Mohon tunggu...
Shanti Agustiani
Shanti Agustiani Mohon Tunggu... Guru - Konselor, Penulis

Hobi saya membaca, menulis, traveling dan menyanyi. Just ordinary woman, mencintai seni dan anak-anak, setia pada kejujuran dan keindahan, berusaha selaras dengan alam dan tujuan penciptaan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Payung Merah Mayleen

10 Mei 2023   10:05 Diperbarui: 13 Mei 2023   00:15 489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: perempuan dengan payung  merahnya. (sumber: pxhere.com)

Nun di sebuah dusun, ada seorang penari keturunan Tiongkok yang selalu mengenakan qipao1 merah di bawah cahaya purnama dan meliukkan badannya dengan kipas kertas bertuliskan aksara Han. Mayleen namanya.

 “Yeay, Mayleen!” seru penduduk dusun tatkala seruling bambu Pa Hong Li telah memesrai gelombang udara. Dengan bantuan mikrofon seadanya, nada-nada suara dari seruling itu mulai melenakan telinga. 

Mayleen mulai melentikkan jemari, dan membawa payung kertas merahnya sambil berlenggang.  Disambut riuh tepuk tangan penduduk dusun yang menonton sambil bersila di atas tikar anyaman, termasuk seseorang yang sedang bersembuyi di balik hutan bambu, tepuk tangan dan decak kagumnya lirih.  

***

Suatu malam Mayleen berdiam sejenak di bawah cahaya rembulan. Sementara penduduk dan Pa Hong Li kembali ke rumah masing-masing untuk beristirahat.

“Kenapa May, belum mengantuk?”

“Belum Pa. Bulan kali ini lebih terang dari biasanya, seolah Ma memeluk hidupku dalam kehangatannya. Pulanglah lebih dulu, aku masih ingin mandi cahaya.”

Pa Hong Li hanya mengangguk, ia masih mengingat bagaimana ia menyelamatkan putrinya sementara istrinya telah tewas di tangan perampok rakyat jelata karena mempertahankan hasil panen agar tak disita. 

Dengan sekuat tenaga Pa menggendong Mayleen yang saat kejadian itu berusia sepuluh tahun sampai menemukan tumpangan kapal nelayan yang dibayarnya dengan sisa-sisa harta yang masih bisa dibawa. Kapal nelayan itulah yang membawa mereka ke Dusun Rembulan.

“Hai, apakah kau yang bernama Mayleen?”

Mayleen terkesiap oleh bisikan yang tiba-tiba terdengar di telinganya dari arah belakang. Ia berbalik mencari sumber suara.

“Ohh … ii … iya benar. Aku Mayleen. K … kau siapa? Ada apa?”

“Aku … Namaku Rakai Rajita. Anak paraji yang diusir dari dusun ini. “          

“Rakai Rajita? Anak paraji?”

Rakai Rajita duduk di sebelah Mayleen, di atas batu hitam di bawah siraman cahaya yang semakin benderang. 

Pemuda yang diam-diam menonton pertunjukan tari Mayleen itu menceritakan kronologi pengusiran ibunya yang membuatnya mendendam pada penduduk Dusun Rembulan, terkecuali Mayleen dan Pa Hong Li karena mereka penduduk baru yang tak tahu apa-apa.

“Bayangkan, betapa susahnya ibuku menolong orang-orang yang melahirkan sementara tenaga kesehatan dan bidan tak dapat ditemui di dusun ini.  Manakala ada tiga kali kejadian tragis ibuku malah dituduh sebagai wanita jadi-jadian pemakan darah bayi-bayi yang meninggal atau ibu hamil yang keguguran. Lalu ibu diusir dengan lemparan batu ketika menantu kepala dusun meninggal karena pendarahan.”

“Aku memahami.” ucap Mayleen bersimpati.

Rakai Rajita menghela napas lega. Sudah sekian lama ia bersembunyi di pulau seberang, yang hampir-hampir tanpa penghuni. Kini ada Mayleen yang serupa tetes embun. 

Tadinya Rakai Rajita datang diam-diam ke Dusun Rembulan untuk mencari kesempatan balas dendam tapi yang ditemuinya adalah penawar hati yang menenggelamkannya dalam lembah damai tanpa tepi.

Jadilah dua anak manusia itu bersahabat dan sering diam-diam berjanji temu untuk menceritakan segala resah dan harapan.

Tak ada yang tahu sampai Kepala Dusun memerintahkan beberapa penduduk berkeliling memeriksa keadaaan dusun di malam hari karena ternak mereka ada yang dicuri.

“Apa-apaan ini, beraninya kamu ke sini?” tanya salah satu petugas ronda yang mengejutkan tawa dan canda Rakai Rajita dengan Mayleen.

“Tolong Paman, jangan ganggu dia. Rakai sahabatku.” pinta Mayleen terkesiap dan menghalangi petugas yang hendak memukul Rakai Rajita.

“Mayleen, kamu jangan ikut campur. Ibunya membunuh bayi-bayi dan menantu kepala dusun. Kamu mau membela anak pembunuh?”

“Berapa bayi yang ia selamatkan dan masih sehat sampai saat ini? Berapa ibu yang ia tolong dan baik-baik saja sehingga kini?” Mayleen menyelidik dengan suara meninggi.

“Ratusan, bahkan istrimu menggenapi keberhasilannya sebagai paraji!” Rakai Rajita menimpali.

“Tapi menantu kepala dusun meninggal setelah dibawa ke praktik ibunya.”

“Lantas kalian semua mengira ia pembunuh? Coba cek ke rumah sakit ternama, adakah pasien meninggal dunia di sana? Jika kau menemukan maka saya yakin petugas kesehatan itu hanya manusia biasa. Ibu paraji juga. Ia bahkan tak memiliki alat yang memadai mengatasi pendarahan dan keguguran, teganya kalian menuduhnya sengaja membunuh bayi dan ibu hamil. Sementara jasanya selama ini tak terhitung lagi!”

Terkejutlah para petugas ronda dan beberapa penduduk yang terbangun oleh keributan di malam hari. Selama ini para penduduk dusun hanya mendengar tutur halus Mayleen, tak pernah ia berbicara sekeras ini demi membela dukun paraji dan Rakai Rajita.

Rakai Rajita akhirnya mengalah, ia meminta Mayleen diam dan tak membantah lagi.

“Baik. Aku akan melangkah pergi dengan senang hati. Tak perlu kalian repot-repot berdebat dan menghina ibuku.”

Semenjak itu Rakai Rajita memang tak pernah lagi menginjakkan kaki ke Dusun Rembulan untuk menemui Mayleen. 

Sontak batin Mayleen muram, cahaya purnama tak lagi cukup menghangatkan jiwanya. Jemarinya kini tak lagi sanggup meliukkan tarian, tubuhnya demam dan kalbunya tertusuk rasa penolakan oleh penghakiman sepihak dari penduduk dusun yang sebenarnya sudah sangat dicintainya juga sebagai keluarga di kampung halaman ke dua.

“Kakak, menarilah lagi!” pinta anak-anak Rembulan

“Ajari langkahku, agar seirama dengan seruling Babah Hong Li.” ujar anak lainnya.

Tetapi Mayleen bergeming dalam kelam malam, tak ada lagi cahaya yang sanggup membuatnya tertawa dan menari. 

Anak-anak Dusun Rembulan mulai mengiba, berurai air mata memohon kebaikan hati Sang Kepala Dusun.

“Apakah kami juga pernah ditolong dukun paraji saat lahir? Kalau begitu ijinkan kami berterima kasih padanya!” rajuk anak-anak Rembulan pada Kepala Dusun.

Maka luluhlah hati tetua adat itu, “Baiklah, jemputlah paraji dan anaknya kemari bersama orang kepercayaanku. Tapi ia harus mampu menyembuhkan putrimu.”

“Kamsia … kamsia …. Terberkatilah Anda dan penduduk dusun ini.”

Babah Hong Li tak henti-hentinya berterima kasih dan mendoakan kepala dusun yang telah menua itu. Bergegaslah ia menjemput Rakai Rajita dan ibunya demi kesembuhan puteri yang sangat dicintainya.

Betapa gembira hati Mayleen mengetahui Rakai Rajita dan ibunya datang ke Dusun Rembulan untuk mengobatinya dengan akar-akar dan dedaunan yang diramu dari bahan alam. 

Benih-benih cinta kembali tumbuh subur di hati gadis itu, menguatkan imun, menyadarkan sinapsis dan menyiapkan raga sehingga mudah menerima asupan ramuan tradisonal yang disajikan dukun paraji, yakni ibunda Rakai yang bernama Radiah. 

Mayleen berangsur-angsur sembuh, hingga di hari ke sepuluh setelah pengobatan itu ia telah sanggup melangkahkan kaki lagi menuju panggung purnama.

Qipao dan payung kertas merah kembali merekah, bersama jiwa anak-anak yang tiada pendendam dan tanpa prasangka. Tarian Mayleen kali penuh gairah dengan senyum sumringah dari seluruh penduduk dusun Rembulan.

***

Catatan:

Qipao1 =  pakaian tradisinal wanita Tionghoa, versi awal dari baju Cheongsam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun