Secara letak geografis daerah tersebut sangan efektif dalam kehidupan manusia, dalam kisahnya menjelaskan bahwa wilayah tersebut ditemukannya dua Rusa, semntara sekitarnya terdapat aliran sungai yang pada masa itu menjadi sarana tranportasi.
Proses ini menunjukkan bahwa pembentukan kelompok masyarakat adalah hasil dari perpaduan kebutuhan dasar, lokasi strategis, kepemimpinan, identitas kolektif, dan kesepakatan sosial yang terorganisasi dengan baik.
Baca juga: "Dimensi Tarekat: Tradisi, Sejarah dan Keabsahan dalam Islam"
Keharmonisan sosial
Dalam konteks keharmonisan sosial di kampung atau masyarakat majemuk, pandangan Andreas Wimmer dan Nina Glick Schiller dapat memberikan wawasan yang relevan, terutama terkait dinamika hubungan antar kelompok etnis dan budaya. Keharmonisan sosial merujuk pada keadaan di mana berbagai kelompok hidup berdampingan dengan saling menghormati, meminimalkan konflik, dan menciptakan kerja sama yang produktif. Coba perhatikan bagian dari naskah berikut,
Nakko Ri Pacelle taro tudangna Puatta naulabbii Labuang. Duakkaju jonga riala sikaju jonga balibi sikaju jonga tali bolong Aga purai rirenge riobbi'ni tau tellue, Idato. Tuan Labbakang, Tuang Pekki. Na ri pauna ri Puatta makkeddae ikonatu tau tellue weloreng pettu tarata riwanua barue, puttamaki tau, to agi-to agi tau maelo mattama mabbukka, ri ikopatu tau tellue potaroi nappa wedding monro mabbukka riwanua barue.
(Adapun Puatta mengambil tempat di Pacelle, dan di sana pula tempat memantau saat pembukaan Labuang, disaat pembukaan lahan di temukanlah  dua ekor rusa bertanduk panjang yang panjang. Satu ekor dengan corak bulunya disebut balibi dan satunya lagi bulu hitam. Kemudian memanggil tiga orang, yaitu Idato, Tuan Labbakkang, dan Tuan Fakih, dan berkata kepada mereka: Kalian bertiga saya beri wewenang untuk memutuskan memasukkan orang-orang siapa saja guna membuka dan menghuni desa baru di Labuang).
Pendekatan Pemimpin
Puatta sebagai pemimpin memegang peran sentral dalam mengatur masyarakat yang baru terbentuk. Keputusan untuk melibatkan tiga individu, yaitu Idato, Tuan Labbakkang, dan Tuan Fakih, mencerminkan pendekatan kolektif yang inklusif. Memberikan wewenang kepada orang lain menciptakan rasa tanggung jawab bersama dan mengurangi potensi konflik, karena pengambilan keputusan tidak dilakukan secara sepihak. Hal ini menciptakan pondasi awal bagi kohesi sosial, di mana masyarakat memiliki struktur kepemimpinan yang diakui dan dihormati.
Geneologi Multikulturalis
Secara geneologi masyarakat kampung Kassi, Labuang dan Pacelle sebelum terbentuknya tatanan masyarakat garis keturunan mereka itu terdiri atas wewenang yang diberikan oleh Puatta  kepada I Dato, Tuan Labbakkang dan Tuan Pekki/Fakih yang muasalany dari keturunan Bone, Bontoala dan Labbakkang . Andreas Wimmer dan Nina Glick Schiller, dua ahli sosiologi, menyatakan bahwa masyarakat majemuk adalah suatu kondisi di mana terdapat berbagai kelompok etnis dengan budaya dan bahasa yang berbeda-beda yang tinggal bersama dalam satu negara atau wilayah. Sehingga demikian masyarakat setempat memiliki ciri khas atau identitas karena multikultural dari pertemuan dari beberapa daerah.
Sadan Masthuriyah (2015) berdasar pada jurnalnya "Ilai-Nilai Multikulturalisme Dalam Al-Qur'an & Urgensi Sikap Keberagamaan Multikulturalis Untuk Masyarakat Indonesia" ia menyatakan bahwa di dalam al-Qur'an, Allah mengatakan bahwa manusia diciptakan dengan beragam (heterogenitas) mulai dari bangsa dan suku. Penciptaan Allah dengan beragam tersebut hanya dengan satu tujuan yakni untuk saling mengenal (QS. al-Hujurat [49]: 13). Pengenalan manusia tersebut tidak memandang golongan, kelompok, maupun agama. Hal itu karena Allah menyuruh kepada umat manusia, baik muslim atau tidak untuk berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan (QS. al-Ma'idah [5]: 48). Etika sosial ini berakar pada satu gagasan alQur'an tentang "kesamaan" manusia yang menekankan bahwa semua manusia, tanpa melihat persuasi ideologisnya diciptakan dari "jiwa yang sama" (nafs wahidah) (QS. an-Nisa' [4]:01).
 Keseimbangan antara Adat dan Agama
Masih bertaut pada bagian akhir naskah lontara sejarah Kassi, Labuang dan Pacelle seperti penjelasan yang sudah di terjemahkan sebagai berikut ini:
"Inilah wasiatku di tiga desa, setelah selesai mengumumkan nama-nama desa, Puatta Mangkaue menampilkan dirinya kepada orang-orang di Labuang, lalu ia berkata kepada mereka, 'Apakah kalian ingin tinggal di Labuang? Karena tanah di Labuang telah saya serahkan kepada Qadi Bontoala. Jika kalian tidak mau, maka tinggalkanlah dan bawa semua barang-barang kalian. Tetapi jika kalian ingin tinggal, maka tinggallah, dan kalian akan memilikinya dengan syarat kalian harus hidup dan mati (silabuang) mengikuti perintah Qadi dan perintah Sayyid.'
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!