian ugal-ugalankah seorang JP yang dikenal sebagai politisi yang lihai?

Terlalu prematur untuk menarik kesimpulan seperti itu, apalagi menuduh JP sebagai koruptor. Statusnya masih tersangka. Masih panjang prosesnya sampai menjadi terpidana atau bebas. Informasi yang beredar di publik masih minim. Kejaksaan Agung dan Menko Polhukam juga sangat irit memberikan informasi. Kita diminta untuk menunggu sidang terbuka di pengadilan tipikor.      

Di tengah gempuran informasi yang menyudutkan JP yang harus bolak-balik diperiksa ditambah berbagai Analisa pakar dan komentar netizen, tulisan ini mencoba memberikan sudut pandang berbeda untuk melengkapi informasi mainstream yang ada. Pendapat yang kami tuliskan di sini tentu saja berdasarkan informasi terbatas yang beredar di media massa.

Sekurang-kurangnya terdapat 6 kontradiksi yang muncul sehubungan informasi penetapan JP sebagai tersangka dalam proyek pembangunan BTS 4G BAKTI Kominfo 2021-2022 (selanjutnya disingkat Proyek BTS).

Kontradiksi Pertama. JP ditetapkan sebagai tersangka dalam kedudukannya sebagai Menteri Kominfo dan Pengguna Anggaran. Hampir tidak mungkin untuk sebuah organisasi sebesar Kementerian Kominfo, seorang Menteri yang juga merupakan Pengguna Anggaran (PA) tidak melimpahkan kewenangannya kepada Kuasa Pengguna Anggaran (KPA).

Jika diasumsikan JP telah melimpahkan kewenangannya kepada KPA, maka kewenangan dan tanggung jawabnya seharusnya beralih kepada KPA. Bagaimana mungkin seorang PA yang sudah mendelagasikan atau melimpahkan kewenangannya dimintai pertanggungjawaban pidana? Kemungkinan itu tetap ada, misalnya jika JP yang sudah mendapatkan laporan tentang adanya penyimpangan, namun tidak melakukan evaluasi dan pengawasan sebagaimana mestinya. Atau bahkan JP justru berperan serta dengan menyalahgunakan kewenangannya sebagai Menteri dalam penyimpangan proyek ini

Kontradiksi Kedua. JP diduga melakukan mufakat jahat untuk mark up harga proyek hingga lebih dari 40%. Salah satu tugas dan kewenangan Pengguna Anggaran (PA) adalah menetapkan perencanaan pengadaan. Seorang PA tidak mungkin dapat mark up harga barang jika dalam proses perencanaan pengadaan tidak ada peran serta pihak lain.

Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yang bertugas menyusun perencanaan pengadaan dibantu tim pendukung atau tenaga ahli. Penyusunan perencanaan pengadaan bersamaan dengan proses penyusunan rencana kerja kementerian. Sebelum ditetapkan oleh Pengguna Anggaran, biasanya draf perencanaan pengadaan yang disusun PPK akan direview oleh Sekjen dan pejabat terkait lainnya. Selanjutnya proses penyusunan anggaran bergulir ke Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan dan DPR (Komisi terkait dan Badan Anggaran).

Oleh karena itu, apakah mungkin seorang PA dapat me-mark up harga sendirian dalam proyek BTS ini, tanpa peran serta PPK, Sekjen, dan pejabat terkait lainnya? Bagaimana peran DPR (komisi terkait dan Badan Anggaran) dan Dirjen Anggaran Kemenkeu yang juga terlibat dalam penyusunan anggaran pengadaan proyek BTS ini?

Sebaliknya, apakah tidak mungkin seorang PA melakukan pemufakatan jahat untuk mark up harga? Jawabannya, sangat mungkin dan bahkan sering terjadi. Masalahnya adalah pembuktian. Keahlian penyidik dan jaksa penuntut umum diperlukan di sini. Semoga Jaksa Penuntut Umum dapat mengungkap keterlibatan pihak terkait lainnya dalam pemufakatan jahat untuk mark up harga sehingga merugikan keuangan negara.

