Mohon tunggu...
Shanti Agustiani
Shanti Agustiani Mohon Tunggu... Guru - Konselor, Penulis

Hobi saya membaca, menulis, traveling dan menyanyi. Just ordinary woman, mencintai seni dan anak-anak, setia pada kejujuran dan keindahan, berusaha selaras dengan alam dan tujuan penciptaan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mendulang Air Mata

12 Mei 2023   08:31 Diperbarui: 12 Mei 2023   08:58 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Katrina, sudah sering nama itu merasuk ke dalam bara aksara yang dirangkai Ai Nin.  Kalau tidak bertemu dia, Ai Nin tentu tidak menulis buku demi buku seperti keranjingan, tanpa mengenal lelah atau menyerah pada kebuntuan ide.

"Sudah larut malam. Besok kan kamu kerja, tidurlah dulu."

Dentang jam dinding memang telah bebunyi dua belas kali.  Bang Oscar, suami Ai Nin, mengingatkan istrinya.

"Aku ada target menyelesaikan naskah ini sebelum deadline, Bang."

"Kesehatanmu lebih penting ..."

"Ehm.., iya sebentar lagi." Sahut Ai Nin sembari menyunggingkan senyum yang ditarik kuat-kuat dari sisa kantuknya. "Katrina yang memiliki penyakit berat saja tak pernah menyerah menuntaskan karya, masa aku yang sehat kalah!"

***

Pada saat launching perdana novel Ai Nin, berjudul "Melarung Asa", Katrina hadir memberi ucapan selamat. Ia tampak sehat meski wajahnya lesi pucat. Dengan busana casual, jeans dan tunik broken white, berfoto dengan Ai Nin yang mengenakan long dress batik tulis merah sambil memegang novel dengan hard cover biru laut. Novel itu bergambar nelayan tua yang sedang menaburkan jala di atas perahu cokelat.

Katrina, gadis sebatang kara itu masih bisa mengendarai sedan Accord Cielo peninggalan ayahnya, meskipun radang selaput otak yang dia derita bisa sewaktu-waktu kambuh menyerangnya. Ia saat ini hanya mengandalkan penghasilan dari menulis dan mengelola sebuah penerbitan. Ai Nin menitikkan air mata dan memeluk gadis itu erat-erat. Dalam hati ia berjanji untuk menjadikan persahabatan ini menjadi temali yang menguatkan satu sama lain.

"Seharusnya kau tak perlu susah payah menghadiri acara ini."

"Don't worry ... penyakitku hanya kambuh saat mengurus pajak.  Kalau menghadiri acara seelegan ini amanlah...!" Tukasnya dengan derai tawa dan lekuk lesung pipinya yang begitu dalam. Sembari menyalami para tamu undangan yang satu per satu pamit pulang, mereka akhirnya duduk santai dengan hidangan cappuccino dan kue amparan tatak khas Kalimantan Timur.

"Pinjami aku dua puluh lima juta. Aku harus operasi minggu depan." Katrina menghela napas seolah-olah berat mengucapkan hal itu.

"What? Operasi apa?"

"Ada semacam tumor di belakang kepala ini."

"BPJS gak menanggung?"

"Ada yang ditanggung, ada pula yang tidak ditanggung. Pun beban biaya perbaikan mesin cetak ternyata di luar dugaan."

"I see."

"Sebenarnya aku malu merepotkanmu."

Ai Nin merangkul pundak Katrina dan menyatakan bahwa ia bersedia menjadi payung bagi hujan badai yang dialaminya. 

Ai Nin bahkan lupa berdiskusi dengan Oscar sehingga ketika uang itu terpakai selama berbulan-bulan, Oscar menyadari bahwa tabungan istrinya berkurang ketika lelaki itu mengecek rekening Ai Nin. Mereka akan ke Singapore untuk program bayi tabung setelah berbagai usaha terapi belum menampakkan hasil di tahun ke lima pernikahan.

"Ai, tabungan kamu ke mana?"

"Oh..,  ehm .... Maaf, Bang! Aku belum ngomong sama kamu. Tabungan itu masih dipakai Katrina."

Gigi Oscar gemeretak, selama ini mereka sepakat tabungan untuk persiapan kehamilan dan kelahiran akan disimpan Ai Nin meskipun itu hasil usaha bersama. Tapi Ai Nin telah seenaknya saja memakai tabungan keluarga untuk menolong Katrina.

Ai Nin merasa bersalah dan mencoba membujuk suaminya, Tadinya ia yakin Katrina hanya meminjam satu bulan seperti janjinya, nyatanya hingga berbulan-bulan kemudian janji itu tak kunjung dipenuhi. Sementara rumah tangga Ai Nin dengan Oscar semakin memanas, Oscar mulai sering marah-marah kepada Ai Nin dan tak lagi mempercayai istrinya memegang keuangan atau tabungan bersama.

Ai Nin bukannya tidak berusaha menagih, tetapi Katrina selalu bisa mengelak dari tagihan dan kemarahan Ai Nin.  Bulan lalu ia bilang mobinya kecelakaan dan kakinya harus diamputasi, ketika Ai Nin mencoba menengok, Katrina melarang untuk bertemu dengan alasan malu dan sangat sakit.

Saking putus asanya pada beban hidup, Katrina menceritakan lewat pesan WhatsApp bahwa ia seringkali membentur-benturkan kepalanya ke dinding kamar, membuat Ai Nin merasa sangat sedih dan ikut depresi. Terlebih Oscar sudah tidak bisa lagi menjadi sandaran curahan hati, lelakinya itu kini lebih sering marah-marah dan menghabiskan waktu luang di luar rumah.

Hingga suatu hari Oscar menelepon Ai Nin bahwa ia telah berhasil menghamili seorang perempuan tanpa harus terapi ke luar negeri, perempuan malam yang tentunya menemani Oscar selama bulan-bulan panas ini.

"Aku akan menikahinya, Ai Nin."

"Kalau begitu kau harus menceraikan aku lebih dulu."

"Bagaimana dengan harta gono-gini?"

"Akan kita bagi, termasuk uang dua puluh lima juta itu, akan kukembalikan untuk biaya pernikahan kalian."

Oscar pamit, membawa pakaian dengan satu tas ransel abu-abu yang dulu sering dibawanya mendaki gunung, memetik Edelweiss dan menyerahkan bunga lambang cinta abadi itu untuk Ai Nin.

Ai Nin menatap punggung lelaki itu dengan sisa-sisa air mata. Ia bertekad mengurangi biaya listrik dan makan siangnya agar bisa mengembalikan uang Oscar. Rumah bersama juga akan dijual dan uangnya dibagi dua. Tak ada lagi sisa-sisa cinta yang bisa dikais untuk merekatkan dua jiwa.

 

***

Sementara di ujung sana ada status whatsapp yang tak bisa tampak oleh Ai Nin karena pembatasan privasi, yakni foto Katrina yang sedang mengendarai nissan keluaran terbaru, make up-nya merona, kacamatanya hitam mengkilap dan kakinya masih dua jenjang, tak buntung walau seujung kuku pun. Di sebelahnya ada lelaki berkumis tebal dan tampaknya juga berkantung tebal. 

Katrina melupakan utangnya, ia juga lupa penyakitnya. Terlebih ia melupakan sahabatnya, Ai Nin yang telah menyediakan diri menjadi payung di masa hujan badai, sedangkan tubuh ringkihnya sendiri telah puas oleh basah dan sakit.

Ai Nin akhirnya berusaha melupakan Katrina dan Oscar di tahun berikutnya. Ia masih bersabar menunggu giliran rejeki dan kesukaan dunia.  Ketika Katrina di ujung telepon berteriak tentang kebakaran di rumahnya, Ai Nin masih mendulang air mata untuk sahabatnya itu.

"Tapi maaf Katrina, aku sudah tak memiliki apa-apa. Payungku sudah bocor di sana-sini."

"Kali ini aku hanya pinjam satu juta. Masa tidak ada, Dear? Novel kamu akan aku pajang di pameran."

Ai Nin meletakkan teleponnya tanpa jawaban. Hening itu kini dibutuhkannya.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun