Mohon tunggu...
sharachma
sharachma Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Amikom Yogyakarta

Wanderlust in Wonderland

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Harapan Kartini bagi Puan Masa Depan

27 April 2021   02:25 Diperbarui: 27 April 2021   02:53 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Isi suratnya antara lain mengenai kondisi perempuan pribumi Jawa pada saat itu, betapa aturan adat Jawa saat itu cukup menghambat kemajuan kaum wanita. Meskipun R.A. Kartini sempat bersekolah hingga usia 12 tahun, dan setelah itu harus putus sekolah karena usianya sudah masuk usia yang dapat dipingit. 

R. A. Kartini memulai surat pertamanya dengan antusiasmenya mengenai topik dimulainya era modern kala itu, dimana para wanita dapat turut berkontribusi untuk bekerja seperti yang dilakukan laki - laki. Ia berfikir bagaimana pentingnya bila wanita dapat bekerja dan tak terikat aturan adat seperti dirinya kala itu. Titik inilah yang menjadi titik awalnya menuju gagasan mengemansipasi wanita Indonesia. 

"Kami, gadis - gadis Jawa, tidak boleh memiliki cita - cita, karena kami

hanya boleh mempunyai satu impian, dan itu adalah dipaksa untuk menikah,

hari ini atau esok, dengan pria yang dianggap patut, oleh orang tua kami."- R. A. Kartini kepada rosa manuela abandon, 9 agustus 1901.


Setelah suratnya yang pertama, Kartini pun lalu menulis surat - surat berikutnya. Kartini kerap membahas isu sosial yang dihadapi para perempuan Jawa macam dirinya, seperti bagaimana wanita Jawa harus hidup dalam tuntutan adat yang mengekang. Tidak boleh sekolah, tidak boleh bekerja, harus dipingit, dinikahkan dengan lelaki yang belum dikenalnya dan harus bersedia dipoligami.

Kartini memang tidak berperang dilapangan, selayaknya para pahlawan wanita kebanggaan bangsa. Kartini juga memang tidak mengangkat senjata dengan gagahnya seperti wanita - wanita lainnya. Kartini hanya berdiam, duduk dipingit dengan menyuratkan pena nya diatas kertas. Ia tidak berperang dilapangan, tetapi perangnya berlangsung didalam dirinya. Didalam hati dan otaknya. Di dalam lingkungannya dengan orang sekitarnya, serta dengan budayanya.

Tetapi pena dan suratan itulah yang mampu menjadi titik kebangkitan nasional bagi para wanita. Dalam setiap suratnya, beliau berperang, dengan emosi, dan pikirannya. Yang membangkitkan perasaan beliau untuk memperjuangkan pendidikan dan hak perempuan. Kartini menjelaskan mengenai perasaannya, dimana perasaan itu tak harus diratapi. Perasaan itu harus dilawan, dibuktikan dengan perbuatan. 

Senjatanya bukanlah pistol, bambu atau pisau. Senjatanya adalah kertas dan pena yang tajam, setajam perasaan dan tekatnya untuk para puan sebangsanya. Emosi dan perasaannya adalah senjatanya, yang membangkitkan jiwa aktivis dan penggerak emansipasi wanita. Kartini membuktikan, bahwa pena mampu menjadi senjata yang sama tajamnya dengan belati dan bambu runcing, melalui suratnya yang menggugah hati pembacanya. Meskipun perjuangannya tak sampai menyaksikan kemajuan dalam emansipasi wanita, perjuangannyalah yang menjadi batu pijakan dari semangat kebangkitan nasional. Yang membuka mata dan pikiran bangsa Indonesia akan hak dan kewajiban yang kita miliki.

Kartini, sebagai perempuan Jawa, tak menentang kodratnya sebagai wanita. Ia tetap perempuan Jawa, yang mengikuti aturan adatnya, tetapi tahu mana yang baik dan harus diikuti, dan mana yang merugikan, dan harus diubah.

Kartini tak membenci, baik suami maupun ayahnya. Meskipun ayahnya sempat menentang keinginannya untuk melanjutkan Studi di Betawi. Ayah dan suaminya pun pada akhirnya mendukung apa yang dicita - citakannya. Hingga Kartini akhirnya membuka Sekolah Wanita di timur pintu gerbang Komplek Kantor Kabupaten Rembang.

Hal ini menunjukkan, bahwa sebagai kaum yang dicap sebagai pelopor gerakan Feminis di Indonesia, Kartini bukan menyuarakan kebenciannya melawan laki - laki. Kartini bukan menyuarakan kebenciannya kepada budaya dan adat. Tetapi Kartini menyuarakan mengenai hak - hak yang seharusnya dapat dinikmati dan dirasakan, baik oleh pria maupun wanita. Kartini menyuarakan bahwa tak hanya pria saja yang boleh bekerja dan menuntut ilmu seperti apa yang ia inginkan. Wanita, yang sering dianggap remeh, pun bisa menuntut ilmu sebaik yang pria lakukan. Wanita pun berhak, memilih untuk bekerja sebagai apa, dan menjadi apa yang dia inginkan tanpa harus diatur adat yang menghambatnya berkembang. Beliau tidak berpikir bahwa kaum wanita lebih baik daripada kaum pria. Tetapi beliau berpikir, bahwa hak dan derajat wanita dan pria adalah sama. Sebagaimana manusia pun berkedudukan sama di mata Tuhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun