Mohon tunggu...
sharachma
sharachma Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Amikom Yogyakarta

Wanderlust in Wonderland

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Harapan Kartini bagi Puan Masa Depan

27 April 2021   02:25 Diperbarui: 27 April 2021   02:53 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Harapan kami : 

Tolonglah, bantulah kami agar usaha kami berguna bagi bangsa kami,
dan terutama bagi kaum perempuan bangsa itu.

Tolonglah kami untuk membebaskannya dari beban berat yang diletakkan di atas bahunya oleh adat lama turun temurun.
Tolonglah kami untuk menaikkan derajatnya, untuk menjadikan Perempuan dan Ibu sejati agar lebih siap menjalankan kewajiban yang besar. 

Kewajiban yang ditetapkan oleh ibu alam sendiri kepada perempuan yaitu : pendidik pertama umat manusia! . Bukan tanpa alasan, orang mengatakan : Kebaikan dan kejahatan diminum anak bersama air susu ibu.
Kami yakin, seyakin - yakinnya, bahwa pekerjaan yang mendatangkan banyak berkah itu tidak akan dapat maju dengan pesat, selama perempuan Jawa tidak mengambil bagian dalam pekerjaan peradaban, dalam Pendidikan bangsanya, betapa pun banyaknya orang-orang kulit yang berbudi luhur mencurahkan segala kasih sayang dan tenaganya terhadap pekerjaan itu..." - Surat Kartini kepada N.v.Z , dimuat dalam Kolonial Weekblad (Mingguan Kolonial), tertanggal 25 Desember 1902.

Hai, Selamat Hari Kartini bagi para puan milenial!

Memang peringatan Hari Kartini sudah lewat dari beberapa hari yang lalu, namun tetap tidak ada salahnya untuk tetap membahasnya hingga hari ini. Membaca kembali kisahnya, bagaimana sejarah Kartini yang gigih menyuarakan suara hatinya untuk memperjuangkan hak emansipasi wanita di Indonesia kala itu, sukses membuat saya terharu. Menurut saya, cukup pantas juga untuk kita memperingati hari kelahirannya sebagai Hari Nasional, mengingat karenanya juga kita bisa menikmati dan menjadi apa yang kita inginkan saat ini.

Meski banyak yang merasa bahwa perjuangan Kartini tak sebanding dengan perjuangan Cut Nyak Dien atau Martha Christina Tiahahu yang mengangkat senjata dan turun di medan perang, perjuangan Kartini memperjuangkan emansipasi memang layak untuk diapresiasi. 

Tanpa mengesampingkan para pahlawan wanita yang sangat keren, gigih dan tak kenal menyerah dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melalui berperang, perjuangan R.A. Kartini pada saat itu juga berat. 

Mengapa?

Karena bukan fisik dan raga yang harus dilawan, melainkan otak, pemikiran dan stereotype yang berkembang pada saat itu. Stereotype yang mengatakan bahwa wanita tak seharusnya bersekolah tinggi - tinggi, karena kodrat wanita itu hanya akan dinikahkan, lalu mengurus anak dan suaminya, sehingga percuma saja untuk bersekolah tinggi - tinggi. Kartini pun harus meredam pemikiran majunya mengenai nasib para perempuan jawa, dan hanya bisa menyalurkannya melalui surat yang dikirimkannya pada orang asing, yakni Stella Zeehandelaar (SZ) di awal usianya yang 20 tahun dengan harapan bahwa suratnya akan dibaca oleh dunia. 

Isi suratnya antara lain mengenai kondisi perempuan pribumi Jawa pada saat itu, betapa aturan adat Jawa saat itu cukup menghambat kemajuan kaum wanita. Meskipun R.A. Kartini sempat bersekolah hingga usia 12 tahun, dan setelah itu harus putus sekolah karena usianya sudah masuk usia yang dapat dipingit. 

R. A. Kartini memulai surat pertamanya dengan antusiasmenya mengenai topik dimulainya era modern kala itu, dimana para wanita dapat turut berkontribusi untuk bekerja seperti yang dilakukan laki - laki. Ia berfikir bagaimana pentingnya bila wanita dapat bekerja dan tak terikat aturan adat seperti dirinya kala itu. Titik inilah yang menjadi titik awalnya menuju gagasan mengemansipasi wanita Indonesia. 

