Mohon tunggu...
Shafiyyah Qanita
Shafiyyah Qanita Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Blogger, Podcaster, Novelis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Analisis Sistem Pemerintahan Orde Baru (Studi Kasus Peristiwa Santa Cruz: Intervensi Indonesia atas Timor Timur)

11 Maret 2023   16:58 Diperbarui: 11 Maret 2023   17:01 487
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

     Hingga pada tahun 1984, semua organisasi sosial-politik harus mendeklarasikan Pancasila (lima prinsip dasar negara Indonesia yang diperkenalkan oleh Sukarno pada tahun 1940-an) sebagai satu-satunya ideologi mereka. Soeharto kemudian menggunakan Pancasila sebagai alat represi. Karena dikhawatirkan semua ormas akan mengutuk tindakan anti-Pancasila.

     Suharto berada di puncak kekuasaannya pada tahun 1980-an. Setiap pemilihan bisa dimenangkan dengan mudah. Dia juga berhasil melumpuhkan tentara. Seperti halnya partai dan pejabat politik, militer juga bekerja semata-mata untuk menegakkan kebijakan Suharto. Namun, depolitisasi masyarakat Indonesia ini memiliki efek samping yang penting bagi kebangkitan kesadaran Islam, khususnya di kalangan pemuda Indonesia. Karena arena politik adalah ranah tertutup, umat Islam melihat agama Islam sebagai alternatif yang aman. Perbedaan pendapat dan keluhan tentang pemerintah kemudian dibahas di masjid dan di dalam khotbah (jika tidak, mereka akan dihentikan) karena terlalu berbahaya untuk berbicara di demonstrasi. Pada awal 1990-an, kebangkitan Islam membawa perubahan politik baru.

2. Latar Belakang Peristiwa Santa Cruz

      Tiga bulan menjelang Natal 1991 keterangan tersebar pada Timor Timur: sebuah delegasi parlemen berdasarkan Portugal berniat mengunjungi wilayah itu. Rencananya, kedatangan mereka akan diikuti 12 jurnalis internasional. Siapapun tidak menyangka hal ini akan memicu insiden yg akan diingat orang menjadi catatan spesifik pada sejarah kekerasan militer Indonesia pada bumi Lorosae. Belakangan niatan Portugal ini ditolak pemerintah Soeharto. Indonesia keberatan jika kunjungan itu disertai para jurnalis sementara dalam negera sendiri, mulut media terpaksa dibungkam.

     Jakarta Seno Gumira Ajidarma, “jurnalisme dibungkam & wajib memakai sastra buat sanggup berbicara.” Jauh-jauh hari para pemuda Timor Leste yg melakukan perlawanan bawah tanah telah kadung menyiapkan sambutan atas kunjungan Portugal itu. Tetapi gerakan klandestin mereka ternyata diketahui intelijen Indonesia. Mereka yang menciptakan spanduk-spanduk penyambutan delegasi Portugal pada gereja Motael Dili diawasi terus gerak-geriknya oleh TNI. Hingga dalam malam 27 Oktober 1991, sekelompok provokator yang bekerja untuk intelejen Indonesia mengejek para aktivis pro-kemerdekaan & memancing mereka buat ribut. Anak-anak belia Timor Leste terpancing & perkelahian berlangsung pada malam itu juga. Pagi hari 28 Oktober 1991, jasad aktivis belia pro-kemerdekaan, Sebastiao Gomez, ditemukan tergeletak pada dekat gereja Moteal.

    Dua minggu kemudian, Pastor Alberto Ricardo memimpin Misa memperingati kematian Gomez di Gereja Motel di Dili. Ribuan umat Katolik dari Timor Timur mengikuti Misa. Saat kebaktian berakhir pukul 07.00 waktu setempat, sekitar lima ratus orang meninggalkan gereja dan membentangkan spanduk bergambar Xanana Gusmao, pemimpin gerakan kemerdekaan Timor Timur. Sambil berbaris, mereka berteriak: "Timor Timur! Timor Timur! Timor Timur!" Konvoi pengunjuk rasa berbaris sekitar 4 kilometer ke Pemakaman Santa Cruz tempat Gomez dimakamkan. Menurut Paul R. Bartrop dan Steven Leonard Jacobs dalam Modern Genocide (2014), tentara Indonesia telah bersiaga setibanya di Pemakaman Santa Cruz, terdiri dari prajurit Kompi A Brimob 5485, Kompi A dan Kompi D Batalyon 303., dan Kompi D. mencampur perusahaan - dengan pakaian sipil, dibentuk pada malam sebelumnya. Personel Batalyon 744 dan Kodim 1627 juga hadir.