Kontradiksi Ketiga. JP diduga memanipulasi pertanggungjawaban kemajuan atau progress pekerjaan sehingga seolah-olah pencairan 100% dapat dilaksanakan terlebih dahulu. PA tidak akan dapat mengetahui adanya penyimpangan proyek jika tidak mendapat informasi/laporan dari PPK . Apalagi jika kewenangannya sudah dilimpahkan ke KPA.

Untuk memperjelas kontradiksi ini, marilah kita lihat proses pemeriksaan pekerjaan sampai persetujuan pencairan anggaran berikut ini.dan/ atau Panitia Pemeriksa hasil Pekerjaan (PPHP).

PPHP memeriksa apakah pekerjaan sudah sesuai dengan yang diperjanjikan, menerima hasil pekerjaan, dan menandatangani Berita Acara Serah Terima Hasil Pekerjaan. Selanjutnya PPHP melapor ke PPK sebagai pengendali kontrak. Setelah dilakukan review/verifikasi, PPK melaporkan ke PA/KPA untuk memperoleh persetujuan pencairan anggaran belanja, dan seterusnya. 

Kualitas informasi/laporan dari PPHP dan PPK serta respon PA (jika tidak ada pelimpahan wewenang ke KPA) sangat menentukan keterlibatan/penyalahgunaan wewenang JP dalam proyek BTS ini. Biasanya anak buah tidak berani membuat laporan apa adanya. Jargon ABS alias Asal Bapak Senang, masih mendominasi sikap bawahan ke atasan.

Untuk seorang pengusaha besar dan politisi sekaliber JP, kecil kemungkinan yang bersangkutan memberikan persetujuan anggaran jika laporan anak buahnya dibuat asal-asalan.

Jika demikian faktanya, mengapa peran dan status PPK dan PPHP dalam proyek BTS ini tidak jelas? Jika anak buah memang berani melaporkan progress pekerjaan apa adanya dan JP berani untuk memberikan persetujuan pencairan anggaran, maka ketidakbiasaan seperti itu kemungkinan karena ada faktor X di balik peristiwa itu.  

Selain kontradiksi tersebut, terdapat polemik tentang apakah dana dilarang dicairkan 100% ketika progress pekerjaan belum selesai 100%? Mahfud MD, Tim BPK, dan Tim BPKP menyatakan hal tersebut melanggar hukum. Di sisi lain, terdapat dasar hukum atau pertimbangan berikut ini yang mungkin dijadikan dasar Kominfo untuk mencairkan anggaran 100%, meskipun progress proyeknya belum 100%.

1. Peraturan Direktur BAKTI Nomor 7 Tahun 2020 memungkinkan pembayaran dilakukan apabila barang atau perangkat telah berada di lokasi pekerjaan;

2. Peraturan LKPP No. 9 tahun 2018 pada angka romawi VII tentang pelaksanaan kontrak memungkinkan pembayaran dapat dilakukan sebelum prestasi pekerjaan diterima/terpasang jika ada jaminan minimal sebesar dana yang dicairkan.

3. Pertimbangan teknis di lapangan yang mungkin dijadikan pertimbangan pencairan dana dimaksud antara lain sebagai berikut:

  • Presiden Joko Widodo berambisi untuk mempercepat transformasi digital seluruh daerah Indonesia dengan membangun Base Transceiver Station (BTS) 4G BAKTI bagi wilayah 3T (tertinggal, terdepan dan terluar).
  • Tahun 2021 covid 19 sedang tinggi-tingginya, sehingga hampir semua pekerjaan/proyek terlambat dikerjakan. Mobilisasi menjadi sangat terbatas. Oleh karena itu covid 19 ditetapkan sebagai bencana nasional dan dapat dinyatakan sebagai force majeur suatu kontrak. Di sisi lain, pada akhir tahun anggaran, pendanaan proyek akan ditarik seluruhnya, sehingga berisiko proyek akan terhambat karena ketiadaan dana dan perlu waktu panjang untuk menganggarkan kembali.
  • Kedua realita di atas merupakan kondisi dilematis. Pimpro, bendahara, sampai pengguna anggaran pasti akan pusing menghadapi tuntutan penyelesaian pekerjaan dan kendala pendanaan. Bagaimana jika Anda menghadapi situasi seperti itu? 

