Mohon tunggu...
Shanan Asyi
Shanan Asyi Mohon Tunggu... Dokter -

Seorang dokter umum sekaligus penulis jurnal kesehatan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[Perjalanan Hidup - Bab 11] Yunus

15 Januari 2018   18:54 Diperbarui: 15 Januari 2018   19:31 951
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

                        "Jadi kau kesini untuk mencari pembunuh kakek itu?" Tanyaku.

            "Ia kak."

            "Kau sudah menemukan pencurinya?"

            "Tidak, tapi aku menemukan orang yang bisa membantuku mencarinya."

            "Siapa?"

            "Anak kakek itu."

            "Bukankah anaknya sudah meninggal?"

            "Ya, namun bukan anak kandungnya, anak angkatnya, sama sepertiku."

            ****   

                        Agam benar-benar terpukul hari itu. Esoknya ia bersumpah untuk membalas kematian sang kakek. Setelah menguburnya tepat di sebelah kebun mereka, Agam mencium papan kayu kuburan sang kakek.

            "Selamat jalan ayah." Kata Agam. Baginya selama setahun ini, kakek itu telah menjadi seperti ayah kandungnya.

            Ia kembali ke depan rumah lalu duduk disana. Duduk di tangga dan menatap kedepan dengan pikiran yang berkelebat. Ia nyanyikan kembali lagu yang pernah kakek itu ajarkan.

            Pernahkah kau tau

            Tentang sebuah kisah

            Tentang api yang sunyi, tentang Angin yang sepi

            Yang bertiup ketika malam

            Ke setiap tubuh yang suci

            Pernahkah kau tau

            Tentang sebuah kisah

            Tentang  Alam yang luas

            Juga ilmu yang besar

            Tuhan, sesungguhnya kau yang Maha Tinggi

            Tiada yang hebat melainkan Engkau

            Tiada yang kutuju selain Engkau.

            Engkaulah yang Maha Satu

            Engkaulah yang Awal dan yang Akhir

            Setelah bernyanyi langkahnya menapaki rumah. Ia lihat foto kakek itu ketika masih muda, dengan senapan dan baju lorengnya sambil memegang kelinci yang habis ia tembak. Air mata tumpah kembali. Berat baginya merelakan orang yang telah ia sayang.

            Di atas kulkas ia menemukan sesuatu. Rokok milik kakeknya. Seperti apa rasanya merokok? Bathinnya.

            Ia keluar lalu duduk di tangga rumah panggung itu. Ia taruh rokok di mulutnya kemudian mulai menyalakan pemantik. Api itu membakar ujung rokok, pelan-pelan Agam menghirupnya. "Uhuk uhuk." Ia terbatuk. Tapi Agam tidak menyerah ia lakukan hal itu lagi berulang-ulang sampai ia terbiasa.

            2 minggu setelah kakeknya meninggal Agam di kejutkan oleh kedatangan seseorang. Ketika ia sedang membelah kayu untuk merenovasi peternakannya seseorang datang.

            Agam yang tengah menggergaji melihat orang itu. "Permisi kata orang itu."

            "Ya siapa ya?" kata Agam.

            "Kakek Bokir ada?"   

            Agam kebingungan ingin menjawab apa. "Sedang tidak ada."

            "Oh ya kemana ya?"

            "Kamu siapa?"

            Perkenalkan aku Yunus. Aku anak angkatnya.

            Anak angkat? Apa maksudnya sama sepertiku?

           "Aku yang sering menjemputnya di kaki gunung, jika ia hendak pergi ke kota untuk membeli bensin dan rokok."

            "Agam." Kata Agam sambil menyodorkan tangan.  

            "Oh ya salam kenal Agam. Dimana kakek?"

            Agam terdiam beberapa saat, lalu berkata kembali. "Ia telah tiada."

            "Innalillahi wa Inna ilaihi Raajiun. Bagaimana bisa?" pemuda itu bertanya di tengah kekagetannya.

            Agam kemudian menceritakan tentang pria sore itu. "Kamu tau siapa dia?" tanya Agam.  

            Wajah Yunus  tampak ketakutan. "Tidak mungkin itu dia."

            "maksud kamu?"

            "orang itu adalah...."

            Yunus menceritakan tentang orang itu, bagaimana kakek Bokir mengenalnya dan bagaimana hubungan mereka selama ini.

            "Aku ingin balas dendam kakek, aku ingin membunuh pria itu."

            "Kamu punya petunjuk?"

            "aku ingat plat motornya."

            "Itu cukup. Mungkin kamu harus ikut aku."

            "kemana?"

            "ke rumahku."

            Sore itu akhirnya untuk pertama kalinya setelah setahun Agam meninggalkan rumah itu. Pergi kembali ke pedesaan dan kota, meninggalkan kehidupan di pegunungan. Agam memasukkan beberapa benda ke dalam tas yang ia dapatkan di lemari rumah. Salah satunya foto kakek tersebut, dan sisa rokok milik kakek.

            Sebelum pergi dengan orang itu, karena ia tau ada kemungkinan baginya untuk tak kembali ke tempat ini, Ia membuka seluruh pintu kandang ternaknya, agar jika ia benar-benar meninggalkan rumah ini selamanya. Ternaknya masih bisa bertahan hidup. "Selamat tinggal Genta Junior katanya mencium kening sapinya."

            "Sudah siap?" tanya Yunus.

            "Ya."

            Lalu perlahan-lahan mereka menuruni gunung itu. Melewati hutan dan semak-semak.

            ****

            Sesampainya di tempat tinggal Yunus, Agam menaruh tasnya. Lalu buru-buru mencari minum. Ia sangat kehausan.

            Ia ambil air dari dispenser yang terhubung dengan Galon, sudah lebih dari setahun ia tidak melihat peralatan-peralatan ini.

            Rumah Yunus tidaklah besar, hanya sebuah kontrakan yang didalamnya terdapat dua kamar dan satu kamar mandi. Rumah ini tampak terawat dan juga indah. Di berbagai dinding Agam bisa melihat Foto Yunus dan kakek bersama-sama. Foto ketika mereka sedang berburu, sedang memancing, juga foto Yunus di wisuda. Namun ada sebuah foto yang membuatnya jadi mengerutkan kening, foto yunus, Kakek, bersama seorang lagi, ia ingat sekali wajahnya itu pembunuh Kakeknya.

            "Pasti akan kutemukan kau." Katanya bercampur bingung kenapa foto orang itu ada disana.

            Hari ini mereka berdua terlalu lelah karena sudah berjalan nonstop selama 3 jam. Keduanya tertidur pulas.

            ****

            Malamnya Agam terbangun, ia segera keluar dan menghidupkan rokok yang telah ia siapkan. Duduk di kursi di depan jendela sambil mengisap tembakau. Ia melihat ke jalan dan terlihat banyak kendaraan lewat. Sudah 1 tahun lebih ia tidak pernah melihat kendaraan lagi.

            Dalam pikirannya terpikirkan bagaimana cara mereka menemukan sang pembunuh itu, pak Din, orang yang ia tau namanya dari cerita Yunus.  Beberapa kemungkinan dan skenario terlintas di benak mereka. Apa mereka akan lapor ke polisi? Atau mereka mencarinya sendiri? Bagaimana cara menemukan jejak pak Din hanya dengan plat nomor?

            Terlalu pusing dan membingungkan, ia beranjak dari tempat duduknya. Lalu menuju dispenser. Ia menyedu kopi. Menikmati sisa malam sebelum ia putuskan untuk tertidur lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun