Mohon tunggu...
Shaleh Muhammad
Shaleh Muhammad Mohon Tunggu... Mahasiswa - PMII Maros / Wanua Masennang

Freelance yang aktif di organisasi mahasiswa dan kepemudaan, dengan minat pada budaya Bugis, hobi membaca, dan semangat pemberdayaan komunitas.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kampung Kassi, Labuang dan Pacelle. Sumber Identitas dan Harmoni Sosial

4 Januari 2025   21:55 Diperbarui: 7 Januari 2025   05:00 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
"Sumber: Gambar dengan lisensi Creative Commons, sumber tidak diketahui." 

Maka orang-orang Labuang berkata, 'Biarkan kami hidup bersama (silabuang) selama kami tidak dipisahkan dari Sayyid Bontoala.' Begitulah kesepakatan antara Puatta Mangkaue dengan orang-orang Labuang. Namun, orang-orang Labuang tidak boleh diperjualbelikan sama sekali (dijadikan budak) dan tidak boleh digunakan kecuali untuk kepentingan bersama."

Wasiat ini bukan sekadar aturan, melainkan pondasi yang akan mengikat mereka sebagai komunitas baru dengan nilai-nilai yang kokoh. Di balik setiap kata dalam wasiat tersebut, terdapat simbol-simbol yang memperkuat identitas mereka dan menjaga harmoni di antara mereka.

Tanah Labuang, yang diserahkan kepada Qadi Bontoala, menjadi simbol pertama. Penyerahan ini bukan hanya soal administrasi, tetapi sebuah deklarasi bahwa tanah ini akan dikelola di bawah otoritas keagamaan dan hukum yang adil. Dengan menyerahkan tanah kepada Qadi, Puatta Mangkaue menyampaikan pesan bahwa kehidupan di Labuang akan dipandu oleh nilai-nilai spiritual yang luhur. Dalam simbol ini, masyarakat menemukan pijakan bersama sebuah identitas kolektif yang akan mereka pelihara.

Namun, tidak cukup hanya dengan kepemimpinan spiritual. Puatta mengajukan syarat yang disebut silabuang, hidup dan mati bersama dalam harmoni. Konsep ini menjadi simbol kedua yang mengikat mereka sebagai sebuah komunitas. Silabuang mengajarkan bahwa keberadaan mereka di Labuang tidak hanya bergantung pada kesetiaan kepada pemimpin, tetapi juga pada komitmen mereka untuk menjaga keharmonisan, saling mendukung, dan mematuhi aturan bersama. Jelas bahwa dalam wasiat ini mencerminkan dalam Al-Qur'an pada Surah Al-maidah ayat 2, "Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa. Dan janganlah kalian tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran".(QS. al-Maidah [5]:2) . Sementara diayat yang juga menjelaskan bahwasanya,"Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah kedua saudaramu (yang bertikai) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu dirahmati". (QS. al-Hujurat [49]: 10). Identitas mereka sebagai "orang Labuang" tidak terpisahkan dari prinsip hidup bersama ini.

Puatta juga menetapkan larangan yang tegas dalam wasiatnya. Tidak boleh ada yang diperjualbelikan sebagai budak, dan tidak seorang pun boleh dimanfaatkan kecuali untuk kepentingan bersama. Larangan ini adalah simbol ketiga, yang menegaskan martabat manusia sebagai nilai yang tak boleh dilanggar. Hal ini memastikan bahwa harmoni sosial di Labuang berdiri di atas dasar keadilan dan kesetaraan. Semua orang dihargai sebagai anggota komunitas yang setara, tanpa eksploitasi atau ketidakadilan.

Puatta tidak memaksa. Ia memberi masyarakat pilihan tinggal di Labuang dan menerima aturan ini, atau pergi dengan membawa barang-barang mereka. Pilihan ini mencerminkan kebebasan yang menghormati keputusan individu, tetapi juga memperkuat aturan bersama bagi mereka yang memilih untuk tinggal. Dengan begitu, identitas kolektif masyarakat Labuang terbentuk dari kesukarelaan, bukan paksaan.

Ketika masyarakat menerima kesepakatan ini, identitas mereka pun terbentuk. Mereka bukan hanya penghuni Labuang, tetapi juga penjaga keharmonisannya. Mereka berkomitmen untuk hidup bersama dalam solidaritas, setia pada pemimpin spiritual mereka, dan menjaga nilai-nilai yang telah disepakati.

Begitulah, melalui simbol-simbol seperti tanah, silabuang, dan larangan eksploitasi, Puatta Mangkaue menciptakan sebuah komunitas yang tidak hanya hidup dalam harmoni, tetapi juga memiliki identitas yang kuat. Masyarakat Labuang adalah contoh nyata bagaimana simbol identitas dapat menjadi fondasi yang kokoh untuk harmoni sosial, di mana keberagaman dihormati, keadilan ditegakkan, dan solidaritas menjadi napas kehidupan bersama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun