Semenjak itu Rakai Rajita memang tak pernah lagi menginjakkan kaki ke Dusun Rembulan untuk menemui Mayleen.
Sontak batin Mayleen muram, cahaya purnama tak lagi cukup menghangatkan jiwanya. Jemarinya kini tak lagi sanggup meliukkan tarian, tubuhnya demam dan kalbunya tertusuk rasa penolakan oleh penghakiman sepihak dari penduduk dusun yang sebenarnya sudah sangat dicintainya juga sebagai keluarga di kampung halaman ke dua.
“Kakak, menarilah lagi!” pinta anak-anak Rembulan
“Ajari langkahku, agar seirama dengan seruling Babah Hong Li.” ujar anak lainnya.
Tetapi Mayleen bergeming dalam kelam malam, tak ada lagi cahaya yang sanggup membuatnya tertawa dan menari.
Anak-anak Dusun Rembulan mulai mengiba, berurai air mata memohon kebaikan hati Sang Kepala Dusun.
“Apakah kami juga pernah ditolong dukun paraji saat lahir? Kalau begitu ijinkan kami berterima kasih padanya!” rajuk anak-anak Rembulan pada Kepala Dusun.
Maka luluhlah hati tetua adat itu, “Baiklah, jemputlah paraji dan anaknya kemari bersama orang kepercayaanku. Tapi ia harus mampu menyembuhkan putrimu.”
“Kamsia … kamsia …. Terberkatilah Anda dan penduduk dusun ini.”
Babah Hong Li tak henti-hentinya berterima kasih dan mendoakan kepala dusun yang telah menua itu. Bergegaslah ia menjemput Rakai Rajita dan ibunya demi kesembuhan puteri yang sangat dicintainya.
Betapa gembira hati Mayleen mengetahui Rakai Rajita dan ibunya datang ke Dusun Rembulan untuk mengobatinya dengan akar-akar dan dedaunan yang diramu dari bahan alam.