Pembentukan kelompok masyarakat merupakan proses alami yang dipengaruhi oleh berbagai faktor kebutuhan manusia. Pada dasarnya, manusia adalah makhluk sosial yang memerlukan interaksi dengan sesamanya untuk bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan dasar seperti tempat tinggal, makanan, dan perlindungan. Proses ini sering kali dimulai dari situasi yang memaksa, seperti perpindahan akibat konflik, bencana, atau kebutuhan untuk memperluas wilayah.
Faktor geografis juga memainkan peran penting. Lokasi yang strategis dengan sumber daya yang melimpah sering kali menjadi daya tarik utama dalam pembentukan komunitas awal. Dalam hal ini, keberadaan air, tanah subur, dan akses jalur perdagangan menjadi kunci keberlangsungan hidup masyarakat. Lokasi yang mendukung tidak hanya memberikan tempat tinggal, tetapi juga peluang untuk membangun ekonomi lokal yang kuat.
Selain faktor fisik, pembentukan kelompok masyarakat juga didorong oleh kebutuhan akan keteraturan sosial. Kehadiran pemimpin atau tokoh karismatik sering kali menjadi penggerak utama dalam mengorganisasi masyarakat. Mereka memberikan arahan, menetapkan aturan, dan memastikan terciptanya harmoni di antara individu-individu dalam kelompok. Kepemimpinan ini tidak hanya berdasarkan kekuasaan, tetapi juga sering kali didasarkan pada kepercayaan dan legitimasi budaya yang diterima oleh komunitas tersebut.
Di sisi lain, identitas kolektif menjadi elemen penting dalam memperkuat hubungan antarindividu. Simbol-simbol lokal, mitos, dan tradisi sering kali menjadi landasan yang menyatukan masyarakat. Dengan adanya elemen ini, sebuah kelompok tidak hanya berbagi ruang fisik, tetapi juga memiliki nilai-nilai bersama yang menciptakan rasa kepemilikan dan solidaritas.
Terakhir, kesepakatan sosial menjadi fondasi utama dalam pembentukan masyarakat. Aturan-aturan dasar yang disepakati bersama, seperti pembagian sumber daya dan tanggung jawab, memastikan keberlangsungan kelompok. Kesepakatan ini sering kali lahir dari kebutuhan akan harmoni dan keberlanjutan hidup bersama.
Baca juga: Menguak Jejak Sejarah Kassi, Labuang, dan Pacelle. Kabupaten Maros
Everett Spurgeon Lee, seorang profesor dalam bidang sosiologi dari Universitas Georgia, Amerika Serikat, pada teori migrasinya yang dipublikasikan dalam karya berjudul 'A Theory of Migration' pada tahun 1966 faktor migrasi penduduk memuat beberpa faktor, salah satunya adalah faktor dorongan (Push) dan faktor Penarik (pull) perpindahan penduduk terjadi karena faktor dorongan dari tempat asal (misalnya perang, bencana) dan tarikan dari tempat baru (seperti peluang ekonomi, tanah subur, atau kedamaian). Dalam kasus ini, pembukaan wilayah Labuang terjadi setelah perang di Kappara, yang menjadi salah satu faktor dorongan.
"Iyyanae puada adaengngi appongenna tanae rilabuang mularitimpa'na Labuang, iapolena taue mammusu ri Kappara nadisuromanenna tau Bone no' ri Maru' bukka'I Labuang naritarona Puatta mangkaue matinroe ri Bontoala silaoang kalie ri Bontoala riasengnge Muhammad Rajab.
(Ini adalah catatan yang menyebutkan awal pembukaan tanah di Labuang setelah perang di Kappara/Keper (perang ini terjadi di Jawa), sehingga diperintahkanlah orang-orang Bone turun ke Maros membuka tanah desa baru di Labuang oleh Puatta Mangkaue Matinroe di Bontoala bersama Qadi Bontoala bernama Muhammad Rajab).
Melihat dari catatn salinan lontaraq dalam kisah pembentukan Kampung Kassi, Labuang, dan Pacelle, terlihat bagaimana berbagai faktor tersebut saling berperan. Pembukaan wilayah baru pasca perang di Kappara menunjukkan kebutuhan mendesak akan tempat tinggal dan keamanan. Pemimpin seperti Puatta Mangkaue Matinroe ri Bontoala memberikan arahan dan legitimasi bagi pembentukan komunitas ini. Selain itu, lokasi berlabuhnya kapal menciptakan identitas unik yang mengikat masyarakat secara emosional. Dengan adanya kesepakatan sosial yang menetapkan peran Qadi dan Sayyid sebagai pemimpin spiritual dan hukum, komunitas ini berkembang dengan aturan dan nilai-nilai bersama.
Secara letak geografis daerah tersebut sangan efektif dalam kehidupan manusia, dalam kisahnya menjelaskan bahwa wilayah tersebut ditemukannya dua Rusa, semntara sekitarnya terdapat aliran sungai yang pada masa itu menjadi sarana tranportasi.