Kemudian segalanya menjadi kacau, Videonya diabadikan oleh jurnalis Inggris Max Stahl. Sirene dan tembakan memekakkan telinga. Para demonstran lari kebingungan. Yang lain mencoba bersembunyi di makam Santa Cruz (Jerry Indrawan, 2004). Menurut kesaksian Paul R. Bartrop, tentara Indonesia melepaskan tembakan ke arah massa secara membabi-buta, disusul rentetan senapan otomatis selama beberapa menit. Militer Indonesia menembak ke arah massa dan menembak para aktivis kemerdekaan dari belakang ketika mereka mencoba melarikan diri. Tentara lainnya menendang dan menikam korban yang terluka dan beberapa orang yang bersembunyi di kuburan. Dalam buku karya Hukman Reni Eurico Guterres I Am Nobody (2015) menyatakan: “Sebuah laporan Dewan Kehormatan Militer menemukan bahwa 50 warga sipil Timor-Leste tewas dalam insiden 12 November. Namun, laporan lain menyebutkan ratusan orang luka-luka dan puluhan lainnya tewas akibat peluru yang ditembakkan tentara Indonesia. Investigasi terperinci tentang perlawanan bawah tanah di Timor Timur menemukan hingga 273 orang tewas."

Berdasarkan video Max Stahl setidaknya mata dunia terbuka. Amnesty International dengan dingin menghadiahkan video dalam kasus Dili. Pembantaian Timor Timur dianugerahi Video Terbaik dalam kategori Hak Asasi Manusia pada tahun 1992. Pada saat yang sama, para aktivis Timor Lorosa'e di luar negeri, yang sebelumnya diabaikan, mendapatkan kembali simpati. Rosihan Anwar, dalam bukunya Petite Histoire of Indonesia (2004), menjelaskan bahwa pembantaian di Dili telah menempatkan persoalan Timor Timur dalam agenda HAM internasional. "Aktivis Timor Leste di luar negeri, khususnya Ramos Horta, mendapat perhatian lebih internasional," katanya. Roshan Anwar benar. Pakar politik Australia Rebecca Strating on Social Democracy in East Timor (2015) mencatat bahwa setelah insiden Dili, para senator AS ingin membantu Presiden George Bush Sr. Timor Leste dalam proses penentuan nasib sendiri dengan menempatkan masalah ini dalam agenda Majelis Umum PBB. resolusi menempatkan Jakarta bereaksi terhadap tekanan internasional, khususnya Amerika, terhadap Timor Timur dengan mengubah struktur kepemimpinan militer Timor Timur.

Awal tahun 1992, Staf Angkatan Darat melalui Dewan Kehormatan Militer (DKM) memberhentikan Pangdam IX Udayana, Mayjen Sintong Panjaitan, Pangkalakop Timor dan seluruh wakil Pangkolakops, Danrem 164/Wira Dharma, Danrem 164/Wira Dharma. Dalam buku “Sintong Panjaitan, Perjalanan Prajurit Komando” karya Hendra Subroto (2009), Sintong mengklaim ada kemungkinan pihak ketiga terlibat dalam peristiwa 12 November di Dili. Menurut Sintong, pihak ketiga itu berada di balik sabotase yang menyebabkan kekerasan militer di Santa Cruz. Namun, Sintong tidak menyebutkan secara jelas siapa yang ketiga. Sementara itu, Prabowo Subianto, mantan Panglima Kopassus yang bertugas di Timor Timur, menyebut penyerangan Santa Cruz bukan taktik militer.

3. Analisis Peristiwa Santa Cruz

Awal Terjadinya insiden santa cruz pada tanggal 12 November 1991 untuk membantu timor timur dalam menyelesaikan isolasi internasionalnya. Beberapa pemuda yang jumlahnya mendekati ratusan berkumpul untuk menghadiri misa almarhum Sebastiano di gereja. Para pemerotes, kebanyakan mahasiswa, mengadakan aksi protes mereka terhadap pemerintahan Indonesia pada penguburan rekan mereka, Sebastião Gomes,yang ditembak mati oleh pasukan Indonesia sebulan  sebelumnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun