Berdasar informasi terbatas di atas, kerugian negara versi BPKP tersebut berpotensi menjadi kontradiksi karena peluang untuk diperdebatkan sangat terbuka.
Poin a kemungkinan karena terdapat banyak kegiatan penyusunan kajian pendukung yang tidak relevan atau bahkan fiktif. Secara umum, banyak proyek yang mendapat "biaya titipan" seperti itu. Jika komponen biaya tersebut dibuka secara transparan atau "cetho welo-welo", niscaya akan menimbulkan kehebohan seperti misalnya kasus e-ktp. "Bumbu politik" berpotensi menimbulkan kontradiksi lebih hebat di tahun politik seperti saat ini. Â
Poin b terkait mark up harga yang menimbulkan kerugian negara berpotensi terjadi adu argumentasi yang keras di pengadilan. Menarik untuk mencermati perhitungan BPKP tersebut, mengingat sulitnya pembuktian mark up harga.
Untuk komponen harga barang umum (tidak spesifik) yang ada di dalam negeri, pembuktian mark up harga relatif lebih mudah. Sedangkan terkait komponen harga jasa/tenaga kerja relatif lebih sulit pembuktiannya karena harga pembandingnya punya rentang harga yang lebar. Pembuktian komponen harga barang dan jasa (spesifik) yang berasal dari luar negeri akan jauh lebih sulit. Untuk mendapatkan informasi dari pabrikan atau tenaga kerja luar negeri serta mencari pembanding yang "apple to apple" perlu usaha ekstra dan kadang perlu melibatkan pendekatan high level. Oleh karena itu, menarik untuk mencermati harga pembanding yang dipakai BPKP untuk membuktikan adanya mark up harga.
Poin c terkait pembayaran BTS yang belum dikerjakan. Kemungkinan BPKP menilai ada pekerjaan fiktif yang dibayarkan (100% merugikan negara). Untuk membahas poin c ini, kita dapat melihatnya pada pembahasan di atas terkait pencairan dana 100%, namun proyek belum selesai 100%.
Mengutip penjelasan Mahfud MD,"setelah diperiksa oleh BPKP melalui satelit, tower yang sudah terbangun sebesar 958 tower. Berdasarkan sampling sebanyak 8 tower, tidak ada tower yang berfungsi". Pemeriksaan lewat satelit tentu saja hanya dapat melihat tower yang sudah terbangun, sedangkan pembangunan tower yang masih dalam proses tidak akan terlihat. Perlu diingat bahwa proses pembangunan tower ini di tengah pandemic covid-19, sehingga pemeriksaan tidak dapat menggunakan asumsi normal. Demikian juga sampling sebanyak 8 tower (bukan populasi) tidak dapat menunjukkan kerugian negara yang konkrit dan pasti sebesar 8 triliun rupiah.
Poin c ini diprediksi juga akan terjadi adu argumentasi antara Jaksa Penuntut Umum dibantu Auditor/Ahli dengan terdakwa dibantu penasehat hukum/ahli terkait dasar hukum pencairan dana 100% atas proyek yang belum 100%. Kemungkinan besar terdakwa/penasehat hukum juga akan menyampaikan dilema pelaksana proyek menghadapi akhir tahun anggaran dan kendala pengerjaan di lapangan akibat covid 19. Kemampuan para pihak untuk meyakinkan hakim tergantung pada alat bukti dan argumentasi masing-masing pihak.
Demikianlah 6 kontradiksi yang dapat menjadi informasi pelengkap dan sekaligus sebagai informasi awal sebelum sidang di pengadilan tipikor berlangsung. Semoga sidang ini dapat disiarkan secara langsung, sehingga kita dapat melihat secara objektif penanganan kasus ini. Lihat juga pembahasan masalah ini pada video dengan judul: "Kontradiksi Dugaan Korupsi Johnny G. Plate". SHariadin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H