Proses ini menunjukkan bahwa pembentukan kelompok masyarakat adalah hasil dari perpaduan kebutuhan dasar, lokasi strategis, kepemimpinan, identitas kolektif, dan kesepakatan sosial yang terorganisasi dengan baik.
Baca juga: "Dimensi Tarekat: Tradisi, Sejarah dan Keabsahan dalam Islam"
Keharmonisan sosial
Dalam konteks keharmonisan sosial di kampung atau masyarakat majemuk, pandangan Andreas Wimmer dan Nina Glick Schiller dapat memberikan wawasan yang relevan, terutama terkait dinamika hubungan antar kelompok etnis dan budaya. Keharmonisan sosial merujuk pada keadaan di mana berbagai kelompok hidup berdampingan dengan saling menghormati, meminimalkan konflik, dan menciptakan kerja sama yang produktif. Coba perhatikan bagian dari naskah berikut,
Nakko Ri Pacelle taro tudangna Puatta naulabbii Labuang. Duakkaju jonga riala sikaju jonga balibi sikaju jonga tali bolong Aga purai rirenge riobbi'ni tau tellue, Idato. Tuan Labbakang, Tuang Pekki. Na ri pauna ri Puatta makkeddae ikonatu tau tellue weloreng pettu tarata riwanua barue, puttamaki tau, to agi-to agi tau maelo mattama mabbukka, ri ikopatu tau tellue potaroi nappa wedding monro mabbukka riwanua barue.
(Adapun Puatta mengambil tempat di Pacelle, dan di sana pula tempat memantau saat pembukaan Labuang, disaat pembukaan lahan di temukanlah  dua ekor rusa bertanduk panjang yang panjang. Satu ekor dengan corak bulunya disebut balibi dan satunya lagi bulu hitam. Kemudian memanggil tiga orang, yaitu Idato, Tuan Labbakkang, dan Tuan Fakih, dan berkata kepada mereka: Kalian bertiga saya beri wewenang untuk memutuskan memasukkan orang-orang siapa saja guna membuka dan menghuni desa baru di Labuang).
Pendekatan Pemimpin
Puatta sebagai pemimpin memegang peran sentral dalam mengatur masyarakat yang baru terbentuk. Keputusan untuk melibatkan tiga individu, yaitu Idato, Tuan Labbakkang, dan Tuan Fakih, mencerminkan pendekatan kolektif yang inklusif. Memberikan wewenang kepada orang lain menciptakan rasa tanggung jawab bersama dan mengurangi potensi konflik, karena pengambilan keputusan tidak dilakukan secara sepihak. Hal ini menciptakan pondasi awal bagi kohesi sosial, di mana masyarakat memiliki struktur kepemimpinan yang diakui dan dihormati.
Geneologi Multikulturalis
Secara geneologi masyarakat kampung Kassi, Labuang dan Pacelle sebelum terbentuknya tatanan masyarakat garis keturunan mereka itu terdiri atas wewenang yang diberikan oleh Puatta  kepada I Dato, Tuan Labbakkang dan Tuan Pekki/Fakih yang muasalany dari keturunan Bone, Bontoala dan Labbakkang . Andreas Wimmer dan Nina Glick Schiller, dua ahli sosiologi, menyatakan bahwa masyarakat majemuk adalah suatu kondisi di mana terdapat berbagai kelompok etnis dengan budaya dan bahasa yang berbeda-beda yang tinggal bersama dalam satu negara atau wilayah. Sehingga demikian masyarakat setempat memiliki ciri khas atau identitas karena multikultural dari pertemuan dari beberapa daerah.
Sadan Masthuriyah (2015) berdasar pada jurnalnya "Ilai-Nilai Multikulturalisme Dalam Al-Qur'an & Urgensi Sikap Keberagamaan Multikulturalis Untuk Masyarakat Indonesia" ia menyatakan bahwa di dalam al-Qur'an, Allah mengatakan bahwa manusia diciptakan dengan beragam (heterogenitas) mulai dari bangsa dan suku. Penciptaan Allah dengan beragam tersebut hanya dengan satu tujuan yakni untuk saling mengenal (QS. al-Hujurat [49]: 13). Pengenalan manusia tersebut tidak memandang golongan, kelompok, maupun agama. Hal itu karena Allah menyuruh kepada umat manusia, baik muslim atau tidak untuk berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan (QS. al-Ma'idah [5]: 48). Etika sosial ini berakar pada satu gagasan alQur'an tentang "kesamaan" manusia yang menekankan bahwa semua manusia, tanpa melihat persuasi ideologisnya diciptakan dari "jiwa yang sama" (nafs wahidah) (QS. an-Nisa' [4]:01).
 Keseimbangan antara Adat dan Agama
Masih bertaut pada bagian akhir naskah lontara sejarah Kassi, Labuang dan Pacelle seperti penjelasan yang sudah di terjemahkan sebagai berikut ini:
"Inilah wasiatku di tiga desa, setelah selesai mengumumkan nama-nama desa, Puatta Mangkaue menampilkan dirinya kepada orang-orang di Labuang, lalu ia berkata kepada mereka, 'Apakah kalian ingin tinggal di Labuang? Karena tanah di Labuang telah saya serahkan kepada Qadi Bontoala. Jika kalian tidak mau, maka tinggalkanlah dan bawa semua barang-barang kalian. Tetapi jika kalian ingin tinggal, maka tinggallah, dan kalian akan memilikinya dengan syarat kalian harus hidup dan mati (silabuang) mengikuti perintah Qadi dan perintah Sayyid.'
Maka orang-orang Labuang berkata, 'Biarkan kami hidup bersama (silabuang) selama kami tidak dipisahkan dari Sayyid Bontoala.' Begitulah kesepakatan antara Puatta Mangkaue dengan orang-orang Labuang. Namun, orang-orang Labuang tidak boleh diperjualbelikan sama sekali (dijadikan budak) dan tidak boleh digunakan kecuali untuk kepentingan bersama."
Wasiat ini bukan sekadar aturan, melainkan pondasi yang akan mengikat mereka sebagai komunitas baru dengan nilai-nilai yang kokoh. Di balik setiap kata dalam wasiat tersebut, terdapat simbol-simbol yang memperkuat identitas mereka dan menjaga harmoni di antara mereka.
Tanah Labuang, yang diserahkan kepada Qadi Bontoala, menjadi simbol pertama. Penyerahan ini bukan hanya soal administrasi, tetapi sebuah deklarasi bahwa tanah ini akan dikelola di bawah otoritas keagamaan dan hukum yang adil. Dengan menyerahkan tanah kepada Qadi, Puatta Mangkaue menyampaikan pesan bahwa kehidupan di Labuang akan dipandu oleh nilai-nilai spiritual yang luhur. Dalam simbol ini, masyarakat menemukan pijakan bersama sebuah identitas kolektif yang akan mereka pelihara.
Namun, tidak cukup hanya dengan kepemimpinan spiritual. Puatta mengajukan syarat yang disebut silabuang, hidup dan mati bersama dalam harmoni. Konsep ini menjadi simbol kedua yang mengikat mereka sebagai sebuah komunitas. Silabuang mengajarkan bahwa keberadaan mereka di Labuang tidak hanya bergantung pada kesetiaan kepada pemimpin, tetapi juga pada komitmen mereka untuk menjaga keharmonisan, saling mendukung, dan mematuhi aturan bersama. Jelas bahwa dalam wasiat ini mencerminkan dalam Al-Qur'an pada Surah Al-maidah ayat 2, "Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa. Dan janganlah kalian tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran".(QS. al-Maidah [5]:2)Â . Sementara diayat yang juga menjelaskan bahwasanya,"Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah kedua saudaramu (yang bertikai) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu dirahmati". (QS. al-Hujurat [49]: 10). Identitas mereka sebagai "orang Labuang" tidak terpisahkan dari prinsip hidup bersama ini.
Puatta juga menetapkan larangan yang tegas dalam wasiatnya. Tidak boleh ada yang diperjualbelikan sebagai budak, dan tidak seorang pun boleh dimanfaatkan kecuali untuk kepentingan bersama. Larangan ini adalah simbol ketiga, yang menegaskan martabat manusia sebagai nilai yang tak boleh dilanggar. Hal ini memastikan bahwa harmoni sosial di Labuang berdiri di atas dasar keadilan dan kesetaraan. Semua orang dihargai sebagai anggota komunitas yang setara, tanpa eksploitasi atau ketidakadilan.
Puatta tidak memaksa. Ia memberi masyarakat pilihan tinggal di Labuang dan menerima aturan ini, atau pergi dengan membawa barang-barang mereka. Pilihan ini mencerminkan kebebasan yang menghormati keputusan individu, tetapi juga memperkuat aturan bersama bagi mereka yang memilih untuk tinggal. Dengan begitu, identitas kolektif masyarakat Labuang terbentuk dari kesukarelaan, bukan paksaan.
Ketika masyarakat menerima kesepakatan ini, identitas mereka pun terbentuk. Mereka bukan hanya penghuni Labuang, tetapi juga penjaga keharmonisannya. Mereka berkomitmen untuk hidup bersama dalam solidaritas, setia pada pemimpin spiritual mereka, dan menjaga nilai-nilai yang telah disepakati.
Begitulah, melalui simbol-simbol seperti tanah, silabuang, dan larangan eksploitasi, Puatta Mangkaue menciptakan sebuah komunitas yang tidak hanya hidup dalam harmoni, tetapi juga memiliki identitas yang kuat. Masyarakat Labuang adalah contoh nyata bagaimana simbol identitas dapat menjadi fondasi yang kokoh untuk harmoni sosial, di mana keberagaman dihormati, keadilan ditegakkan, dan solidaritas menjadi napas kehidupan bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H