Percakapan berakhir dengan kesimpulan bahwa mama akan ke dokter Arman lusa, karena besok ia ada urusan arisan dengan teman-temannya. Mama memintaku untuk mengantarnya, namun aku beralasan tidak bisa karena harus mengurus toko. Sepertinya mama belum sadar kalau anaknya  ini sudah jatuh hati.
        Aku kembali ke kamar dan saat itulah aku mendengarkan suara dering handphone dari lemariku. Aku membuka lemari dan memberanikan diri untuk mengangkatnya.
        "Assalamualaikum dokter Arman."
        Tidak ada jawaban dari dokter Arman dan beberapa menit kemudian panggilan dimatikan.
****
        Tiga hari berlalu sejak saat telepon itu kuangkat. Aku tidak tau bagaimana perasaan dokter Arman saat ini. Apakah dai merasa seperti maling yang kepergok, atau pemuja rahasia yang sudah ketahuan mentah-mentah, entahlah aku tidak mengerti. Yang jelas apa yang dia lakukan sedikit membuat perasaanku padanya menjadi pudar. Kalau dia memang suka kenapa harus main rahasia-rahasiaan, kenapa harus membuntutiku, kenapa harus melalui Adzanul. Apa dia tidak berani datang kedepanku dan mengatakan suka padaku. Sedih memang, namun apa yang dokter Arman lakukan membuatku merasa bahwa dia bukan lelaki sejati, dia pengecut.
        Kemaren mama mengambil darah untuk mengecek kadar glukosa darah, dan dokter Arman menduga mama terkena diabetes. Seperti biasa aku yang awam dalam dunia kedokteran langsung mencari di internet apa itu diabetes.
        Dari internet aku tau diabetes adalah penyakit yang bisa menyebabkan banyak penyakit lain, seperti hipertensi, serangan jantung dan stroke. Aku langsung mencari cara-cara penanganan diabetes. Salah satunya dengan penggunaan obat. Aku baca obat itu bernama metformin. Harganya tidak terlalu mahal. Apakah mama harus meminumnya jika ia positif diabetes?
        Apa sebaiknya aku bertanya kepada herbalis yang pernah kutemui. Apakah ada herbal alternative selain zat kimia. Banyak pikiran aku putuskan untuk mengantar mama besok berobat ke dokter Arman. Aku ingin beronsultasi kepadanya tentang penyakit mama, jujur aku pernah kehilangan ayahku dan aku tidak mau kini aku kehilangan mama.
Dan bodohnya lagi, esok sorenya ketika aku mengantar mama lagi-lagi aku melakukan hal yang sama seperti aku dulu ke prakteknya. Berdandan yang lama, menatap diri di depan cermin terus menerus. Bukankah aku berpikir setelah insiden handphone rahasia itu untuk melupakannya? Lalu kenapa aku masih seperti ini?
        Mama mengetuk pintu kamarku. Aku terlalu lama berdandan seperti lupa waktu. Dan yang terjadi ketika aku membuka pintu adalah betapa kagetnya mama melihatku. "kamu mau pergi ke dokter atau mau kencan sayang?"