Tak ada yang tahu sampai Kepala Dusun memerintahkan beberapa penduduk berkeliling memeriksa keadaaan dusun di malam hari karena ternak mereka ada yang dicuri.
“Apa-apaan ini, beraninya kamu ke sini?” tanya salah satu petugas ronda yang mengejutkan tawa dan canda Rakai Rajita dengan Mayleen.
“Tolong Paman, jangan ganggu dia. Rakai sahabatku.” pinta Mayleen terkesiap dan menghalangi petugas yang hendak memukul Rakai Rajita.
“Mayleen, kamu jangan ikut campur. Ibunya membunuh bayi-bayi dan menantu kepala dusun. Kamu mau membela anak pembunuh?”
“Berapa bayi yang ia selamatkan dan masih sehat sampai saat ini? Berapa ibu yang ia tolong dan baik-baik saja sehingga kini?” Mayleen menyelidik dengan suara meninggi.
“Ratusan, bahkan istrimu menggenapi keberhasilannya sebagai paraji!” Rakai Rajita menimpali.
“Tapi menantu kepala dusun meninggal setelah dibawa ke praktik ibunya.”
“Lantas kalian semua mengira ia pembunuh? Coba cek ke rumah sakit ternama, adakah pasien meninggal dunia di sana? Jika kau menemukan maka saya yakin petugas kesehatan itu hanya manusia biasa. Ibu paraji juga. Ia bahkan tak memiliki alat yang memadai mengatasi pendarahan dan keguguran, teganya kalian menuduhnya sengaja membunuh bayi dan ibu hamil. Sementara jasanya selama ini tak terhitung lagi!”
Terkejutlah para petugas ronda dan beberapa penduduk yang terbangun oleh keributan di malam hari. Selama ini para penduduk dusun hanya mendengar tutur halus Mayleen, tak pernah ia berbicara sekeras ini demi membela dukun paraji dan Rakai Rajita.
Rakai Rajita akhirnya mengalah, ia meminta Mayleen diam dan tak membantah lagi.
“Baik. Aku akan melangkah pergi dengan senang hati. Tak perlu kalian repot-repot berdebat dan menghina ibuku.”