Penyalahgunaan kepercayaan.
Kompleksitas dalam pengungkapan kasus.
Keterlibatan jaringan yang luas.
How?Â
Bagaimana Teori white-collar crime Ini Mengupas Fenomena Korupsi di Indonesia?
Teori white-collar crime yang dikemukakan oleh Edwin Sutherland sangat relevan dalam mengupas fenomena korupsi di Indonesia, karena keduanya melibatkan individu dengan status sosial tinggi yang menyalahgunakan kekuasaan mereka untuk keuntungan pribadi. Teori ini menawarkan perspektif yang berbeda dibandingkan dengan teori kejahatan konvensional, yang lebih fokus pada pelaku dari kalangan bawah atau individu dengan akses terbatas. Dalam konteks korupsi di Indonesia, berikut adalah beberapa cara teori white-collar crime mengupas fenomena tersebut:
1. Penyalahgunaan Kekuasaan dan Posisi
Teori ini menekankan bahwa white-collar crime dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi dalam masyarakat, seperti pejabat publik, eksekutif, atau pengusaha besar. Mereka menggunakan kekuasaan atau posisinya untuk melakukan tindakan ilegal demi keuntungan pribadi. Dalam kasus korupsi di Indonesia, hal ini terlihat jelas pada praktik penyalahgunaan wewenang, seperti suap, penggelapan, dan mark-up anggaran oleh pejabat negara atau pengusaha yang memiliki akses terhadap dana publik. Kasus besar seperti skandal e-KTP, Jiwasraya, dan kasus korupsi lainnya menunjukkan bagaimana individu berstatus tinggi dalam pemerintahan atau sektor swasta memanfaatkan posisi mereka untuk keuntungan pribadi.
2. Pembelajaran Sosial dalam Jaringan Kekuasaan
Sutherland mengemukakan dalam teori Differential Association bahwa perilaku kriminal dipelajari melalui interaksi dengan individu lain di dalam kelompok sosial. Dalam konteks korupsi di Indonesia, hal ini berarti bahwa pejabat baru atau individu yang terlibat dalam politik atau bisnis sering kali belajar tentang praktik korupsi dari senior atau rekan kerja mereka. Mereka mendapatkan pengetahuan tentang bagaimana cara "bermain" dalam sistem, seperti memberikan atau menerima suap untuk memuluskan suatu proyek. Proses belajar ini menciptakan budaya korupsi yang berkelanjutan dalam institusi pemerintah atau perusahaan.
3. Rasionalisasi Moral dan Justifikasi Perilaku Korup
Sutherland juga mencatat bahwa pelaku white-collar crime sering kali mengembangkan rasionalisasi untuk membenarkan tindakan mereka. Dalam kasus korupsi di Indonesia, banyak pelaku yang merasa tidak bersalah dengan tindakan mereka karena mereka berargumen bahwa "semua orang juga melakukannya" atau bahwa korupsi adalah cara untuk bertahan hidup dalam sistem yang ada. Rasionalisasi ini mengurangi perasaan bersalah mereka dan memperkuat ketahanan sistemik terhadap pemberantasan korupsi.
4. Tersembunyi dan Sistemik