"Kami, gadis - gadis Jawa, tidak boleh memiliki cita - cita, karena kami

hanya boleh mempunyai satu impian, dan itu adalah dipaksa untuk menikah,

hari ini atau esok, dengan pria yang dianggap patut, oleh orang tua kami."- R. A. Kartini kepada rosa manuela abandon, 9 agustus 1901.


Setelah suratnya yang pertama, Kartini pun lalu menulis surat - surat berikutnya. Kartini kerap membahas isu sosial yang dihadapi para perempuan Jawa macam dirinya, seperti bagaimana wanita Jawa harus hidup dalam tuntutan adat yang mengekang. Tidak boleh sekolah, tidak boleh bekerja, harus dipingit, dinikahkan dengan lelaki yang belum dikenalnya dan harus bersedia dipoligami.

Kartini memang tidak berperang dilapangan, selayaknya para pahlawan wanita kebanggaan bangsa. Kartini juga memang tidak mengangkat senjata dengan gagahnya seperti wanita - wanita lainnya. Kartini hanya berdiam, duduk dipingit dengan menyuratkan pena nya diatas kertas. Ia tidak berperang dilapangan, tetapi perangnya berlangsung didalam dirinya. Didalam hati dan otaknya. Di dalam lingkungannya dengan orang sekitarnya, serta dengan budayanya.

Tetapi pena dan suratan itulah yang mampu menjadi titik kebangkitan nasional bagi para wanita. Dalam setiap suratnya, beliau berperang, dengan emosi, dan pikirannya. Yang membangkitkan perasaan beliau untuk memperjuangkan pendidikan dan hak perempuan. Kartini menjelaskan mengenai perasaannya, dimana perasaan itu tak harus diratapi. Perasaan itu harus dilawan, dibuktikan dengan perbuatan. 

Senjatanya bukanlah pistol, bambu atau pisau. Senjatanya adalah kertas dan pena yang tajam, setajam perasaan dan tekatnya untuk para puan sebangsanya. Emosi dan perasaannya adalah senjatanya, yang membangkitkan jiwa aktivis dan penggerak emansipasi wanita. Kartini membuktikan, bahwa pena mampu menjadi senjata yang sama tajamnya dengan belati dan bambu runcing, melalui suratnya yang menggugah hati pembacanya. Meskipun perjuangannya tak sampai menyaksikan kemajuan dalam emansipasi wanita, perjuangannyalah yang menjadi batu pijakan dari semangat kebangkitan nasional. Yang membuka mata dan pikiran bangsa Indonesia akan hak dan kewajiban yang kita miliki.

Kartini, sebagai perempuan Jawa, tak menentang kodratnya sebagai wanita. Ia tetap perempuan Jawa, yang mengikuti aturan adatnya, tetapi tahu mana yang baik dan harus diikuti, dan mana yang merugikan, dan harus diubah.

Kartini tak membenci, baik suami maupun ayahnya. Meskipun ayahnya sempat menentang keinginannya untuk melanjutkan Studi di Betawi. Ayah dan suaminya pun pada akhirnya mendukung apa yang dicita - citakannya. Hingga Kartini akhirnya membuka Sekolah Wanita di timur pintu gerbang Komplek Kantor Kabupaten Rembang.

Hal ini menunjukkan, bahwa sebagai kaum yang dicap sebagai pelopor gerakan Feminis di Indonesia, Kartini bukan menyuarakan kebenciannya melawan laki - laki. Kartini bukan menyuarakan kebenciannya kepada budaya dan adat. Tetapi Kartini menyuarakan mengenai hak - hak yang seharusnya dapat dinikmati dan dirasakan, baik oleh pria maupun wanita. Kartini menyuarakan bahwa tak hanya pria saja yang boleh bekerja dan menuntut ilmu seperti apa yang ia inginkan. Wanita, yang sering dianggap remeh, pun bisa menuntut ilmu sebaik yang pria lakukan. Wanita pun berhak, memilih untuk bekerja sebagai apa, dan menjadi apa yang dia inginkan tanpa harus diatur adat yang menghambatnya berkembang. Beliau tidak berpikir bahwa kaum wanita lebih baik daripada kaum pria. Tetapi beliau berpikir, bahwa hak dan derajat wanita dan pria adalah sama. Sebagaimana manusia pun berkedudukan sama di mata Tuhan.