Kontradiksi keempat terkait permintaan uang Rp500 juta per bulan. Berita Acara Pemeriksaan Anang Achmad Latif terkait permintaan uang oleh JP beredar luas di dunia maya. Informasi tersebut selayaknya "bahan bakar" tambahan di tengah meningginya suhu politik.

Pakar pencucian uang dan ahli hukum laris-manis dimintai pendapat terkait aliran dana di atas. Istilah "follow the money" menjadi jargon sakti untuk menelusuri aliran dana dugaan korupsi proyek BTS ini.  Bahkan beberapa pakar juga mengusulkan kemungkinan pembubaran suatu partai (tindak pidana korporasi) jika aliran dana tersebut terbukti menjadi sumber dana beberapa partai yang terlibat.

Sayangnya, pengalaman menunjukkan bahwa pengusutan aliran uang hasil korupsi sering terbentur keterbatasan informasi/alat bukti. Apalagi jika melibatkan transaksi antar negara-negara surga pajak dan penggunaan teknik canggih dalam memanfaatkan loop holes berbagai peraturan dan berbagai fasilitas yang disediakan negara-negara tertentu.

Ini seperti bau kentut, bisa dicium (diyakini keberadaannya), tapi sulit dibuktikan keberadaannya. Bagi penulis, hal ini tetap menjadi kontradiksi karena kemungkinan besar informasi terkait aliran dana ini akan menjadi anti klimaks, seperti kehebohan kasus e-KTP. Kalaupun ada aset yang berhasil disita, jumlahnya sangat kecil dan jauh dari angka triliunan. Mari kita lihat kebenaran prediksi saya ini.   

Kontradiksi kelima terkait proses tender yang mengarahkan pemenang pada pihak tertentu (tidak terjadi persaingan sehat). Modus operandi seperti ini sudah menjadi "rahasia umum" di negeri ini. Keberadaannya tidak terlihat secara kasat mata, tapi tercium busuk seperti bau kentut. Oleh karena itu, rekayasa tender bersama suap-menyuap masih mendominasi sebagai modus operandi korupsi terbanyak. Bahkan tidak jarang, penunjukan pemenang tender terjadi sebelum penyusunan perencanaan anggaran terjadi.

Anang Achmad Latif (AAL), Dirut Bakti Kominfo, dibantu Galumbang dan Yohan mempunyai peran sangat besar dalam mengatur tender proyek BTS ini. Peran aktif AAL dalam rekayasa tender kemungkinan juga melibatkan pihak internal kominfo seperti kelompok kerja pemilihan yang bertugas melaksanakan persiapan dan pemilihan penyedia.

Sejauh ini memang masih belum jelas bagaimana hubungan antara AAL dan Kelompok Kerja Pemilihan dengan Menteri/PA dalam rekayasa tender ini. Seorang menteri kemungkinan besar tidak akan mencampuri proses tender secara detil, namun ada kemungkinan juga mereka dapat menyalahgunakan kewenangannya untuk mempengaruhi hasil tender.  

Secara normatif, tugas dan kewenangan PA terbatas pada penetapan pemenang berdasarkan usulan kelompok kerja pemilihan dan pejabat di bawahnya. Dokumen tender kemungkinan dibuat sesuai dengan peraturan yang berlaku. Tanpa keterlibatan pejabat di bawahnya, keterlibatan seorang Menteri/PA relatif kecil kemungkinan terjadinya. Kontradiksi di sini terjadi ketika PA ditetapkan sebagai tersangka, terkait rekayasa tender, tanpa kejelasan status kelompok kerja pengadaan dan pejabat terkait lainnya yang mempunyai pengetahuan mendalam terkait persiapan dan pelaksanaan tender.

Kontradiksi keenam terkait kerugian keuangan negara. Berdasar hasil pemeriksaan (rutin) BPK, terdapat indikasi potensi pemborosan atas biaya dalam kontrak sebesar Rp 1,5 pada proyek BTS ini.

