Mohon tunggu...
SHANATA NAJWA 41821110010
SHANATA NAJWA 41821110010 Mohon Tunggu... Editor - Mahasiswa S1 Universitas Mercu buana

Kampus Universitas Mercu Buana Meruya, Fakultas Teknik Informatika, Sistem Informasi, Dosen Pengampu : Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kuis 11 - Diskursus Edwin Sutherland dan Fenomena Kejahatan Korupsi di Indonesia

23 November 2024   14:40 Diperbarui: 23 November 2024   14:44 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu karakteristik utama dari white-collar crime adalah bahwa kejahatan ini sering tersembunyi di balik sistem yang sah, sehingga sulit dideteksi. Hal ini berlaku juga pada korupsi di Indonesia, di mana praktik korupsi sering kali dilakukan dengan cara yang licik, seperti melalui pengaturan kontrak atau penggunaan celah hukum. Pelaku menggunakan kedudukan mereka untuk menyembunyikan jejak dan mencegah terungkapnya praktik ilegal ini. Korupsi semacam ini sangat merusak karena dampaknya tidak langsung terlihat oleh masyarakat, meskipun efeknya sangat besar, terutama dalam hal penggelapan dana publik.

5. Dampak Sosial dan Ekonomi yang Luas

Korupsi yang dilakukan oleh pelaku berstatus tinggi memiliki dampak yang sangat luas bagi ekonomi dan struktur sosial suatu negara. Di Indonesia, korupsi sering menghambat pembangunan, merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, dan mengurangi efisiensi sistem publik. Hal ini sesuai dengan konsep white-collar crime, di mana kejahatan yang dilakukan oleh individu yang memiliki kekuasaan dapat menyebabkan kerusakan sistemik yang sulit diperbaiki. Kejahatan ini berimplikasi pada ketidakadilan sosial dan ketimpangan ekonomi, yang memperburuk kualitas hidup masyarakat.

Alasan Korupsi Dapat Dipahami dari Perspektif White-Collar Crime

  1. Konteks Sosial dan Ekonomi Pelaku:
    Korupsi sering dilakukan oleh pejabat tinggi, birokrat, atau profesional yang memiliki akses terhadap kekuasaan. Perspektif white-collar crime menunjukkan bahwa kejahatan ini bukan sekadar masalah individu, melainkan fenomena sistemik yang terjadi di lingkungan kerja atau organisasi tertentu.

  2. Non-Kekerasan dan Terselubung:
    Korupsi, seperti white-collar crime lainnya, dilakukan tanpa kekerasan fisik. Misalnya, manipulasi anggaran proyek atau mark-up kontrak adalah cara terselubung untuk mencuri dana publik, yang sering kali sulit dideteksi.

  3. Pembelajaran Sosial:
    Menurut teori Differential Association, pelaku kejahatan kerah putih, termasuk koruptor, belajar teknik, motif, dan justifikasi perilaku korup melalui interaksi dengan jaringan sosial atau lingkungan kerja mereka. Dalam kasus korupsi, bawahan sering diajari bagaimana "sistem bekerja" oleh atasan yang sudah terlibat dalam praktik ilegal.

  4. Justifikasi Moral:
    Pelaku korupsi sering membenarkan tindakan mereka dengan argumen seperti "semua orang melakukannya" atau "ini demi stabilitas organisasi." Ini sejalan dengan karakteristik white-collar crime, di mana pelaku menciptakan rasionalisasi untuk membebaskan diri dari rasa bersalah.

  5. Dampak Sistemik dan Institusional:
    Korupsi berdampak besar pada ekonomi dan kepercayaan publik, seperti halnya white-collar crime. Namun, karena melibatkan pelaku berstatus tinggi dan dilakukan dalam sistem yang tertutup, proses hukum terhadap koruptor sering lebih lambat atau terhalang, menunjukkan perlakuan yang berbeda dibandingkan dengan pelaku kejahatan biasa.

Contoh Kasus di Indonesia

Kasus seperti korupsi proyek e-KTP, skandal Jiwasraya, dan kasus suap pejabat publik menggambarkan bagaimana pelaku yang berada di posisi strategis memanfaatkan kekuasaan mereka untuk keuntungan pribadi. Pola-pola ini sesuai dengan konsep white-collar crime yang menekankan:

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun