3. Pertimbangan teknis di lapangan yang mungkin dijadikan pertimbangan pencairan dana dimaksud antara lain sebagai berikut:
- Presiden Joko Widodo berambisi untuk mempercepat transformasi digital seluruh daerah Indonesia dengan membangun Base Transceiver Station (BTS) 4G BAKTI bagi wilayah 3T (tertinggal, terdepan dan terluar).
- Tahun 2021 covid 19 sedang tinggi-tingginya, sehingga hampir semua pekerjaan/proyek terlambat dikerjakan. Mobilisasi menjadi sangat terbatas. Oleh karena itu covid 19 ditetapkan sebagai bencana nasional dan dapat dinyatakan sebagai force majeur suatu kontrak. Di sisi lain, pada akhir tahun anggaran, pendanaan proyek akan ditarik seluruhnya, sehingga berisiko proyek akan terhambat karena ketiadaan dana dan perlu waktu panjang untuk menganggarkan kembali.
- Kedua realita di atas merupakan kondisi dilematis. Pimpro, bendahara, sampai pengguna anggaran pasti akan pusing menghadapi tuntutan penyelesaian pekerjaan dan kendala pendanaan. Bagaimana jika Anda menghadapi situasi seperti itu?Â
Kontradiksi keempat terkait permintaan uang Rp500 juta per bulan. Berita Acara Pemeriksaan Anang Achmad Latif terkait permintaan uang oleh JP beredar luas di dunia maya. Informasi tersebut selayaknya "bahan bakar" tambahan di tengah meningginya suhu politik.
Pakar pencucian uang dan ahli hukum laris-manis dimintai pendapat terkait aliran dana di atas. Istilah "follow the money" menjadi jargon sakti untuk menelusuri aliran dana dugaan korupsi proyek BTS ini. Â Bahkan beberapa pakar juga mengusulkan kemungkinan pembubaran suatu partai (tindak pidana korporasi) jika aliran dana tersebut terbukti menjadi sumber dana beberapa partai yang terlibat.
Sayangnya, pengalaman menunjukkan bahwa pengusutan aliran uang hasil korupsi sering terbentur keterbatasan informasi/alat bukti. Apalagi jika melibatkan transaksi antar negara-negara surga pajak dan penggunaan teknik canggih dalam memanfaatkan loop holes berbagai peraturan dan berbagai fasilitas yang disediakan negara-negara tertentu.
Ini seperti bau kentut, bisa dicium (diyakini keberadaannya), tapi sulit dibuktikan keberadaannya. Bagi penulis, hal ini tetap menjadi kontradiksi karena kemungkinan besar informasi terkait aliran dana ini akan menjadi anti klimaks, seperti kehebohan kasus e-KTP. Kalaupun ada aset yang berhasil disita, jumlahnya sangat kecil dan jauh dari angka triliunan. Mari kita lihat kebenaran prediksi saya ini. Â Â
Kontradiksi kelima terkait proses tender yang mengarahkan pemenang pada pihak tertentu (tidak terjadi persaingan sehat). Modus operandi seperti ini sudah menjadi "rahasia umum" di negeri ini. Keberadaannya tidak terlihat secara kasat mata, tapi tercium busuk seperti bau kentut. Oleh karena itu, rekayasa tender bersama suap-menyuap masih mendominasi sebagai modus operandi korupsi terbanyak. Bahkan tidak jarang, penunjukan pemenang tender terjadi sebelum penyusunan perencanaan anggaran terjadi.
Anang Achmad Latif (AAL), Dirut Bakti Kominfo, dibantu Galumbang dan Yohan mempunyai peran sangat besar dalam mengatur tender proyek BTS ini. Peran aktif AAL dalam rekayasa tender kemungkinan juga melibatkan pihak internal kominfo seperti kelompok kerja pemilihan yang bertugas melaksanakan persiapan dan pemilihan penyedia.
Sejauh ini memang masih belum jelas bagaimana hubungan antara AAL dan Kelompok Kerja Pemilihan dengan Menteri/PA dalam rekayasa tender ini. Seorang menteri kemungkinan besar tidak akan mencampuri proses tender secara detil, namun ada kemungkinan juga mereka dapat menyalahgunakan kewenangannya untuk mempengaruhi hasil tender. Â
Secara normatif, tugas dan kewenangan PA terbatas pada penetapan pemenang berdasarkan usulan kelompok kerja pemilihan dan pejabat di bawahnya. Dokumen tender kemungkinan dibuat sesuai dengan peraturan yang berlaku. Tanpa keterlibatan pejabat di bawahnya, keterlibatan seorang Menteri/PA relatif kecil kemungkinan terjadinya. Kontradiksi di sini terjadi ketika PA ditetapkan sebagai tersangka, terkait rekayasa tender, tanpa kejelasan status kelompok kerja pengadaan dan pejabat terkait lainnya yang mempunyai pengetahuan mendalam terkait persiapan dan pelaksanaan tender.
Kontradiksi keenam terkait kerugian keuangan negara. Berdasar hasil pemeriksaan (rutin) BPK, terdapat indikasi potensi pemborosan atas biaya dalam kontrak sebesar Rp 1,5 pada proyek BTS ini.
Sedangkan BPKP menyatakan terdapat kerugian negara proyek BTS ini sebesar Rp8.032.084.133.765,- (hampir 80% dari nilai proyek yang sudah dicairkan). Jika BPK berpendapat adanya potensi kerugian negara, maka BPKP berdasar Laporan Perhitungan Kerugian Negara, menyatakan kerugian negara tersebut sudah konkrit dan nyata. Kerugian negara sebesar 8 triliun rupiah tersebut terdiri dari 3 bagian besar, yaitu:
- biaya untuk kegiatan penyusunan kajian pendukung
- mark up harga, dan
- pembayaran BTS yang belum terbangun/dikerjakan.