Sedangkan BPKP menyatakan terdapat kerugian negara proyek BTS ini sebesar Rp8.032.084.133.765,- (hampir 80% dari nilai proyek yang sudah dicairkan). Jika BPK berpendapat adanya potensi kerugian negara, maka BPKP berdasar Laporan Perhitungan Kerugian Negara, menyatakan kerugian negara tersebut sudah konkrit dan nyata. Kerugian negara sebesar 8 triliun rupiah tersebut terdiri dari 3 bagian besar, yaitu:

  • biaya untuk kegiatan penyusunan kajian pendukung
  • mark up harga, dan
  • pembayaran BTS yang belum terbangun/dikerjakan.

Berdasar informasi terbatas di atas, kerugian negara versi BPKP tersebut berpotensi menjadi kontradiksi karena peluang untuk diperdebatkan sangat terbuka.

Poin a kemungkinan karena terdapat banyak kegiatan penyusunan kajian pendukung yang tidak relevan atau bahkan fiktif. Secara umum, banyak proyek yang mendapat "biaya titipan" seperti itu. Jika komponen biaya tersebut dibuka secara transparan atau "cetho welo-welo", niscaya akan menimbulkan kehebohan seperti misalnya kasus e-ktp. "Bumbu politik" berpotensi menimbulkan kontradiksi lebih hebat di tahun politik seperti saat ini.  

Poin b terkait mark up harga yang menimbulkan kerugian negara berpotensi terjadi adu argumentasi yang keras di pengadilan. Menarik untuk mencermati perhitungan BPKP tersebut, mengingat sulitnya pembuktian mark up harga.

Untuk komponen harga barang umum (tidak spesifik) yang ada di dalam negeri, pembuktian mark up harga relatif lebih mudah. Sedangkan terkait komponen harga jasa/tenaga kerja relatif lebih sulit pembuktiannya karena harga pembandingnya punya rentang harga yang lebar. Pembuktian komponen harga barang dan jasa (spesifik) yang berasal dari luar negeri akan jauh lebih sulit. Untuk mendapatkan informasi dari pabrikan atau tenaga kerja luar negeri serta mencari pembanding yang "apple to apple" perlu usaha ekstra dan kadang perlu melibatkan pendekatan high level. Oleh karena itu, menarik untuk mencermati harga pembanding yang dipakai BPKP untuk membuktikan adanya mark up harga.

Poin c terkait pembayaran BTS yang belum dikerjakan. Kemungkinan BPKP menilai ada pekerjaan fiktif yang dibayarkan (100% merugikan negara). Untuk membahas poin c ini, kita dapat melihatnya pada pembahasan di atas terkait pencairan dana 100%, namun proyek belum selesai 100%.

Mengutip penjelasan Mahfud MD,"setelah diperiksa oleh BPKP melalui satelit, tower yang sudah terbangun sebesar 958 tower. Berdasarkan sampling sebanyak 8 tower, tidak ada tower yang berfungsi". Pemeriksaan lewat satelit tentu saja hanya dapat melihat tower yang sudah terbangun, sedangkan pembangunan tower yang masih dalam proses tidak akan terlihat. Perlu diingat bahwa proses pembangunan tower ini di tengah pandemic covid-19, sehingga pemeriksaan tidak dapat menggunakan asumsi normal. Demikian juga sampling sebanyak 8 tower (bukan populasi) tidak dapat menunjukkan kerugian negara yang konkrit dan pasti sebesar 8 triliun rupiah.

Poin c ini diprediksi juga akan terjadi adu argumentasi antara Jaksa Penuntut Umum dibantu Auditor/Ahli dengan terdakwa dibantu penasehat hukum/ahli terkait dasar hukum pencairan dana 100% atas proyek yang belum 100%. Kemungkinan besar terdakwa/penasehat hukum juga akan menyampaikan dilema pelaksana proyek menghadapi akhir tahun anggaran dan kendala pengerjaan di lapangan akibat covid 19. Kemampuan para pihak untuk meyakinkan hakim tergantung pada alat bukti dan argumentasi masing-masing pihak.

Demikianlah 6 kontradiksi yang dapat menjadi informasi pelengkap dan sekaligus sebagai informasi awal sebelum sidang di pengadilan tipikor berlangsung. Semoga sidang ini dapat disiarkan secara langsung, sehingga kita dapat melihat secara objektif penanganan kasus ini. Lihat juga pembahasan masalah ini pada video dengan judul: "Kontradiksi Dugaan Korupsi Johnny G. Plate". SHariadin

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun