Sebelum mencapai gudang, pintu terkuak dengan sendirinya. Sepertinya kedatanganku sudah di ketahui sebelumnya. Kini aku yakin, di antara kegelapan dan kesepian itu pasti berpuluh-puluh mata melolot mengawasiku.
Mobil yang berwarna abu-abu berhenti di halaman. Sedangkan yang kutumpangi langsung nyelonong keruangan dalam gudang yang ternyata sangat luas. Mobil berhenti di tengah-tangah ruangan.
Ketika pintu dibuka, seketika juga aku melompat keluar. Ingin segera mengetahui siapa sebenarnya cecunguk yang jadi dalang semuanya itu. Namun tak ada yang menampakkan diri, kecuali sopir tadi.
Mobil hitam itu keluar. Meninggalkan aku seorang diri. Akh, rupanya pimpinan mereka  hanya manu bertemu empat mata. Karena tak seorangpun begundalnya di tempatkan di sekitar tempat itu.
"Selamat malam, Zalbak!"
Aku mendongak keatas. Sebuah derekan tutup turun pelan-pelan. Di dalam kerangkeng derekan itu, remang-remang kulihat seseorang. Akh, barangkali tak salah dugaanku sekarang inilah orang yang sedang kutunggu-tunggu batang hidungnya.
Kerangkeng besi itu mendarat dan orang tinggi besar itu langsung menghampiriku. Seperti layaknya seorang pimpinan, ia langsung menyalami sambil menepuk-nepuk bahuku. Aku tersenyum pura-pura senang sembari mataku mengawasi sosok manusia yang sedang kuhadapi ini. Instingku memberitahukan bahwa kunyuk ini bukan orang yang sebenarnya ingin kutemui. Sialan, aku hanya berjumpa dengan begundalnya saja. Seandainya tak ada tujuan yang lebih jauh, ingin rasanya langsung kulumat.
"Zalbak,'' katanya dengan suara berat, "kau segera melakukan tindakan!"
Aku diam. Hatiku geram. Berani-beraninya kunyuk ini memberi perintah, apalagi ia hanya seorang begundal saja.
"Mengapa kau diam, Zalbak?"
"Hm. Aku tak mau diperintah kecuali oleh Jenderal sendiri!" jawabku tegas dan ketus.