Part - 40
Kalau jebakan itu kandas, segera terapkan strategi berikutnya. Jebak mereka melalui perbuatan-perbuatan dosa besar. Seret mereka keperbuatan zina, manipulasi, korupsi, menindas orang lain atau durhaka kepada kedua orangtuanya. Jadikan zina sebagai mode pergaulan masyarakat masa kini. Ubah persepsi manipulasi atau korupsi sebagai sebuah ketrampilan dan poles perbuatan mereka dengan kegiatan-kegiatan amal membantu rakyat kecil. Untuk menyeret mereka harus melalui sentuhan-sentuhan kecil dahulu. Korupsi di mulai dari upeti, komisi, sampai kablinger kepada pemalsuan anggaran.
Andaikata cara-cara diatas masih gagal. Begini saja : tawari mereka perbuatan-perbuatan dosa kecil. Berbuat salah atau dosa kecil itu manusiawi. Dan tanamkan juga, bukankah Tuhan itu Maha Penyayang dan Pengampun ? Lupakanlah mereka bahwa dosa-dosa kecil itu akan menjadi besar apabila orang menghimpunnya. Toh aku tahu, dosa yang paling besar di hadapan Tuhan adalah dosa  yang di anggap kecil oleh pelakunya.
Okey, katakan saja cara itu juga masih gagal. Sibukkan manusia dengan perbuatan-perbuatan mubah saja, sehingga mereka lalai mengerjakan yang wajib. Misalnya, sebagai pegawai sibukkan bersenam pagi, sehingga mereka melalaikan pelayanan terhadap masyarakat. Ibu-ibu terhormat aktif dipelbagaii kegiatan di luar rumah, sehingga keluarganya morat-marit.
Namun, ada yang lebih canggih lagi. Cara keenam. Apabila manusianya tidak bisa di palingkan dari ibadat-ibadat utama, lupakan mereka dari ibadat yang lebih utama. Ini strategi canggih untuk kalangan pilihan. Sibukkan para rohaniawan dengan ibadat dan memisahkan diri dari masyarakat, sehingga kondisi masyarakat menjadi terbengkalai.
Fitnah, caci maki, provokasi etc
Cara pemungkas adalah khusus untuk orang khusus bin khusus. Apabila segala macam cara sudah gagal semua dan orang tersebut masih gigih juga beramal baik. Serbu saja dia dengan badai fitnah, caci maki, dan di goda dengan segala macam gangguan. Nodai keberhasilannya dengan berbagai isu skandal. Sebut ajarannya dusta semata, meresahkan masyarakat dan subversive. Di jamin KO. He he he.
Kalau masih gagal juga, pergi saja ke dukun atau  paranormal. Eh, mereka toh masih cecungukku sendiri menuju kekufuran. Sorry!
Tiba-tiba aku terlonjak kaget!. Lamunan menjadi berantakan. Tanpa diketuk lebih dahulu, sekonyong-konyong muncul Morgin di mulut pintu ruang perpustakaan itu. Kampret!
"Ada apa, Morgin ?" teriakku mencoba menahan kemarahan.
"Ada yang menjemputmu, Bos!"
Dadaku berdegup kencang. Ada debar-debar aneh menyerbu perasaaan. Pertanyaan lama kembali terulang : "Apa keuntunganku dalam suasana anarkis yang bakal ku ciptakan itu?" Akh, mengapa aku harus berkutat dengan pertanyaan klasik itu. Masa depan adalah rahasia penciptaan. Aku tak tahu sama sekali apa yang bakal terjadi di kemudian hari. Andaikan ada yang bisa meramalkan masa depan, itu pun hanya sekelumit rahasia langit yang berhasil di curi anak-anak cucuku. Di mana keshahihan atau validitasnya sangat rapuh sekali. Informasi langit itulah yang kemudian di bagikan anak-anak cucuku kepada manusia-manusia kablinger seperti dukun, paranormal, dan rohaniawan gadungan.
"Bos,''tegur Morgin melihatku tetap termangu-mangu, ''apa Bos mau menemui orang itu?"
"Oh ya, sebentar akan kutemui!"
"Apa Bos perlu aku temani?"
"Temani saja Babu di belakang itu !"
Morgin nyengir. Merasa rahasianya di bongkar begitu saja olehku. Namun sama sekali tak ada rasa malu tergurat di wajahnya. Sialan betul manusia satu ini, sungguh tak tahu malu.
Tak lama kemudian, aku menemui orang itu. Tanpa basa-basi ia memberi isyarat dengan kepala mengajak segera berangkat. Di luar kiranya sudah menunggu dua mobil sedan. Satu hitam dan satunya berwarna abu-abu. Aku dipersilakan menaiki yang berwarna hitam.
Jalannya kendaraan itu seperti di buru-buru waktu. Cepat dan cekatan. Sepertinya kedua sopirnya memang orang-orang pilihan. Aku tak tahu kemana tujuan sebenarnya. Mereka membawaku seolah-olah berputar-putar kota, bahkan sepertinya mereka melalui jalan yang sama sampai beberapa kali. Setelah beberapa lamanya, kedua mobil itu melesat ke ruas jalan yang sepi.
The old Wharehouse
Aku mulai merasakan suasana lengang. Sepi dan nyaris mati. Benar juga. Di depan ada sebuah bangunan besar. Itulah gudang yang barangkali dimaksudkan dalam surat itu.
Sebelum mencapai gudang, pintu terkuak dengan sendirinya. Sepertinya kedatanganku sudah di ketahui sebelumnya. Kini aku yakin, di antara kegelapan dan kesepian itu pasti berpuluh-puluh mata melolot mengawasiku.
Mobil yang berwarna abu-abu berhenti di halaman. Sedangkan yang kutumpangi langsung nyelonong keruangan dalam gudang yang ternyata sangat luas. Mobil berhenti di tengah-tangah ruangan.
Ketika pintu dibuka, seketika juga aku melompat keluar. Ingin segera mengetahui siapa sebenarnya cecunguk yang jadi dalang semuanya itu. Namun tak ada yang menampakkan diri, kecuali sopir tadi.
Mobil hitam itu keluar. Meninggalkan aku seorang diri. Akh, rupanya pimpinan mereka  hanya manu bertemu empat mata. Karena tak seorangpun begundalnya di tempatkan di sekitar tempat itu.
"Selamat malam, Zalbak!"
Aku mendongak keatas. Sebuah derekan tutup turun pelan-pelan. Di dalam kerangkeng derekan itu, remang-remang kulihat seseorang. Akh, barangkali tak salah dugaanku sekarang inilah orang yang sedang kutunggu-tunggu batang hidungnya.
Kerangkeng besi itu mendarat dan orang tinggi besar itu langsung menghampiriku. Seperti layaknya seorang pimpinan, ia langsung menyalami sambil menepuk-nepuk bahuku. Aku tersenyum pura-pura senang sembari mataku mengawasi sosok manusia yang sedang kuhadapi ini. Instingku memberitahukan bahwa kunyuk ini bukan orang yang sebenarnya ingin kutemui. Sialan, aku hanya berjumpa dengan begundalnya saja. Seandainya tak ada tujuan yang lebih jauh, ingin rasanya langsung kulumat.
"Zalbak,'' katanya dengan suara berat, "kau segera melakukan tindakan!"
Aku diam. Hatiku geram. Berani-beraninya kunyuk ini memberi perintah, apalagi ia hanya seorang begundal saja.
"Mengapa kau diam, Zalbak?"
"Hm. Aku tak mau diperintah kecuali oleh Jenderal sendiri!" jawabku tegas dan ketus.
"Apa?"
"Bukankah sudah kukatakan maksud tadi!"
Tiba-tiba orang tinggi besar itu menyambar kerah jaketku. Bibirnya tampak gemetar. Napasnya tersengal. Matanya merah menyala. Jelas ia menahan kemarahan yang luar biasa.
"Sejak kapan kau banyak tingkah, Buduk!" hardiknya kepadaku. "Selama ini Jenderal selalu memberi perintah lewat aku. Mengapa baru sekarang kau bertingkah macam-macam, heh?"
Kemudian ia mendorongku dengan kekesalan yang tetap luar biasa. Aku yakin, barangkali baru kali ini ia merasa di sepelekan orang. Aku nyengir. Diam-diam aku mulai dapat mereka-reka peranan Zalbak yang sesungguhnya. Kiranya selama ini, Zalbak tak pernah berhubungan langsung dengan Sang Jenderal.
'' karya Herly Sauri " ...... To be continued - part 41 ......
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H