Pria memang diciptakan sebagai imam dan pemimpin bagi keluarga. Pun R.A. Kartini tahu betul, beliau tidak pernah menentang maupun melawan ayahnya dan suaminya. Tetapi Kartini, sebagai wanita, memiliki hak untuk bersuara dan menyampaikan gagasannya. Ia berhak menyuarakan isi hati dan pikirannya, keinginan dan harapannya kepada pemimpin keluarga. Suara hati dan pikirannyalah pada akhirnya yang membuka hati ayahnya pula. 

R.A. Kartini mengajarkan kita, para Kartini masa depan, akan pentingnya memiliki kepekaan terhadap lingkungan sosial. Akan pentingnya mengambil tindakan akan suatu hal, seperti halnya Kartini yang menulis surat berisi pemikirannya kepada temannya, yang akhirnya menjadi awal dari dimulainya gerakan emansipasi wanita. Sebuah tindakan kecil dan sederhana, tetapi dapat merubah seluruh bangsa Indonesia. 

Kalau kita lihat, apakah perjuangan Kartini telah selesai? Jawabannya tentu belum. Tapi masih banyak, Kartini - Kartini masa depan yang akan gigih memperjuangkan hak dan derajat wanita, agar dipandang dan diperlakukan layak sebagaimana laki - laki. 

55 tahun setelah hari Kartini ditetapkan, kini banyak Kartini - Kartini baru yang bermunculan dari bumi pertiwi ini. Para Kartini yang memiliki pemikiran maju, serta harapan yang membumbung tinggi dalam benak mereka. Para puan, yang menunjukkan bahwa wanita tak hanya bisa duduk dirumah dan mengurus anak suaminya, tetapi puan yang dapat melakukan, baik mengurus suami dan anak, serta berkarier sekaligus. Para wanita hebat yang dapat bersinar di bidang - bidang yang diinginkannya. 

Kini, tak hanya Kartini. Banyak tokoh - tokoh wanita hebat bermunculan, 55 tahun selepas hari Kartini ditetapkan. Ada Megawati, Presiden Wanita Pertama di Indonesia. Ada Sri Mulyani, Menteri Keuangan RI yang pernah menjabat sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia selama 6 tahun. Ada juga Najwa Shihab, sosok Jurnalis dan Presenter yang berpikiran tajam dalam mewawancarai para pejabat negara, serta berani menyampaikan kritik pedas untuk pemerintah. Selain mereka, masih banyak lagi para kartini yang bersinar di bidang mereka masing - masing, baik musik, politik, pendidikan dan lain sebagainya.

Meskipun perjalanan kita, para Kartini muda Indonesia, masih cukup jauh untuk mencapai kesetaraan perlakuan dengan para pria, dan masih cukup jauh juga untuk mendapatkan penghargaan tanpa embel - embel 'Ya nggak heran, dia cewek', atau yang lainnya. Dengan banyaknya kartini - kartini muda yang kini semakin bersinar di bidangnya, dan gigih menyuarakan bahwa laki - laki dan perempuan dapat setara dalam berbagai hal, sepertinya cita - cita Kartini perlahan akan dapat terwujudkan. Apalagi bila sebagai sesama wanita, kita dapat saling mensupport tanpa menjatuhkan, maka tujuan kita akan cepat tercapai pastinya. Karena menuju dunia yang adil baik bagi wanita dan pria, bukan tanggung jawab satu dua orang saja, tetapi kita semua juga. 

Yang terpenting, jangan takut untuk berharap dan mencoba. Karena, perjuangan awal Kartini juga berasal dari harapannya akan wanita yang dapat berperan dalam dunia modern, dan langkahnya dalam menulis surat yang menyuarakan isi hatinya, hingga terbitlah 'Habis Gelap terbitlah Terang'. 

Jadi, langkah apa yang sudah kamu ambil untuk menggapai apa yang kamu inginkan? Atau, sudahkah kamu berpikir, mau jadi apa kamu untuk bangsamu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun